Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Cinta Seorang Ayah dan Anak dalam Perang Dingin (Sudut Pandang Anak Laki-laki)

23 September 2023   12:06 Diperbarui: 28 September 2023   12:01 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi konflik ayah dengan anak laki-laki. (Pexels/Kindel Media)

Dia rela bekerja keras demi kebutuhan sekolah saya, menghadiri setiap acara penting dalam hidup saya, dan memberi dukungan, meskipun seringkali hanya dengan senyuman(tapi tidak selalu) atau anggukan kecil.

Meski begitu, rasa ingin mengenal ayah lebih dekat selalu menggebu dalam dada. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Apa impian dan kekhawatiran yang dia simpan? Mengapa dia memilih untuk mempertahankan jarak? 

Mungkin, di balik itu semua, dia merasa takut. Takut bahwa jika dia menunjukkan sisi lembutnya, saya akan melihatnya sebagai sosok yang lemah. Atau mungkin, cara ini adalah bentuk perlindungannya, supaya saya tumbuh menjadi pria yang kuat dan mandiri.

Barulah ketika saya memasuki usia dewasa, saya mulai memahami alasan di balik perang dingin kami. Saya menyadari bahwa ayah mencintai saya dengan caranya sendiri. 

Cinta yang dinyatakannya bukan dengan kata-kata manis atau pelukan hangat, melainkan dengan tindakan dan pengorbanan. Dengan setiap pelajaran hidup yang dia berikan, dia ingin saya menjadi pria yang lebih baik darinya.

Takut Akan Kegagalan yang Sama

Suatu hari, saat saya pulang dari kampus, saya menemukan ayah duduk sendirian di teras rumah, dengan mata yang kosong (tipikal bapak-bapak sruput kopi sore hari). 

Saat itu, tanpa kata-kata, saya duduk di sampingnya sembari melepaskan ikatan sepatu, merasakan hembusan angin sore yang lembut. Kami berdua terdiam, menikmati ketenangan bersama. Mungkin, inilah momen ketika perang dingin kami mulai mencair.

Perlahan tapi pasti, kami mulai membuka hati. Ayah bercerita tentang masa mudanya, tentang kegagalannya, impian, dan harapannya untuk saya. 

Dalam cerita-ceritanya, saya melihat sosok ayah yang sebenarnya, seorang pria yang memiliki banyak ketakutan, namun penuh cinta dan harapan untuk anaknya.

Terlepas dari semua pertentangan dan kesalahpahaman, hubungan antara ayah dan anak laki-laki adalah salah satu tali ikatan terkuat dalam kehidupan. 

Ketika saya kini melihat ke belakang, saya bersyukur atas setiap momen sulit yang kami alami bersama, karena itu telah memperkuat ikatan kami dan mengajarkan saya tentang arti kesabaran, pengertian, dan cinta sejati. 

Ayah Memiliki Caranya Sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun