Teknologi memberikan kemudahan bagi manusia. Di era globalisasi seperti sekarang ini, banyak teknologi baru bermunculan dan berkembang dengan sangat pesat. Sekarang kita memasuki era revolusi industry 5.0 dimana menekankan kolaborasi antara manusia dan mesin. Era ini lebih menitikberatkan kepada integrasi antara teknologi canggih seperti AI, IoT, dan teknologi robot teknologi dengan keahlian manusia.
Salah satunya yaitu pada bidang pendidikan. Banyak teknologi yang digunakan untuk mendukung proses belajar mengajar diantaranya ada e-learning, blended learning, dan perpustakaan digital. Akan tetapi, tak jarang juga kemajuan-kemajuan teknologi itu memiliki dampak yang kurang baik khususnya bagi kalangan anak muda. Dampak tersebut bahkan juga dapat merusak karakter anak bangsa. Memang teknologi itu seperti sebuah pisau bermata dua, yang mana apabila digunakan secara tepat akan memberi manfaat yang berlimpah. Akan tetapi, jika digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, juga dapat memberikan dampak destruktif yang cukup besar.
Dengan seiring berkembangnya teknologi kita semakin dipermudah untuk melakukan aktivitas. Namun tak jarang juga kita temui banyak anak muda jaman sekarang yang memanfaat teknologi itu dengan tidak tepat. Misalnya, banyak jaman sekarang marak munculnya hate comment, FoMO, narsisme, cyberbulying. Dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tak jarang membuat kita abai atau lalai terhadap aturan dan norma-norma yang berlaku.
Cyberbullying merupakan kegiatan perundungan dengan menggunakan teknologi digital (UNICEF, 2020). Cyberbullying pada umumnya dilakukan dengan cara menyebarkan berita bohong untuk memalukan orang lain, mengirim pesan atau ancaman kepada orang lain melalui laman chatting, dan trolling. Cyberbullying ini juga sangat memengaruhi pribadi korbannya mulai dari mental, emosional, serta fisiknya. Bahkan tak jarang cyberbullying ini membuat orang menjadi depresi. Dalam beberapa kasus ekstrim, kasus cyberbullying ini bahkan ada yang sampai menyebabkan orang lain mengakhiri hidupnya. Menurut hasil riset Digital Civility Index yang dilakukan oleh Microsoft, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara dengan pengguna internet terburuk di Asia Tenggara.
Selain cyberbullying, juga ada yang sedang tren akhir-akhir ini, yaitu tren untuk tidak ketinggalan informasi atau biasa disebut FoMO (Fear of Missing Out). Mereka beranggapan bahwa dengan terus megikuti tren mereka gaul, hebat, dan keren. Padahal tidak semua tren itu baik dan sesuai dengan masing-masing pribadi. Tak jarang hal ini membuat kaum muda menjadi kehilangan jati dirinya karena mereka terus mengikuti tren yang ada tanpa disesuaikan atau direfleksikan dengan pribadi masing masing. Bahkan ada orang yang sampai menjual harta benda miliknya hanya untuk mengikuti tren. Seperti kejadian di Jakarta, terdapat seorang remaja laki-laki yang menjual barang-barang berharganya untuk membeli sebuah tiket konser artis terkenal.Â
Pengaruh kemudahan akses internet juga menjadi salah satu faktor terjadinya FoMO. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5 %, yang mana berdasarkan gendernya, kontribusi internet Indonesia banyak bersumber dari laki-laki sebanyak 50,7 % dan perempuan 49,3 %. Sementara dari segi umur, mayoritas dari mereka adalah Gen Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 34,40%. Lalu, berusia generasi milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 30,62%. Kemudian berikutnya, Gen X (kelahiran 1965-1980) sebanyak 18,98%, Post Gen Z (kelahiran kurang dari 2023) sebanyak 9,17%, baby boomers (kelahiran 1946-1964) sebanyak 6,58% dan pre boomer (kelahiran 1945 sebanyak 0,24%. Dari data tersebut, generasi Z menempati urutan pertama. Di mana dapat kita lihat, mereka yang mengalami FoMO ini kebanyakan berasal dari generasi Z.
Narsisme merupakan salah satu tren yang sedang marak sekarang ini. Menurut KBBI, narsisme adalah suatu keadaan di mana orang mempunyai kencenderungan untuk mencintai dirinya secara berlebihan. Orang yang narsis biasanya mereka menanggap diri mereka hebat dan hanya berpikir untuk memamerkan dirinya kepada orang lain. Tak jarang narsisme membuat diri kita menjadi sombong dan tidak bisa terbuka dengan orang lain. Narsisme ini juga menjadi tantangan terbesar untuk kaum muda jaman sekarang, di mana dengan segala kemudahan yang ditawarkan membuat kita bisa melakukan apa yang kita mau. Ini menjadi tidak mudah apabila kita tidak memiliki bekal refleksi diri karena akhirnya kita hanya menggunakan teknologi itu sebagai objek dan bukan sarana untuk pengembangan diri.
Digitalisasi memang merupakan hal yang harus kita terima dengan baik. Kita tidak dapat menolak atau resisten terhadap teknologi yang ada. Namun kita juga harus bijak dalam menggunakan teknologi itu. Oleh karena itu, diperlukan refleksi dan diskresi yang mendalam dari para penggunanya. Dengan diskresi dan refleksi yang dilakukan terhadap teknologi, saya yakin kita tidak lagi diperbudak oleh teknologi itu, melainkan kita yang memiliki kontrol atas teknologi itu.
Kita sebagai insan-insan bangsa yang cerdas, harus sadar dan tahu betul bahwa teknologi diciptakan tujuannya untuk mempermudah dan membantu manusia dalam beraktivitas. Teknologi bukanlah tujuan, melainkan teknologi hanyalah sarana untuk mempermudah kita dalam mewujudkan apa yang kita butuhkan. Kita sebagai generasi penerus bangsa harus memandang teknologi dengan prinsip "dekat tapi tak lekat".
Sumber Pustaka :
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/16023/Mengenal-Revolusi-Industri-50.html
https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/apa-itu-cyberbullying
https://lmsspada.kemdikbud.go.id/mod/page/view.php?id=82878
https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
https://www.kompas.id/baca/metro/2023/06/08/mereka-yang-bertaruh-segalanya-demi-mengais-perhatianÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H