Mohon tunggu...
Benny Kalakoe
Benny Kalakoe Mohon Tunggu... profesional -

Hidup itu indah kalau dibagikan...La vida es bella cuando la compartes...Life is beautiful when you share it.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

JIS: Dari Kejahatan Seksual Menuju Polemik Pendidikan Indonesia

23 April 2014   22:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:17 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13982423791392067019

[caption id="attachment_332949" align="alignleft" width="780" caption="Ilustrasi (Edukasi.kompas.com)"][/caption]

Dalam sebuah program TV, “Indonesian Lawyer Club” (TV One), kejahatan seksual yang menimpa seorang murid TK di Jakarta International School (JIS) diangkat menjadi tema utama. Dialog yang dibangun dalam program tersebut sangat menarik. Karena setiap orang mengungkapkan pandangannya dari perspektifnya masing-masing. Walaupun masalah dasarnya adalah “kejahatan seksual” namun semua pembicara dalam program tersebut menghubungkannya dengan “polemik pendidikan” di tanah air, khususnya proses pendidikan di “Sekolah Internasional”. Secara khusus wakil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa “ini adalah moment yang terbaik” untuk melihat kembali semua proses pendidikan di “Sekolah Internasional”.

Dari dialog (perdebatan) yang berkembang dalam program tersebut dapat ditarik beberapa kenyataan riil tentang “polemik pendidikan” yang dibangun oleh sebuah Yayasan (PT) yang mendirikan “Sekolah Internasional” berhadapan dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian P dan K, yang memberikan ijin dan pengawasan atas proses pendidikan di sekolah. Beberapa kenyataan riil polemik pendidikan dari program tersebut adalah:

Lakon yang diperankan oleh pemerintah (Kementerian P dan K)

1.Semua sekolah(TK-Universitas) yang didirikan di NKRI ini harus mendapat izin dari pemerintah (Kementerian P dan K). Namun kenyataannya Taman Kanak-Kanak JIS sudah hampir 21 tahun tidak memiliki izin dari pemerintah. Pertanyaannya adalah: Apakah pemerintah selama ini tidak pernah datang ke JIS untuk mengawasi secara langsung bagaimana proses pendidikan di sana? Kalau kelalaian ini dari pihak pemerintah maka sudah selayaknya pemerintah juga harus digugat oleh pihak korban karena kelalaian dalam fungsi kontrol yang sudah menjadi tugasnya.

2.JIS merupakan sekolah internasional. Menurut aturan pemerintah sebuah Sekolah Internasional memiliki kebebasan untuk menggunakan kurikulum yang berbeda dari  kurikulumpemerintah NKRI. Namun dengan beberapa catatan penting! Antara lain Sekolah Internasional wajib memberikan mata pelajaran Bahasa Indonesia, PPKN, Agama dan Pancasila. Pertanyaannya apakah keempat pelajaran tersebut dijalankan di JIS? Dari dialog ILC TVOne tersebut, seorang wakil rakyat menyatakan bahwa dia sering menemukan sekolah-sekolah internasional tersebut tidak mengajarkan PPKN, Pancasila dan Agama. Lalu kalau mereka tidak menjalankannya apa yang harus dibuat oleh pihak pemerintah? Mengeluh?

3.Pemerintah mengawasi proses pendidikan TK di JIS melalaui penilik sekolah yang berada di tingkat kecamatan. Pertanyaannya: Penilik Sekolah yang membawahi JIS selama ini mengawasi apa? Ataukah ada “kerjasama gelap” antara penilik sekolah (Kementerian P dan K) dengan pihak sekolah? Kalau itu yang terjadi sangat tidak layak pemerintah melemparkan kesalahan terhadap pihak sekolah tanpa mengoreksi dirinya sendiri!

Lakon yang diperankan oleh JIS:

1.Sebagai sebuah institusi pendidikan di wilayah NKRI sudah seharusnya mengikuti peraturan di wilayah NKRI. “Pembiaran”, atau “Kelalaian”, atau “Penipuan” atau “Kelicikan” yang dilakukan oleh institusi pendidikan JIS dengan membuka TK JIS tanpa izin dari pemerintah merupakan sebuah pelecehan (kejahatan) terhadap esensi pendidikan itu sendiri. Anak-anak sekolah diajar untuk “jujur”, tetapi Institusi Pendidikan itu sendiri dibangun diatas “ketidakjujuran”! Maka nilai pendidikan seperti apa yang diterapkan dalam sekolah itu nantinya? Pemerintah sudah selayaknya “menutup” TK JIS karena “ilegal”. Tetapi tidak hanya itu, bisa saja diberi sanksi lain yang lebih berat, sesuai dengan peraturan yang ada. Selain itu pihak JIS harus menyampaikan permohonan maaf kepada publik, karena layanan publik dari institusi sekolah yang mereka jalankan selama ini ternyata ilegal. Kejujuran untuk menyatakan diri bersalah dan mulai menata kembali institusi sekolah JIS akan sangat dihargai oleh publik daripada berusaha “menjaga pamor sekolah dan membenarkan diri” dengan pengacara-pengacara terkenal!

2.Salah satu esensi pendidikan itu adalah kejujuran. Mekanisme nilai kejujuran itu dinyatakan dalam proses pendidikan yang terbuka dan transparan bagi pengawas (pemerintah)  dan publik. Dari dialog ILC TV One tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa Sekolah JIS “menutup diri” terhadap pemerintah (pengawas) dengan tidak membuat laporan-laporan yang seharusnya dibuat oleh JIS dan juga tidak menghadiri beberapa pertemuan penting tentang pendidikan yang dibuat oleh pemerintah. Di sini letak “kesombongan” sebuah Sekolah Internasional yang menganggap diri mungkin “lebih hebat” dan menganggap rendah pemerintahan NKRI. Sekali lagi nilai-nilai dasar pendidikan: kejujuran dan kerendahan hati tidak dijalankan oleh JIS sebagai sebuah institusi pendidikan.  Salah satu prinsip IB Program yang diterapkan oleh JIS adalah “Think globally and act locally”. Sudah seharusnya JIS sadar bahwa mereka tidak hanya diawasi oleh dunia internasional tetapi juga diawasi oleh negara Indonesia. Butuh kerjsama yang lebih baik dengan pemerintah NKRI.

Lakon yang diperankan oleh Orang Tua Murid:

1.Demi kebaikan anak-anaknya sudah seharusnya orang tua murid mencari “sekolah yang paling baik” buat anaknya. Namun seringkali orang tua murid mengartikan “sekolah yang paling baik” itu adalah: “sekolah mahal, sekolah internasional dengan fasilitas yang luar biasa, guru-gurunya orang asing, dan kurikulumnya lintas negara”. Harus disadari bahwa “dunia pendidikan” dalam dunia globalisasi sekarang ini sudah tidak menempatkan “pendidikan” sebagai esensi dunia pendidikan. Banyak institusi pendidikan yang menjadikan uang sebagai hal utama dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain, sadar atau tidak sadar, “institusi pendidikan” sekarang sudah berubah menjadi “industri pendidikan”.  Karena itu orang tua murid harus pandai mencari tahu dan melihat mana sekolah-sekolah yang benar-benar menjalankan pendidikan yang baik. Tidak bisa hanya melihat label  seperti “sekolah elite, sekolah internasional, guru-gurunya orang asing, kurikulumnya internasional”. Orang tua murid harus mulai melihat proses pendidikan riil di sekolah.

