Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Mengapa Atribut Kampanye Tak Lebih dari Sekadar Sampah Visual?

26 Januari 2024   20:07 Diperbarui: 28 Januari 2024   08:23 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemasangan bendera partai yang ugal-ugalan, ruas Jalan Mampang Raya. (Sumber: KOMPAS/Totok Wijayanto)

Semakin mendekati pesta demokrasi, baliho dan bendera partai politk tak lebih dari sekadar sampah visual dan politik yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa seseorang ketimbang sebagai cara menarik suara masyarakat. 

Kejadian tragis di Flyover Kuningan, Jakarta Selatan, dan perempatan Cilandak KKO menjadi bukti konkret bahwa baliho caleg dan bendera partai bukan hanya sampah visual, tetapi juga ancaman nyata bagi keselamatan publik.

Kecelakaan yang menimpa pasutri di Flyover Kuningan (Tangkapan layar via IG @merekamjakarta)
Kecelakaan yang menimpa pasutri di Flyover Kuningan (Tangkapan layar via IG @merekamjakarta)

Note: Sengaja tak saya masukkan video lengkapnya karena memuat grafik yang mungkin mengganggu kenyamanan.

Pada 17 Januari 2024, pasangan Salim dan Oon menjadi korban kecerobohan politik ketika tertimpa bendera parpol di Flyover Kuningan. 

Bukankah seharusnya fungsi alat peraga kampanye adalah untuk mempromosikan, bukan untuk merenggut nyawa? 

Para politisi seharusnya malu dengan fakta bahwa keseriusan mereka dalam berpolitik berujung pada tragedi bagi masyarakat yang tidak bersalah.


Tidak hanya itu, pada 18 Januari 2024, di Cilandak KKO, baliho caleg dan bendera partai roboh setelah diterpa hujan dan angin kencang. 

Jika politisi tidak mampu menjaga baliho mereka sendiri, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa mereka akan mampu melaksanakan tugas negara?

Jika mereka beralasan karena ini adalah musibah dan tidak bisa memperkirakan cuaca dan angin kencang, apakah itu artinya mereka tak punya cara berpikir dan analisis dampak yang jauh ke depan?

Bukan rahasia lagi bahwa baliho caleg dan bendera partai politik lebih sering menjadi simbol kecerobohan daripada representasi politik yang serius. 

Pemasangan sembarangan dan ugal-ugalan tanpa pertimbangan telah menciptakan neraka jalanan, di mana warga yang tidak bersalah menjadi korban dari ketidaktanggungjawaban politik.

Ketidakpedulian terhadap dampak sosial dan keselamatan hanya mencerminkan betapa politikus lebih memilih mengejar popularitas daripada memikirkan rakyatnya. 

Baliho yang terhuyung-huyung di pinggir jalan adalah manifestasi fisik dari politikus yang lebih peduli pada citra daripada esensi kehadiran sebenarnya di tengah-tengah masyarakat.

Kesadaran akan risiko dan bahaya yang ditimbulkan oleh baliho dan bendera partai harus menjadi panggilan untuk tindakan nyata. Demokrasi bukanlah panggung sirkus di mana nyawa dan keselamatan warga negara menjadi taruhan untuk popularitas politisi.

Sudah waktunya politisi menyadari bahwa keseriusan mereka harus tercermin dalam tindakan nyata dan tanggung jawab terhadap masyarakat.

Pengaruh pada Lingkungan

Dalam pertarungan politik yang semakin brutal, alat peraga kampanye juga tidak hanya menjadi ancaman keselamatan dan sampah visual, tetapi juga ketidakpedulian terhadap keberlanjutan lingkungan. 

Keironisan ini semakin menguat dengan munculnya pertanyaan kritis saya mengenai nasib baliho dan spanduk setelah pemilu berakhir.

"Kemana arah alat peraga kampanye tersebut setelah pemilu berakhir?" 

Apakah kita dapat berharap bahwa APK tersebut akan didaur ulang, ataukah kita hanya akan menyaksikan penumpukan sampah yang tak terkendali? 

Rasa pesimisme muncul ketika kita menyadari bahwa harapan untuk penggunaan kembali baliho dan spanduk (reuse) tersebut dalam pemilu berikutnya adalah sekadar ilusi.

Logika sederhananya menunjukkan bahwa nomor urut partai politik dan caleg dapat berubah setiap pemilu. Itu menunjukkan bahwa kentestan pemilu harus membuat ulang atribut kampanye-nya.

Belum lagi banyak alat peraga kampanye yang dipasang dengan menancapkannya pada batang pepohonan di pinggir jalan. Hal ini tentunya sudah melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Apakah ada usaha konkret untuk mengelola alat peraga kampanye ini dengan cara yang lebih ramah lingkungan? Pemilu yang ramah lingkungan seharusnya bukan hanya sebatas retorika dalam agenda politik. 

Partai politik dan calon legislatif perlu mendeklarasikan tanggung jawab mereka terhadap konsekuensi dari tumpukan baliho dan spanduk yang terabaikan pasca-pemilihan. 

Adakah kebutuhan untuk regulasi yang jelas, memastikan bahwa alat peraga kampanye yang tidak terpakai dapat dikelola secara bertanggung jawab?

Sebagai masyarakat wajar jika saya menuntut transparansi dan tanggung jawab terkait pengelolaan sampah visual ini. 

Suara masyarakat harus menjadi pukulan keras yang menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bukan hanya untuk kampanye sesaat, melainkan komitmen jangka panjang. 

Sampah itu Tak Efektif Menarik Jumlah Suara

Tidak hanya menjadi ancaman keselamatan dan merusak lingkungan, atribut kampanye seperti baliho dan spanduk juga bisa jadi tidak efektif dalam penggunannya. 

Sebagaimana dikutip oleh Harian Jogja, Dosen Sosiologi UGM, Arie Sujito, menyuarakan bahwa penggunaan baliho dalam kampanye pemilu seringkali tidak membawa manfaat yang signifikan. 

Bahkan, keberadaan baliho hanya merupkan sampah visual semata, menciptakan masalah sampah baru yang tidak terkendali.

Kritik tajam dari Dosen Sosiologi UGM tersebut membuka mata kita terhadap realitas kegagalan baliho sebagai alat kampanye yang efektif. 

Di tengah-tengah maraknya baliho yang melibatkan dana besar, kita harus mempertanyakan, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh para politisi?

Sejauh pandangan saya, baliho dan spanduk hanya menampilkan foto caleg dengan slogan ala-ala yang nyaris tidak memberikan informasi substansial. 

Seakan-akan kampanye hanya sebatas wajah menarik dan kata-kata klise. Dalam pandangan saya, ini hanya strategi kosong yang tidak melibatkan pemilih dengan ide, visi, atau misi yang sebenarnya.

Keberadaan langsung caleg di tengah masyarakat, dialog yang terbuka, dan keterlibatan langsung dalam memecahkan masalah masyarakat jauh lebih berharga daripada sekadar memampang wajah di baliho. 

Epilog

Dari rentetan peristiwa yang mencakup kecelakaan tragis, dampak lingkungan, hingga ketidakefektifan atribut kampanye seperti baliho dan spanduk, tergambar dengan jelas bahwa penerapan atribut kampanye saat ini lebih cenderung memberikan dampak negatif. 

Keberlanjutan dari insiden-insiden ini memerlukan evaluasi menyeluruh, baik dari segi keselamatan publik, dampak lingkungan, maupun efektivitas alat peraga kampanye dalam mencapai tujuan politik.

Di samping itu, masyarakat perlu menjadi lebih cerdas dalam menentukan pilihan politiknya. Memilih pemimpin tidak boleh hanya berdasarkan visual dan slogan semata. 

Dalam menghadapi kompleksitas isu-isu politik, pemilih perlu memilih secara substansial dan esensial. Kualitas kepemimpinan dan kemampuan calon dalam merespons kebutuhan masyarakat harus menjadi pertimbangan utama, bukan sekadar popularitas visual atau janji klise kampanye.

Referensi:

  • Adri, A. I. a. H. A. (2024, January 22). Warga Celaka karena Atribut Kampanye. kompas.id. 
  • Amrurobbi, A. A. (2021). Problematika Sampah Visual Media Luar Ruang: Tinjauan Regulasi Kampanye Pemilu dan Pilkada. Jurnal Adhyasta Pemilu, 4(2), 66--78. 
  • Bawaslu (2023, June, 21) Minim regulasi pemilu ramah lingkungan, daur ulang sampah logistik pemilu perlu dipikirkan bersama. (n.d.). Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia. 
  • Janati, C. D. (2023, July 31). Kampanye lewat Baliho Masih Marak, Pengamat: Tak Efektif dan Cuma Jadi Sampah. Harianjogja.com. 
  • Zaki, M. F. (2024, January 20). Cerita Pasutri yang Kecelakaan akibat Tertimpa Bendera Partai di Flyover Kuningan. Tempo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun