Hari masih pagi saat aku dan Pastor Rafael meninggalkan Kota Putussibau menuju Banua Martinus. Ini adalah perjalanan pertamaku ke tempat ini setelah sebelumnya banyak mendengar cerita dari teman-teman yang pernah berkunjung.
Perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 111,4 KM itu, terasa sangat menyenangkan. Kami disuguhi pemandangan yang indah dengan alam yang masih terawat. Hutan lebat, sungai yang lebar, bukit, lembah dan rumah panggung para penduduk memberi kesan tersendiri bagiku.
Setelah melewati hutan, kami masuk di perkampungan terus masuk hutan lagi. Begitulah seterusnya. Namun, lintasan yang kami lewati cukup menantang dan menguji nyali. Tidak jarang ditemui belokan yang tajam, lalu turun dan naik bukit. Di sini kami harus mengurangi kecepatan karena belum menguasai medan.
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Banua Martinus. Di sana kami di sambut oleh Pastor Markus, Pr. yang menjabat sebagai kepala paroki St Martinus. Kami juga berkesempatan mengunjungi Gereja Katolik St Martinus yang usianya sudah satu abad lebih.
Upacara Mendas Dayak Tamambaloh
Tujuan kunjungan kami ke Banua Martinus ialah mengikuti upacara mendas Baki (Kakek) Marius. Baki Marius ialah seorang tokoh gereja yang sangat berjasa dalam pembangunan iman umat Katolik di Banua Martinus hingga Badau.Â
Umat di sana mengenal beliau sebagai pelayan yang setia. Sebab, sejak masa muda, ia mengikuti Para pastor dari Serikat Maria Montfortan (SMM) dalam pelayanan mereka mewartakan injil.
Kesetiaan Baki Marius juga, di tunjukkannya dengan pengabdian yang tulus hingga ajal menjemput. Seperti para pastor Katolik, beliau tidak menikah demi pelayanan kepada gereja, setia membawa barang para pastor, hingga menghibahkan tanahnya untuk membangun gereja.
Sebagai orang yang berjasa bagi umat dan gereja, penghormatan yang dalam bahasa di sana mendas penting dilaksanakan. Mendas adalah upacara penghormatan terakhir bagi orang yang sudah meninggal dunia.
Upacara mendas cukup rumit dan tidak bisa saya jelaskan semuanya. Dari rangkaian wawancara singkat dengan umat dan tokoh adat, mendas itu adalah budaya masyarakat Dayak Tamambaloh dalam penghormatan terakhir bagi yang meninggal dunia. Tradisi itu turun temurun.