2.Sekolah-sekolah swasta yang berorientasi  “industri” selalu memperhatikan atau menjaga “pamor” mereka sebagai sekolah yang “unggul”, “baik”, “hebat” dll. Pamor dijaga supaya mendatangkan uang! Karena itu mereka berusaha sekuat mungkin untuk “menutupi” kelemahan sekolah mereka dengan berbagai cara. Sebagai contoh: pertama: seringkali iklan-iklan yang mereka buat di berbagai sudut kota jauh dari kenyataan riil di sekolahnya sendiri. Biasanya iklan-iklan sekolah seperti ini akan mendekati perumahan-perumahan elite. Padahal orang tua murid seharusnya sadar bahwa “sekolah yang baik tidak perlu iklan”, karena “kebaikan” sekolah itu sendiri pasti akan diiklankan oleh orang tua murid atau murid ke semua orang yang ditemukannya dari mulut ke mulut. Jangan cepat percaya iklan sekolah, tetapi datangilah sekolah tersebut dan lihatlah bagaimana proses pendidikan yang mereka jalankan. Kedua: untuk menjaga pamor sekolah, semua “kejahatan” yang terjadi di lingkungan sekolah dilarang untuk dihembuskan keluar.  Karena itu kejahatan dalam dunia pendidikan seringkali ditutup-tutupi dengan berbagai cara. Biasanya orang tua murid disogok atau diancam sehingga mereka “diam”. Saya bangga dengan orang tua murid AK dari JIS, yang melapor kejahatan ini ke kepolisian. Karena segala bentuk kriminalitas sudah selayaknya harus dilaporkan ke yang berwajib dan bukan “domain”-nya sekolah. Apalagi kalau sekolah berusaha untuk menutupi tindakan kejahatan tersebut dengan berbagai cara.

3.Orang tua murid juga seharusnya sadar bahwa tidak ada sekolah yang “sempurna”. Dalam pengertian ada hal-hal dasar sebuah institusi pendidikan yang tidak bisa ditolerir dan ada hal-hal tambahan lainnya yang bisa ditolerir. Proses pendidikan melibatkan kerjasama antara pihak sekolah, murid dan orang tua. Bila ada kekurangan dari pihak sekolah sudah seharusnya disampaikan kepada pihak sekolah. Sementara sekolah juga harus membuka diri terhadap orang tua murid demi kebaikan sekolah itu ke depan. Tentunya perlu kerjasama yang baik dari ketiga pihak tersebut.

Peristiwa kejahatan seksual di JIS merupakan salah satu potret situasi pendidikan di tanah air. Dari hasil dialog ILC TV One kelihatan sekali bahwa pihak pemerintah tidak memiliki legitimasi yang kuat dan jelas atas institusi pendidikan swasta di Indonesia. Sementara pihak institusi sekolah swasta tidak menghendaki  keterlibatan pihak pemerintah dalam proses pendidikan di sekolah mereka. Dari kenyataan itu muncul beberapa pertanyaan penting. Pertama: Mengapa pemerintah NKRI tidak memiliki legitimasi yang kuat dan jelas atas institusi pendidikan seperti sekolah internasional di Indonesia?

Legitimasi dalam dunia pendidikan selalu berkaitan dengan kualitas pendidikan yang dibangunnya.  Pemerintah sebagai perancang, pelaksana dan pengawas pendidikan nampaknya tidak dapat berbicara banyak terhadap kualitas pendidikan yang dirancangkan, dilaksanakan dan diawasi oleh negara lain (yang banyak dipakai di sekolah-sekolah internasional). Lihat saja urutan kualitas pendidikan Indonesia di mata dunia. Menurut Education For All Global Monitoring Report 2012 yang dikeluarkan oleh UNESCO, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64 untuk pendidikan di seluruh dunia dari 120 negara. Data Education Development Index (EDI) Indonesia, pada tahun 2011 Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara.

Ada banyak hal yang mempengaruhi kualitas pendidikan di sebuah negara. Diantaranya adalah pandangan pemerintah atas pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa. Sebagai contoh: Kosta Rika (Costa Rica) dari dulu menganggap pendidikan sebagai hal yang paling penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, melalui peningkatan kualitas SDM. Karena itu pemerintah Kosta Rika mengalokasikan anggaran di bidang pendidikan cukup besar. Bahkan negara tersebut menghilangkan alokasi dana militer (karena dilihat tidak penting) dan dialihkan ke dana pendidikan. Tidak mengherankan kualitas pendidikan Kosta Rika sejak saat itu meningkat tajam sampai sekarang ini. Dan hasilnya Kosta Rika menjadi  “Swissnya Amerika Latin”. Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia belum menyadari pentingnya pendidikan bagi peningkatan SDM dan kesejahteraan bangsa. Alokasi dana untuk pendidikan saja jauh dari yang diharapkan. Bahkan anggaran untuk militer jauh lebih besar daripada anggaran pendidikan. Lihat saja fasilitas sekolah-sekolah negeri yang ada di tanah air. Selain fasilitas sekolah, gaji guru di tanah air juga belum mampu menghidupkan keluarga guru. Tidak mengherankan para guru di Jakarta lebih memikirkan pekerjaan tambahan daripada pekerjaan mereka sebagai guru di sekolah.

