Food Journalism atau jurnalis kuliner merupakan jurnalis yang menulis tentang makanan. Menjadi menarik karena membahas tentang isi perut manusia bukan? Ditambah sekarang manusia telah berada di dunia dengan teknologi yang modern. Menjadikan seolah tidak ada batas antar yang satu dengan yang lain. Membuat jurnalisme kuliner dengan mudah berkembang secara pesat.Â
Banyaknya makanan dengan cita rasa, bentuk yang khas hingga sejarah yang unik dari penjuru dunia membuat kesempatan besar bagi siapapun yang ingin menjadi jurnalisme kuliner ingin menulis tentang makanan itu. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan jurnalisme kuliner selalu diiringi oleh perkembangan makanan itu sendiri. Dan kualitas sebuah tulisan, selain keahlian jurnalis kuliner itu sendiri juga ditentukan oleh seberapa unik makanan yang hendak dituliskan.
Lalu, bagaimana cara jurnalis kuliner menarik perhatian masyarakat untuk membaca tulisannya? Tentu harus dibarengi dengan ciri khas jurnalis kuliner sendiri. Bila berbicara tentang jurnalisme, kita pasti akrab tentang hal-hal yang berbau politik, kriminal, dan kehidupan artis. Setiap bidang itu dipastikan memiliki ciri khas penulisannya masing-masing tak terkecuali kepada jurnalisme kuliner atau makanan.
Ciri khas jurnalisme makanan juga memiliki perkembangan. Diawali dengan hanya menuliskan  tentang resep-resep makanan. Terbukti pada tulisan yang berada di rubrik khusus wanita pada tahun 1891 untuk The New York World. Koran Amerika Serikat ini, pertama kali mengabarkan berita tentang makanan yang berjudul "Women and the Home-Her Daily Page" . Memang spesialisasi pada berita ini bukanlah tentang makanan. Namun, makanan dibahas di dalam berita ini, yaitu tentang tata cara produksi dari pembuatan makanan atau kuliner yang unik ini.
Berbeda saat berada di tahun 1910, jurnalisme kuliner di tahun ini menggunakan kertas yang berwarna sebagai daya tarik nya, bukan terhadap penulisan. Penulisan jurnalisme kuliner masih berbicara tentang resep dan tips membuat makanan. Namun menjadi ciri khas jurnalisme makanan di tahun ini adalah tentang kertas yang berwarna dalam mengabarkan informasi ini.Â
Diduga dapat menarik perhatian banyak masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan The Louisville Courier-Journal yang menerbitkan berita tentang makanan di rubrik khusus makanan dengan kertas berwarna setiap harinya.
Jurnalisme makanan pada abad 21 rupanya mencoba menghadirkan varian pemberitaan yang lebih berbobot, seperti yang saya paparkan sebelumnya pada awal penulisan. Ssalah satunya adalah harian The Guardian yang pada 13 November 2010 mengangkat tentang kisah pembudidayaan sapi perah Hare Krishna Milk di Inggris.Â
Ulasan tersebut menyuguhkan penelitian ilmiah menarik yang berusaha membandingkan kualitas susu dari peternak tersebut dan peternak yang lain. Hal ini menjelaskan bahwa jurnalisme makanan tidak hanya melulu soal mengupas resep dan bahan, namun juga bisa mengulas bagaimana makanan itu berasal dan tercipta.
Lalu, bagaimana jurnalisme kuliner itu sendiri berkembang di negara kita, Indonesia. Jurnalisme Kuliner pertama kali muncul pada tayangan TV Indonesia yaitu Selera Nusantara, tayang di RCTI pada tahun 1990-an. Dahulu masyarakat mendapatkan pengetahuan kuliner melalui panduan memasak dalam buku dan majalah. Memasak pun menjadi gaya hidup hingga seni tersendiri bagi kaum Ibu.Dan seakan sudah menempel statement bahwa yang memasak adalah kaum hawa saja. Â
Hingga muncul beberapa Ibu yang menjadi Garda Gastronomi Indonesia. Seperti Julie Sutarjana, Suryatini N. Ganie, dan Sisca Soewitomo. Para ibu ini telah berkiprah dalam bidang Jurnalisme kuliner ini. Para ibu ini, sebagai jurnalis kuliner memiliki ciri khas nya masing-masing. Sebut saja ibu Ganie  yang merintis majalah Selera, sebuah majalah kuliner Indonesia pertama.Â