Korona mengubah tatanan dunia secara drastis. Kita yang sebelumnya ke gereja, masjid, wihara, pura untuk ibadat pada hari-hari suci, kini harus berdoa di rumah.Â
Kebiasaan berkumpul di kampus untuk kuliah, kini kita harus puas dengan kuliah daring. Mereka yang hari-harinya sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dipaksa tinggal di rumah dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Sungguh, sebuah perubahan besar yang menimbulkan luka dan gejolak hati. Namun, kita tidak punya banyak pilihan. Sebab perintah untuk jangan membunuh sesama, di masa ini ialah tidak menularkan virus kepada yang lain.
Yuval Noah Harari, sejarawan Yahudi, mempublikasikan tulisannya di Financial Times beberapa waktu lalu. Judul tulisannya, Yuval Noah Harari, The World After Coronavirus. Sebagai sejarawan, Harari melihat, korona adalah krisis global bahkan krisis terbesar zaman kita. Namun ia yakin badai ini pasti berlalu. Umat manusia akan bertahan. Tetapi pertanyaan besar Harari ialah, dunia seperti apa yang akan kita hidupi setelah korona berlalu?
Pertanyaan Harari menggugah hati. Perubahan yang terjadi hari-hari ini, membalikkan tatanan mapan yang dibangun berabad-abad. Baik teologi, budaya, sosial, politik seketika tunduk dibawah protokol kesehatan. Kita dipaksa untuk memilih kesehatan dibanding privasi dan tatanan mapan.
Harari sendiri tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya. "Semua tergantung dari keputusan yang akan diambil oleh pemerintah. Karena itu, butuh kerja sama global yang membutuhkan sikap saling percaya," demikian ditulisnya.
Korona adalah ujian besar kewarganegaraan kita. Solusi Harari demikian. "Untuk menghentikan pandemi, seluruh dunia harus patuh pada protokol pemerintah." Itulah yang sedang kita jalani hari-hari ini. Keberhasilan dalam penanganan virus ini sangat tergantung pada kesiapan mental masyarakat. Harari menulis begini,
"Masyarakat yang memiliki motivasi-diri dan tidak picik biasanya jauh lebih berdaya dan efektif dibanding masyarakat lugu yang didisiplinkan."
Harari mengambil contoh beberapa negara yang mampu menekan jumlah terinfeksi korona yakni Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Negara tersebut telah memanfaatkan beberapa aplikasi pelacak, melakukan pemeriksaan secara masif, pelaporan yang jujur, dan tekad bulat untuk bekerjasama dengan publik yang terinformasi.
Pesan Harari
Ada beberapa pesan penting yang disampaikan Harari. Pertama, kita harus memilih untuk mempercayai ilmu pengetahuan dan pakar kesehatan. Jangan percaya pada konspirasi yang tak berbasis fakta dan para politikus rakus. Kini saatnya, kita kritis terhadap berbagai informasi dan mengambil langkah untuk menjernihkan hati dan budi.
Kedua, di tengah pendemi, kita dipaksa membuat pilihan, antara kesehatan dan privasi. Untuk bisa mendeteksi penyebaran virus, pemerintah bisa menggunakan gawai kita. Kita harus memilih kesehatan, walau privasi juga penting. Sebab bila kita tidak membuat pilihan yang tepat, mungkin kita akan mengorbankan kebebasan yang paling berharga.
Ketiga, kita harus bekerja sama dalam berbagi informasi secara global. Dalam keseharian, kita juga harus berani bertukar informasi dan rendah hati meminta saran.Â
Kita diajak untuk mempercayai data dan wawasan yang diperoleh. Jangan menyebar hoaks. Sebab kematian yang terjadi dalam situasi sulit, bukan hanya dari penyakitnya, tetapi juga kepanikan karena berita-berita yang tidak akurat. Karena itu, kita harus melindungi diri dan sesama.
Keempat, budayakan semangat berbagi. Di tengah pandemi ini, kita diajak untuk solider dengan siapapun yang berkekurangan, entah informasi maupun kebutuhan pokok. Sebab jika tidak, kita sedang berjalan menuju kehancuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H