Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghadapi Bayang-bayang Predator Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

19 September 2023   13:00 Diperbarui: 19 September 2023   13:07 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stop kekerasan seksual. (Unsplash/Nadine Shaabana ilustrasi Benedictus Adithia)

Dampak dari kekerasan seksual sangat luas, mempengaruhi baik fisik maupun psikologis korban. Untuk mengatasi masalah ini, Permedikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 dirancang sebagai solusi. Regulasi ini menekankan pentingnya pembentukan satgas penanganan kasus, definisi perilaku kekerasan seksual yang jelas, serta keterlibatan seluruh sivitas akademika.

Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang Dilaporkan ke Komnas Perempuan (2015-2021)

Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang Dilaporkan ke Komnas Perempuan (2015-2021). (Databoks Katadata)
Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang Dilaporkan ke Komnas Perempuan (2015-2021). (Databoks Katadata)

Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Komnas Perempuan, terlihat bahwa ada dinamika unik dalam kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di Indonesia. 

Walaupun ada penurunan angka laporan pada tahun 2021, namun ini bukan semata-mata indikator bahwa kondisi telah membaik sepenuhnya. Bahkan, ada kemungkinan besar banyak korban yang memilih untuk bungkam dan tidak melaporkan kejadian yang mereka alami, sehingga angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi dari data yang tercatat.

Dari periode 2017 hingga 2021, tercatat bahwa perguruan tinggi menjadi lokasi dengan laporan tertinggi, mencapai 35 kasus. Hal ini diikuti oleh pesantren dengan 16 kasus dan SMA dengan 15 kasus. Tentu saja, angka-angka tersebut menggambarkan bahwa tak satupun institusi pendidikan di Indonesia yang benar-benar aman dari ancaman kekerasan seksual.

Sebagai salah satu bentuk respons dari hal ini, telah dikeluarkan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini tentu menjadi harapan baru bagi banyak pihak agar perguruan tinggi di Indonesia bisa bebas dari kekerasan seksual.

Namun, sebuah regulasi sekuat apapun akan sia-sia tanpa implementasi yang tepat di lapangan. Oleh karena itu, penting bagi kita semua, baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun sivitas akademik, untuk terus mengawasi dan memastikan bahwa regulasi tersebut benar-benar diterapkan dengan baik. 

Hanya dengan kerjasama dan komitmen bersama, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar kondusif dan aman bagi semua peserta didik di Indonesia.

Apa yang Bisa Dilakukan dalam Mencegah Perilaku Kekerasan Seksual?

Ketika seseorang menjadi saksi kekerasan seksual, metode 5D's Bystander Intervention dapat diterapkan, yaitu direct, distract, delegate, delay, dan document. Sementara untuk membantu korban, cara terbaik adalah dengan mendengarkan, berpihak padanya, tidak menyalahkan, memberikan informasi relevan, serta mencari dukungan bersama-sama.

5D's Bystander Intervention


Metode 5D's Bystander Intervention adalah serangkaian langkah atau tindakan yang bisa diambil oleh seseorang ketika menyaksikan tindakan kekerasan atau pelecehan seksual sedang terjadi. Tujuan dari metode ini adalah untuk mengintervensi atau mencegah situasi tersebut berlanjut tanpa menempatkan diri sebagai saksi dalam bahaya. 

Berikut penjelasan dari masing-masing "D" dalam metode 5D:

  • Direct (Langsung):

Mengintervensi situasi secara langsung dengan cara menegur pelaku atau menenangkan korban. Ini mungkin paling efektif jika saksi merasa aman untuk melakukannya dan percaya bahwa tindakannya dapat menghentikan perilaku yang tidak pantas.

  • Distract (Distraksi): 

Mengalihkan perhatian pelaku atau mengubah dinamika situasi, misalnya dengan meminta bantuan pelaku, berbicara tentang topik yang tidak relevan, atau mengajak korban berbicara tentang hal lain. Tujuannya adalah untuk memutus momentum pelaku atau memberikan jeda, sehingga korban memiliki kesempatan untuk meninggalkan situasi tersebut.

  • Delegate (Delegasi): 

Meminta bantuan orang lain, bisa berupa teman, petugas keamanan, atau orangtua. Dalam konteks kampus, bisa juga melapor ke pihak berwenang seperti dosen, staf kampus, atau unit khusus yang menangani kasus kekerasan dan pelecehan.

  • Delay (Tunda): 

Jika pada saat itu tidak mungkin atau tidak aman untuk mengintervensi, saksi dapat menunggu sampai situasi tersebut berakhir dan kemudian mendekati korban untuk mengekspresikan keprihatinan, memberikan dukungan, atau membantu korban mencari bantuan.

  • Document (Dokumentasi): 

Mendokumentasikan apa yang disaksikan dengan seakurat mungkin. Ini bisa meliputi detail tentang apa yang terjadi, siapa yang terlibat, waktu, dan lokasi. Jika aman, mengambil foto atau video bisa menjadi bukti tambahan. Namun, pastikan untuk selalu meminta persetujuan dari korban sebelum membagikan dokumentasi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun