Mohon tunggu...
Benediktus Jonas
Benediktus Jonas Mohon Tunggu... Freelancer - freelanecer

Menulis ialah caraku mengasah kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasionalisme di Era Digital: Lebih Fleksibel tetapi juga Rentan

30 November 2024   19:07 Diperbarui: 30 November 2024   19:07 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalisme terus berkembang. Warnanya berubah seiring zaman yang berganti. Di awal kemerdekaan, warna nasionalisme ialah perjuangan melawan penjajah. Nasionalisme adalah hasrat untuk memperoleh kebebasan. Ia mewujud dari semangat untuk berdiri di atas kaki sendiri dengan melawan penjajah.

Hari ini nasionalisme berubah warna. Kita tidak lagi melihat wajah-wajah penjajah di sekitaran rumah atau alun-alun kota. Kita hanya mengenal sejarah kelam itu lewat pelajaran sejarah di sekolah. Di sana kita belajar bahwa kita pernah dijajah dan penjajahan itu mengakibatkan luka, melahirkan perjuangan dan akhirnya merdeka.

Di zaman ini, saat luka dan perjuangan untuk kemerdekaan melawan penjajah tidak lagi dirasakan, tidak sedikit generasi muda bingung tentang arti nasionalisme. Darta dalam puisi karya Denny JA (Nasionalisme Di Era Digital), mewakili jutaan anak muda Indonesia hari ini. Ia bingung arti nasionalisme. "Ia bertanya, apa arti nasionalisme di zaman tanpa batas ini?"

Mengapa Darta bingung? Algoritma media sosial membuat nasionalisme seolah menghilang. Konten yang dilihatnya dan suara yang didengarnya berulang-ulang membentuk pola perilaku dan interaksinya. Lebih lagi kesehariannya sebagai anak muda yang menghabiskan waktu berselancar di media sosial, membentuk nasionalisme versinya yang sering kali kabur atau tanpa makna. Nasionalisme akhirnya fleksibel dan tidak mengakar begitu dalam.

Pemahaman yang dangkal tentang nasionalisme berdampak buruk bagi masyarakat, khususnya anak muda. Nasionalisme rentan disalahartikan atau diperalat untuk kepentingan pribadi. Algoritma media sosial mendukung kerentanan itu. Masyarakat yang tidak mampu menyaring semua informasi, akan dengan mudah digiring untuk masuk dalam ideologi yang keliru tentang nasionalisme.

Algoritme media sosial akan merusak jika tidak memiliki sikap kritis, rasional dan terbuka untuk melihat realitas. Neokolonialisme (penjajahan bentuk-bentuk baru) yang ditawarkan lewat media, bisa menjadi ancaman nyata bagi kemajuan bangsa kita di tengah gempuran teknologi yang tidak terbatas.

Literasi Digital

Bagaimana menemukan arti nasionalisme di zaman tanpa batas ini? Literasi digital menjadi jawabannya. Literasi digital ialah kemampuan memahami dan menggunakan informasi yang diakses lewat internet atau media sosial. Dougles A.J dalam tesisnya, What is Digital Literacy (2011) (1) menyebut beberapa elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital;

Pertama, kultural yakni pemahaman seseorang dalam memahami konteks penggunaan dunia digital. Saat mengakses informasi kita mesti mengetahui konteks informasi agar tidak mudah membagi kepada orang lain. Cek dan recek penting dalam menyebarkan berita yang kita dapat di media sosial.

Kedua kognitif dan konstruktif, yakni kemampuan kita dalam menilai isi sebuah konten dan menelusuri konten yang kita terima. Dengan kemampuan ini kita tidak terjebak dalam menyebarkan isu negatif kepada orang di sekitar. Kehadiran kita dalam masyarakat harus membawa dampak positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun