Mohon tunggu...
Benediktus Jonas
Benediktus Jonas Mohon Tunggu... Freelancer - freelanecer

Menulis ialah caraku mengasah kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Perlukah Tradisi Dipertahankan?

11 April 2019   22:16 Diperbarui: 11 April 2019   22:46 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah kota, ada biara megah yang terletak di atas bukit. Setiap hari orang beramai-ramai mengunjungi biara itu sebab di sana keheningan sangat terasa, kesejukan mudah didapat dan orang-orang yang mendiami biara itu bersahaja dan sederhana.

Tidak hanya itu, di sana ada tempat wisata doa. Tempat itu indah dan menjadi daya tarik luar biasa, sebab kata mereka yang mengunjungi tempat itu, "mereka menemukan Tuhan di sana."

Ada hal lain yang ingin diceritakan. Saking sederhananya para penghuni biara itu, mereka memiliki satu tradisi yang melekat erat di dada dan menurut katanya, tradisi itu tidak boleh diubah. Tradisinya demikian, "Semua penghuni biara wajib menggunakan sepeda ontel saat ke kampus."

Bertahun-tahun lamanya tradisi itu dipegang teguh. Walau muncul sepeda motor dan mobil, penghuni biara itu tetap mempertahankan tradisi mereka. Mereka bangga sebab tidak turut menyumbang polusi udara yang merusak lapisan ozon. Dan dari tradisi itu muncul beragam kisah dan cerita. Ada cerita bahagia, tapi juga kisah sedih di hari minggu. Tak hanya kisah dan cerita, juga lahir beribu refleksi.

Mereka yang pernah melewati tradisi itu berkata, "Melewati tanjakan dengan ontel adalah sarana memurnikan motivasi panggilan." Yang lain berkata, "Ontel adalah kawan yang meneguhkan," dan yang lain lagi berkata "Merawat ontel adalah merawat panggilan Tuhan."

Di suatu masa muncul pergolakan. Sebuah generasi yang menyebut dirinya milenial, ingin mengganti ontel dengan bus. Kata mereka, "Ontel itu melelahkan, membuat badan capek. Saat ini matahari semakin menyengat, orang mudah letih dan sakit." Dan sering anggota biara tidak mengikuti doa yang menjadi kewajiban utama mereka karena kelelahan.

Generasi terdahulu protes keras terhadap pergolakan itu. Argumen mereka jelas, "Jika kami dulu bisa, mengapa kamu tidak?" Lagi mereka berkata, "Tidak ada tradisi kita menggunakan bus. Semua orang apapun situasinya wajib mengikuti tradisi yang bertahun-tahun telah dijalankan." Itu kata mereka.

Than what's your opinion, if you're one of them? Apakah kamu mau berubah atau tetap mempertahankan tradisi? Seorang di antara mereka berkata, "Kita harus selalu berpikir ke depan. Tidak harus menuntut keadilan yakni semua yang kita alami, harus juga menjadi pengalaman orang lain. Dulu ya, dulu. Tidak usah membanding-bandingkan."

Akhirnya, Tradisi memang penting dan meninggalkan tradisi mungkin sama dengan melupakan sejarah. Tapi ingat, tidak ada yang tetap, demikian kata filosof Hieraklitos. Segala sesuatu berubah dan kita senantiasa berlari bersama perubahan itu.

Tradisi itu penting, tetapi akan lebih penting, jika direfleksikan dengan cara-cara yang baru. Sebab yang kaku akan sulit disesuaikan dengan perkembangan zaman, bahkan akan menghilang dan orang tidak lagi mengikutinya. Jika tradisi ingin terus dipertahankan, ia harus berubah dan direfleksikan dengan cara yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun