Sebelumnya, terima kasih untuk artikel Felix Tani berjudul "Drama Skripsi dari Sudut Pandang Dosen Pembimbing". Tulisan yang saya buat ini bukan untuk menyanggah atau menentang semua argumen dalam tulisan Pak Felix di atas.
Justru, tulisan ini mendukung beberapa argumen yang ada dalam artikel tersebut. Bagaimanapun tulisan ini didasari oleh pengalaman baru saya yang saat ini sedang mengerjakan skripsi.
Skripsi, Mahasiswa Protagonis dan Dosen Penuh Teror
Kita sering mendengar celoteh mahasiswa mengenai betapa menantangnya proses skripsi. Jangan salah sangka, perjuangan dalam menyusun skripsi tak sekadar mengenai menulis dan riset, melainkan juga perjuangan mental dan emosional. Sebagai seorang mahasiswa, biarkan saya berbagi perspektif kami mengenai drama skripsi.
Pertama, kesan bahwa mahasiswa lemah dalam bahasa dan metode riset mungkin benar bagi sebagian dari kami. Namun, harus dimengerti bahwa banyak dari kami yang datang dari berbagai latar belakang pendidikan. Metodologi dan pengajaran di setiap sekolah berbeda-beda.Â
Jadi, meski sudah belajar bahasa Indonesia selama bertahun-tahun, standar dan pendekatan setiap sekolah berbeda. Sebetulnya ini masalah yang kompleks yang harus diajarkan sejak duduk di bangku SMP atau bahkan SD.
Kedua, skripsi adalah pertama kalinya bagi banyak dari kami untuk menyelidiki topik secara mendalam. Tantangan untuk memilih topik yang relevan, mencari literatur, merancang penelitian, mengumpulkan data, dan menulis laporan adalah beban yang cukup berat.Â
Dosen pembimbing tentunya memainkan peran penting dalam memandu kami, tetapi sebagai mahasiswa, kami juga merasa perlu untuk menunjukkan inisiatif dan kemampuan independen kami.
Ketiga, tekanan untuk menyelesaikan skripsi dalam batas waktu tertentu, sambil menjaga kualitas hasil, juga menambah beban. Ini bukan hanya tentang mendapatkan nilai bagus, tapi juga tentang memastikan bahwa riset kami berkontribusi terhadap bidang ilmu, setidaknya bagi saya begitu. Kami ingin skripsi kami bukan hanya sekadar tugas akhir, tapi juga sebuah karya yang kami banggakan.
Keempat, selain tantangan akademik, ada juga tekanan sosial dan emosional. Tekanan dari keluarga untuk lulus tepat waktu, ekspektasi teman-teman, dan ketakutan akan masa depan setelah lulus. Semua ini menambah beban mental yang harus kami hadapi selama proses skripsi.
Namun, meski demikian, banyak dari kami yang melihat skripsi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri. Kami belajar tidak hanya tentang topik riset kami, tetapi juga tentang cara berpikir kritis, kerja keras, dan ketekunan. Skripsi menjadi pengalaman berharga yang mempersiapkan kami untuk tantangan di dunia nyata ke depannya.