Selain fasilitas yang tidak memadai dan gaji guru yang rendah, hal yang paling menentukan kualitas pendidikan adalah esensi pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini salah satunya adalah kurikulum. Setelah cukup lama berbicara tentang kurikulum, akhirnya pemerintah mengeluarkan Kurikulum 2013. Kompetensi inti, kompetensi dasar yang dirumuskan dalam tiga pilar yakni Sikap (Religius dan Sosial), Pengetahuan dan Ketrampilan yang dievaluasi dengan Penilaian Proses dan Penilaian Akhir sungguh merupakan sebuah kurikulum yang sangat lengkap. Tetapi ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan oleh P dan K atas kurikulum ini. Misalnya konteks lokal harus dipertimbangkan. Pengandaian bahwa semua sekolah harus memiliki komputer sementara energi listrik untuk menghidupkan komputer sering menjadi penghambat di daerah pedesaan. Kurikulum pendidikan yang lebih menonjolkan peran teknologi komputer sementara guru-guru di daerah pedesaan belum mengenal komputer. Sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan konteks internasional, nasional dan lokal dalam kurikulum pada sekolah-sekolah di daerah.

Sebagai contoh: saya masih ingat apa yang diajarkan guru saya saat saya masih sekolah di SDK Rekas I, Manggarai Flores (1980-1986). Kami diajarkan tentang alat-alat transportasi. Alat-alat transportasi yang ada di kampung saya waktu itu cuma mobil dan motor (sepeda tidak ada, karena jalan raya di kampung  jelek). Pesawat terbang bisa dilihat karena bisa dilihat dari darat. Kapal laut belum pernah dilihat karena saat itu belum pernah ke pantai. Apalagi kereta api tidak pernah bisa saya bayangkan karena memang di Flores tidak ada kereta api. Saat itu guru sekolah saya menambahkan bahwa alat transportasi di kampung kita sebenarnya ada juga yakni kuda dan kerbau. Hampir setiap keluarga menggunakan kuda atau kerbau sebagai alat transportasi untuk perjalanan jauh. Kerbau dan kuda biasanya dijadikan tunggangan untuk mengangkut barang sementara kuda biasanya dijadikan tunggangan manusia. Tentu saja yang lebih kontekstual untuk kami di kampung saat itu adalah alat-alat transportasi yang ada di sana. Karena itu mengherankan sekali kalau dalam ujian dan UN, alat transportasi dipertanyakan bagi kami anak-anak Flores adalah kereta api: Siapa itu masinis dan apa itu gerbong? Kalau anak yang kuat hafal mungkin bisa menjawabnya tetapi sebagian besar tidak bisa menjawabnya.  Bahkan guru-gurunya pun belum pernah melihat kereta api. Guru yang mengajarkan saya tentang kereta api di SD dulu baru melihat kereta api di Jakarta tahun 2008. Saat saya menemaninya ke Monas, beberapa kereta api lewat di Stasiun Kota. Dia bertanya kepada saya, “Apa yang panjang yang lewat itu?”. Lalu saya bilang,  “ Itu alat transportasi : Kereta Api, yang Bapa Guru dulu ajarkan kepada kami.”  Dia geleng-geleng kepala karena baru lihat kereta.

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa pendidikan yang disentralisasikan ke dalam konteks kota Jakarta atau Jawa sangat tidak menyentuh buat orang-orang di Indonesia Timur yang memiliki konteks yang berbeda. Pemerintah seharusnya memberikan peluang bahkan mendukung muatan-muatan lokal yang tidak kalah pentingnya.  Beberapa negara di dunia sudah membuat kurikulum seperti  itu: kurikulum yang dipakai di setiap negara bagian atau provinsi disesuaikan dengan konteks mereka masing-masing, tanpa harus mengabaikan kurikulum dasar yang dibuat oleh negara atau pemerintah pusat.

Secara singkat dapat dikatakan produk pendidikan yang dibangun oleh pemerintah Indonesia sangat menentukan legitimasi pemerintah atas sekolah-sekolah swasta.  Realitas lain di Indonesia adalah hampir sebagian besar anak-anak pejabat negara memilih sekolah-sekolah internasional atau sekolah swasta yang terkenal daripada sekolah-sekolah negeri yang pemerintah sendiri bangun. Situasi ini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri (pejabat-pejabat pemerintah) tidak yakin akan kualitas pendidikan yang mereka sendiri bangun. Coba cek saja anak-anak pejabat pemerintahan di Indonesia, ke mana anak mereka bersekolah di Indonesia? Sebagian besar pasti bersekolah di sekolah swasta yang memiliki “reputasi baik”.

Pertanyaan kedua: Mengapa sekolah-sekolah Swasta tidak menghendaki campur tangan pemerintah yang lebih besar atas sekolah mereka?

Secara hukum harus disadari bahwa sekolah-sekolah yang diselenggarakan pihak swasta merupakan perpanjangan tangan dari pihak pemerintah. Itu berarti mereka harus taat kepada peraturan  atau ketentuan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya banyak sekolah-sekolah swasta (termasuk sekolah internasional) tidak menghendaki campur tangan pemerintah yang lebih besar. Ada banyak alasan yang mungkin menjadi jawaban atas situasi ini. Misalnya saja, mutu pendidikan yang dijalankan sekolah negeri dan sekolah swasta. Mutu sekolah swasta yang cenderung jauh lebih baik daripada sekolah negeri membuat pihak swasta mempertanyakan integritas pemerintah atas sekolah-sekolah nasional /pemerintah tersebut. Mungkin saja JIS beranggapan bahwa sebelum pemerintah mencampuri urusan internal Sekolah JIS sebaiknya pemerintah memperbaiki dulu kualitas pendidikan sekolah-sekolah negeri! Anak-anak pejabat negara saja banyak yang sekolah di sekolah-sekolah swasta itu berarti pemerintah mengakui dan menghargai sekolah swasta daripada sekolah negeri.

Sebagai penutup: Apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa: kejahatan seksual di sekolah; masalah ijin sekolah dan pengawasan pendidikan ini?

1.Kejahatan itu tidak mengenal ruang dan waktu. Artinya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Kejahatan seksual yang terjadi di JIS sama saja dengan kejahatan seksual yang terjadi  di semua sekolah lain di Indonesia. Karena itu kejahatan seksual yang terjadi di JIS tidak bisa dijadikan alasan untuk memojokkan JIS atau sekolah-sekolah internasional lainnya. Hendaknya setiap kasus harus dilihat sesuai konteksnya masing-masing.

2.Perlu ada kerjasama yang lebih baik antara pemerintah dan penyelenggara sekolah dari pihak swasta. Pemerintah tidak perlu takut untuk mengawasi semua sekolah dalam wilayah NKRI tanpa kecuali. Hendaknya kehadiran atau keterlibatan pemerintah dalam dunia pendidikan swasta tidak menjadi beban bagi sekolah swasta. Melainkan faktor yang mendukung sekolah swasta untuk terus menjaga mutu sekolah semakin baik. Demikianpun pihak swasta, tidak perlu takut dengan pemerintah. Karena pemerintah adalah mitra kerja untuk membangun pendidikan yang lebih baik, maka sudah selayaknya pihak swasta terbuka dan transparan dengan pemerintah atas masalah pendidikan yang dihadapinya.

Beberapa kutipan mengenai pendidikan yang penting untuk direnungkan

Nelson Mandela: "Pendidikan adalah senjata paling mematikan, karena dengan itu Anda dapat mengubah dunia".

Martin Luther King Jr. : "Kecerdasan dan karakter adalah tujuan sejati pendidikan".

Malcolm X: "Pendidikan adalah tiket ke masa depan. Hari esok dimiliki oleh orang-orang yang mempersiapkan dirinya sejak hari ini".

Henry Ford : "Seseorang yang berhenti belajar adalah orang lanjut usia, meskipun umurnya masih remaja. Seseorang yang tidak pernah berhenti belajar akan selamanya menjadi pemuda".

BSD, Tangerang Selatan

Benny Kalakoe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun