Logika sederhananya menunjukkan bahwa nomor urut partai politik dan caleg dapat berubah setiap pemilu. Itu menunjukkan bahwa kentestan pemilu harus membuat ulang atribut kampanye-nya.
Belum lagi banyak alat peraga kampanye yang dipasang dengan menancapkannya pada batang pepohonan di pinggir jalan. Hal ini tentunya sudah melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Apakah ada usaha konkret untuk mengelola alat peraga kampanye ini dengan cara yang lebih ramah lingkungan? Pemilu yang ramah lingkungan seharusnya bukan hanya sebatas retorika dalam agenda politik.Â
Partai politik dan calon legislatif perlu mendeklarasikan tanggung jawab mereka terhadap konsekuensi dari tumpukan baliho dan spanduk yang terabaikan pasca-pemilihan.Â
Adakah kebutuhan untuk regulasi yang jelas, memastikan bahwa alat peraga kampanye yang tidak terpakai dapat dikelola secara bertanggung jawab?
Sebagai masyarakat wajar jika saya menuntut transparansi dan tanggung jawab terkait pengelolaan sampah visual ini.Â
Suara masyarakat harus menjadi pukulan keras yang menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bukan hanya untuk kampanye sesaat, melainkan komitmen jangka panjang.Â
Sampah itu Tak Efektif Menarik Jumlah Suara
Tidak hanya menjadi ancaman keselamatan dan merusak lingkungan, atribut kampanye seperti baliho dan spanduk juga bisa jadi tidak efektif dalam penggunannya.Â
Sebagaimana dikutip oleh Harian Jogja, Dosen Sosiologi UGM, Arie Sujito, menyuarakan bahwa penggunaan baliho dalam kampanye pemilu seringkali tidak membawa manfaat yang signifikan.Â
Bahkan, keberadaan baliho hanya merupkan sampah visual semata, menciptakan masalah sampah baru yang tidak terkendali.
Kritik tajam dari Dosen Sosiologi UGM tersebut membuka mata kita terhadap realitas kegagalan baliho sebagai alat kampanye yang efektif.Â