Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dissenting Opinion Hakim MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres dan Kritik pada Putusan MK

17 Oktober 2023   14:02 Diperbarui: 17 Oktober 2023   14:11 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hakim MK, Anwar Usman dan Sadil Isra (Sumber: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay via KOMPAS.com)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah menimbulkan berbagai diskusi dan kontroversi di masyarakat. 

Meskipun putusan ini dihasilkan setelah sidang pleno yang melibatkan sejumlah hakim, termasuk hakim Saldi Isra yang menyampaikan dissenting opinion, tetap saja menjadi pembahasan yang menarik untuk dievaluasi secara lebih mendalam. 

Pada pandangan pertama, putusan ini tampaknya menghadirkan nuansa modernisasi (kesempatan generasi muda) dalam politik, tetapi apakah ini benar-benar membawa perubahan positif dalam konteks pemilihan umum dan demokrasi di Indonesia?

Latar Belakang Putusan MK

Putusan MK ini sebenarnya merupakan respons terhadap belasan permohonan uji materi yang berkaitan dengan syarat usia calon presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. 

Dari sekian banyak permohonan tersebut, hanya tiga perkara yang diperiksa melalui sidang pleno. Hasil rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada tanggal 19 September 2023, delapan hakim konstitusi, termasuk hakim Saldi Isra, menolak permohonan pemohon dan memposisikan Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang.

Namun, selanjutnya MK menggelar RPH untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia calon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q. 

Dalam RPH kedua tersebut, terjadi pergeseran pandangan beberapa hakim yang awalnya memposisikan Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka menjadi 'mengabulkan sebagian' permohonan pemohon. 

Dari kelompok hakim yang setuju untuk "mengabulkan sebagian," ada yang mengusulkan syarat alternatif bahwa seseorang yang belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah. 

Lainnya mengusulkan syarat alternatif bahwa seseorang yang belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri jika pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur.

Opini Saya Terhadap Putusan MK

Ada beberapa aspek yang perlu dievaluasi dalam konteks putusan MK ini. Pertama, apakah keputusan ini benar-benar mencerminkan semangat demokrasi yang inklusif dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin negara? 

Pada pandangan pertama, penggabungan pengalaman sebagai syarat alternatif terkesan sebagai langkah positif. Namun, perlu diingat bahwa pengalaman sebagai kepala daerah atau gubernur bukanlah satu-satunya indikator kesuksesan dalam memimpin negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun