Mohon tunggu...
Benny Kalakoe
Benny Kalakoe Mohon Tunggu... profesional -

Hidup itu indah kalau dibagikan...La vida es bella cuando la compartes...Life is beautiful when you share it.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi: Harapan, Kerja dan Indonesia Hebat

28 Oktober 2014   04:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:30 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabinet Kerja Jokowi

[caption id="" align="alignleft" width="780" caption="Kabinet Kerja Jokowi"][/caption]

Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden NKRI yang ketujuh merupakan fenomena politik yang mungkin tidak terbayangkan. Bagi para politikus yang sudah makan garam sekalipun kemunculan Jokowi pada awalnya tidak dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa bahkan tidak terpikirkan bahwa Jokowi bisa sampai menjadi presiden (Bahkan mungkin Yusuf Kala sendiri tidak menganggap Jokowi sebagai capres yang ideal pada awal mulanya).  Kurang lebih seperti itulah yang dihadapi oleh Megawati dan Prabowo yang memboyong Jokowi ke Jakarta sebagai gubernur dan akhirnya menghadang mereka berdua juga sebagai calon presiden dan presiden berikutnya.

Mengapa Jokowi bisa jadi presiden? Dalam tulisan saya sebelumnya saya pernah menganalisis lima kekuatan utama bagi seorang politikus untuk “memperoleh kekuasaan” (power). Tetapi kali ini saya mencoba untuk melihat fenomena lain yang saya sendiri alami ketika balik ke Indonesia dan merasakan denyut politik di tanah air.

Fenomena pertama: masyarakat Indonesia sudah “pintar” dalam hal kesadaran berpolitik! Kepintaran dalam hal kesadaran berpolitik ini bisa saja terjadi karena dua hal. Pertama karena pendidikan yang mereka alami bagaimana pentingnya peran politik dalam hal membangun bangsa seperti yang terjadi di negara-negara maju. Masyarakat sadar untuk terlibat secara aktif dalam pemerintahan baik langsung maupun tidak langsung untuk menentukan arah pembangunan. Di sini masyarakat sudah sadar bahwa politik itu penting dan suci karena fungsinya untuk menyejahterakan masyarakat. Yang kedua kepintaran karena kemuakan akan situasi politik yang terus menerus menekan masyarakat atau tidak berpihak kepada masyarakat. Kemuakan, kebosanan tersebut membuat masyarakat sadar akan hak atau peran mereka dalam menentukan pemerintahan seperti siapa yang harus memerintah mereka.

Kesadaran berpolitik karena pendidikan politik sangat terasa di ibukota Jakarta. Munculnya relawan-relawan muda profesional yang sangat sadar akan peran mereka dalam menentukan pembangunan bangsa sungguh menakjubkan. Saya terheran-heran dengan teman-teman saya yang saya ketahui saat perjuangan reformasi tahun 1998-1999 hanya menjadi penonton bahkan sempat mempertanyakan perjuangan mahasiswa pada waktu itu.  Sekarang ini mereka terlibat aktif bahkan ikut kampanye politik untuk melakukan perubahan politik di Indonesia. Nampaknya mereka sadar bahwa reformasi atau transformasi politik hanya bisa terwujud bukan hanya ditentukan oleh ideologi tetapi juga sangat ditentukan oleh siapa-siapa yang memerintah negara ini. Slogan demokrasi Partai Demokrat yang begitu indah akhirnya hancur oleh begitu banyaknya politikus Demokrat terlibat kasus korupsi yang mengerikan! Gerakan Indonesia Raya partai Gerindra tidak cukup dengan slogan tetapi harus diwujudkan dengan menentukan kader-kader yang bersih, profesional, pro rakyat dan mau berkorban untuk rakyat.

Kesadaran kaum profesional untuk terlibat secara politis sebagai relawan tanpa harus terlibat secara aktif dalam sebuah partai politik sangat dipengaruhi oleh arus globalisasai dan teknologi komunikasi. Kancah politik modern tidak lagi didasarkan hanya pada ideologi, kekuatan militer, kekuatan uang, pencitraan tetapi juga sangat ditentukan oleh peran massa melalui media massa. Kekuatan massa lewat media massa yang dimiliki publik (twitter, facebook dan e-mail) ternyata mampu merobohkan kekuatan media massa yang dikooptasi oleh politikus tertentu. Menarik, ketika TV One menyerang Jokowi dan Yusuf Kala secara bertubi-tubi, tetapi facebook, twitter dan e-mail mengkounternya bahkan bisa menghakimi sumber berita atau media yang memberitakannya. Kampanye dari mulut ke mulut lewat para relawan yang tidak dibayar sesenpun oleh Jokowi dan Kala jauh lebih ampuh daripada mengkaderkan anggota partai politik yang mencari sesuap nasi lewat partai politik.

Tentunya fenomena di Jakarta yang dipenuhi begitu banyak relawan sangat berbeda dengan situasi di pelosok-pelosok tanah air. Saat berlibur ke Flores bulan Juli lalu tepat sebelum pilpres tanggal 9 Juli 2014 saya terkagum akan pandangan masyarakat di pelosok Flores. Masyarakat di desa atau pelosok-pelosok tidak mengenal pemerintahan mereka tetapi melihat kerja pemerintah. Sarana air minum, rumah sakit, listrik dan transportasi yang tidak pernah direalisasikan oleh pemerintah membuat mereka muak dengan pemerintahan yang hanya “memanfaatkan suara mereka” menjelang pemilihan umum. Banyak proyek-proyek pemerintah yang bernilai milyaran rupiah tetapi tidak memberikan hasil apa-apa bagi masyarakat. Proyek bendungan, proyek rumah sakit, air minum, perbaikan sekolah semuanya bermasalah. Di Labuan Bajo Flores misalnya, yang terkenal karena pintu masuk ke Komodo, belum ada Rumah Sakit yang bisa diandalkan untuk menolong masyarakat. Para guru pensiun, yang sangat berjasa sehingga anak-anak Flores bisa merantau ke mana saja di muka bumi ini (termasuk saya), harus menderita di masa tuanya karena harus terbang ke Denpasar Bali untuk berobat jika mereka sakit. Biaya yang begitu besar dan resiko perjalanan dari Flores ke Denpasar sungguh menguras tabungan seumur hidup mereka dan membahayakan nyawa mereka tidak dilihat sebagai masalah oleh pemerintah. Sungguh menyedihkan memang. Demikian juga dengan persediaan air yang layak bagi masyarakat di kota Labuan Bajo sungguh mengecewakan. Sementara persediaan air di hotel-hotel berbintang yang dilengkapi dengan kolam renang mewah sungguh berlimpah. Situasi seperti ini membuat masyarakat memilih pemerintahan yang lebih pro-rakyat, yang mengerti kebutuhan rakyat, yang mengunjungi rakyat dan mau berkorban demi rakyat. Dan ini mereka lihat dalam sosok Jokowi yang memang tidak dibuat-dibuat seperti yang dilakukan Wiranto yang berpura-pura menjadi kondektur untuk mengambil hati rakyat.

Setelah Jokowi terpilih menjadi presiden NKRI yang ketujuh mereka sangat berharap banyak terhadap pemerintah. Masyarakat menyadari bahwa penghambat utama pembangunan bangsa Indonesia adalah pemerintah sendiri. Artinya pemerintah tidak menjalankan peran atau fungsinya sebagaimana seharusnya. Korupsi dan nepotisme masih menyelimuti pemerintah. Andaikan saja semua dana untuk jalan raya di Indonesia direalisasikan secara sungguh-sungguh sudah pasti tidak ada keluhan transportasi di berbagai pelosok Nusantara. Demikian juga dengan prasarana lain seperti air, rumah sakit, dan listrik. Yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya sederhana, realisasikan semua proyek pemerintah yang bagus-bagus tersebut; mempersingkat dan memperjelas sistem birokrasi pelayanan publik.

Dengan mengambil nama sebagai Kabinet Kerja, Jokowi mau menunjukkan bahwa orang Indonesia sebenarnya malas bekerja. Tidak mengherankan, Pancasila UUD 45 merupakan dasar dan pedoman kebangsaan yang diakui oleh berbagai cendikiawan di muka bumi ini sebagai yang terbaik, tetapi praksisnya atau kerjanya hampir jauh dari semangat Pancasila dan UUD 45 tersebut. Jokowi mau menunjukkan bahwa ideologi, visi dan misi bernegara yang dikemas begitu indah tidak ada gunanya kalau tidak dipraktekkan. Dia mau mengajak seluruh warga NKRI supaya mulai bekerja. NKRI yang dikenal begitu kaya akan sumber daya alamnya tetapi hidup miskin susah dimengerti oleh banyak orang. Penunjukkan menteri kabinetnya yang mengedepankan etos kerja mau menunjukkan bahwa masa depan NKRI hanya bisa dilaksanakan kalau seluruh masyarakat Indonesia mau turun bekerja. Menarik bahwa Jokowi tidak menyebut kabinetnya sebagai Kabinet Indonesia Hebat seperti koalisi yang dibangun partainya. Dia sungguh sadar bahwa kehebatan itu hanya muncul kalau orang bekerja sesuai dengan jabatan yang diembannya. Sebagai pemerintah yang melayani masyarakat maka harus menunjukkan kerja yang melayani masyarakat. Tidak mengherankan bahwa dalam berbagai kesempatan Jokowi meminta masyarakat untuk bekerja sesuai dengan perannya masing-masing dan mengajak masyarakat supaya bahu membahu bekerja sama dengan pemerintah demi kesejahteraan rakyat.

Fokus Kabinet Kerja Jokowipun sangat nampak terlihat. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bertani dan nelayan. Maka sudah selayaknya pembangunan harus dimulai dari pertanian dan kelautan. Pendapatan yang diperoleh dari segelintir orang kaya sudah pasti sangat tidak seimbang kalau didapat dari seluruh rakyat Indonesia. Orientasi investasi yang hanya mengeruk alam Indonesia tanpa menolong masyarakat Indonesia yang adalah petani dan nelayan sudah pasti tidak menjadi perhatian yang paling utama bagi Jokowi. Pembangunan seperti inilah yang diharapkan oleh masyarakat dari dulu, yang sesuai dengan konteks masyarakat. Ketika masyarakat Komodo di NTT dijadikan daerah tambang oleh pemerintah sudah pasti sangat tidak cocok dengan lingkungan alamnya yang indah yang sangat layak dijadikan daerah pariwisata dan perikanan. Inilah yang diharapkan oleh masyarakat, pembangunan yang kontekstual bagi masyarakat dan bukan pembangunan yang dipaksakan demi investasi atau uang yang hanya dinikmati oleh segelintir orang kemudian hari.

Jokowi ingin mengembalikan kehendak masyarakat Indonesia yang memilihnya supaya mulai bekerja. Jokowi mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa memilih dirinya berarti memilih untuk bekerja. Indonesia hanya akan bisa “hebat” kalau orang orang Indonesia bekerja. Bekerja adalah bukti kedewasaan kepribadian manusia. Sebenarnya bekerja di bumi Nusantara yang kaya raya ini tidak terlalu sulit bila dibandingkan dengan negara-negara yang dipenuhi salju atau padang pasir. Kita semua diajak kembali oleh Jokowi untuk bekerja sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Selamat Bekerja Jokowi dan Selamat Bekerja Indonesia.

Benny Kalakoe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun