Hari ini Yesus lahir ke dunia. Penantian yang cukup lama akhirnya terbayar juga. Yesus benar-benar datang dan menyapa setiap orang dalam situasi hidup masing-masing.
Yesus memang lahir, tetapi aku belum sungguh-sungguh lahir menjadi manusia baru. Mulai dari persiapan hingga detik-detik kelahiranNya ini, aku belum merasakan sukacita. Kesibukan dan perkara dunia seolah mendekam dalam diriku.
Yah, aku rindu natal saat masa kecilku dulu. Saat itu aku benar-benar merasakan Yesus hadir. Lampu-lampu dan kandang natal di Gereja, kumpulan pernak pernik natal di rumah-rumah umat, terasa mengagumkan. Dan aku, mengalami sukacita yang tak terkatakan.
Natal di rumah, aku ingat kue natal buatan ibu, enak dan beragam jenisnya seperti cintanya yang tak pernah berkesudahan. Setelah ekaristi di gereja selesai, keluarga yang mudik berkumpul di rumah untuk berdoa bersama dan berbagi cerita. Di sana lahir canda dan tawa-hingga sukacita kelahiran Yesus menggema di sudut-sudut kampung. Sungguh aku rindu momen itu.
Kali ini aku natal di kota, kota yang sangat megah. Kupikir sukacitaku bertambah besar. Namun hiruk pikuk dunia perkotaan dan menjulangnya bangunan-bangunan kota menghalangi mataku untuk menatap pohon-pohon natal dan telingaku mendengarkan dendang-dendang natal.
Di kota, aku merasa sendiri dan kesepian. Saat sepi, kuingin mengulang lagi kenangan masa kecilku, kenangan hari natal yang bahagia. Tapi kusadar tak ada moment yang sama terulang persis yang pernah terjadi. Sebab apa yang telah pergi tak akan pernah kembali seperti yang dulu.
Semalam temanku bercerita bahwa ia sedih. Sebab setelah ibunya, pergi dan tak pernah kembali, natal tak seindah dulu lagi. kasih ibu tidak lagi dirasakan saat natal tiba. Natal seolah menjadi momen kehilangan sekaligus kerinduan dan harapan.
Kisahnya dan kisahku membuatku sempat bertanya, apakah natal itu hanya tentang kebahagiaan masa kecil? Sebab telah lama kuingin mengulang masa kecil itu di saat aku beranjak dewasa. Namun sayang, semakin kudambakan momen itu semakin menjauh dan kadang menghiang.
Perlahan aku akhirnya sadar. Aku telah terlelap dalam momen masa lalu. Sebuah suara tiba-tiba terngiang dalam telingaku, "inilah sukacita itu. Tak usah kembali ke masa lalu, tetapi bersukacitalah saat ini. Yesus lahir bagimu."Â
Kalimat itu kemudian menghilang. Lalu aku mengangkat penaku, menulis kisah ini. "Natal, inilah saatnya, rayakan dengan sukacita. Lihatlah Yesus yang lahir itu, Ia bersukacita melihatmu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H