Temanku bercerita, bahwa ia kesal dengan temannya yang selalu datang terlambat saat mengerjakan tugas kelompok. Dia berkata, aku akan memaafkan dia, jika perbuatannya terjadi satu atau dua kali saja. Namun ia melakukannya berulang-ulang kali.
Dia lanjut berkata, dengan muka yang agak malu-malu, ucapannya selalu sama, "maaf ya aku terlambat lagi. Tadi aku ada urusan ini atau itu." Selalu saja kalimat maaf ya, yang diucapkannya. Kami hanya diam saja, kalau dia datang dan mengucapkan kata maaf, sebab kami bosan mendengar kata itu terus. Ceritanya selesai, lalu ia pergi.
Tidak bisa dielakan, bahwa orang macam ini sering ada bersama kita. Sebagai manusia yang punya batas kesabaran, sering kali kita berkata. "Ah, pasti maaf lagi. Oh ya, alasan apa lagi ya hari ini, kok dia terus sih, nggak bisa berubah ya." Kata-kata ini, sering terlontar begitu saja. Hal itu terjadi karena kita marah, jengkel, bahkan kecewa.
Memaafkan itu tidak selalu mudah. Tidak semua orang bisa memaafkan orang yang melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang kali. Butuh orang yang berjiwa besar untuk memaafkan orang seperti itu. Jiwa besar itu adalah iman, yang melampaui keterbatasan nalar dan rasa.
 Tulisan kecil ini tidak sedang mengajar kita untuk berjiwa besar atau cara-cara yang bisa kita tempu untuk mampu menerima maaf orang lain, walau arahnya mungkin ke sana. Namun tulisan ini mengajak kita untuk merefleksikan kalimat ini, "Berubah itu lebih baik dari pada terus menerus melakukan kesalahan yang sama dan kita selalu mengatakan maaf."
Berubah memang tidak sesederhana yang ditulis di atas kertas, apalagi diucapkan. Berubah mungkin seperti memanjat tebing yang terjal untuk mendapatkan emas. Tidak mudah memang. Namun di sanalah ujiannya, maukah kita? Ibarat memanjat tebing tadi, tidak sedikit orang menyerah sebelum mencoba, sedang yang lainnya berani mengambil risiko, sebab ada emas yang mau didapat.
Ada analogi lain. Jika kita masuk di kampus ternama atau masuk di tempat yang baru, sering kali kita harus beradaptasi terlebih dahulu. Kita harus mengubah kebiasaan lama, agar bisa diterima oleh orang lain. Tentu rasa sakit tidak bisa dielakan. Kita bahkan menangis karena berubah ternyata sulit. Tetapi akhirnya kita menikmati hasilnya setelah melewati prosesnya.
Meminjam kalimat seorang motivator, berubah itu sebenarnya menuntut tiga hal, kemauan, usaha, dan ketekunan. Itulah kuncinya. Setiap keinginan untuk berubah menuntut dari diri kita kemauan. Kemauan itu harus didukung oleh usaha, agar tidak tinggal kerinduan. Kemauan dan usaha itu pada akhirnya harus ditopang oleh ketekunan. Â Kalau proses ini bisa dilewati, kita akan mendapat apa yang kita inginkan.
Meminta maaf memang tidak ada salahnya. Kita selalu ingatkan agar meminta maaf untuk segala kesalahan dan kelalaian kita. Meminta maaf adalah tanda kedewasaan. Namun akan tidak bermutuh kalau terus meminta maaf untuk kesalahan yang sama. Berubah lebih baik dari pada terus meminta maaf. Meminjam kalimat bijak, kesalahan itu manusiwi, tetapi terus melakukan kesalahan adalah gila. Kita tentu tidak ingin dinilai bahkan dicap tidak waras. Sebab hal itu mencidrai martabat pribadi. Maka berubahlah, selagi masih ada waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H