Pada tahun 2013, Universitas menemukan Profesor Michael Simons bersalah atas pelecehan seksual dan menjatuhkan sanksi padanya. Lima tahun kemudian, Simons mengklaim bahwa Yale menghukumnya lagi karena alasan yang sama, menganggap itu sebagai diskriminasi gender terkait gerakan #MeToo. Pengadilan federal pun mengizinkan kasus ini untuk dilanjutkan ke pengadilan.
Kasus Michael Simons melawan Universitas Yale menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana menyeimbangkan tanggung jawab individu atas pelecehan seksual dengan perlindungan hak-hak dosen. Keputusan pengadilan yang mengizinkan kasus ini untuk diadili menunjukkan bahwa tindakan Yale mungkin dipengaruhi oleh faktor lain di luar penyelidikan awal, yang bisa menimbulkan kekhawatiran soal keadilan dalam proses disiplin. Kasus ini mengingatkan kita pentingnya lembaga untuk hati-hati dalam mempertimbangkan bukti dan mengikuti prosedur hukum yang tepat, agar hukuman yang diberikan proporsional dan berdasarkan kriteria objektif, bukan hanya opini publik.
Simons mengajukan gugatan terhadap Yale dengan tuduhan diskriminasi gender, mengklaim bahwa dia menerima hukuman yang lebih berat daripada rekan pria dalam kasus pelecehan seksual. Meskipun hakim menolak beberapa klaimnya, seperti pelanggaran privasi dan penderitaan emosional, hakim memutuskan bahwa ada cukup bukti tidak langsung untuk mempertimbangkan bahwa Yale mungkin telah bertindak diskriminatif terhadap Simons.
Simons dinyatakan bersalah atas pelecehan seksual pada tahun 2013 dan sebagai hukumannya dicopot dari jabatan Kepala Kardiologi di Fakultas Kedokteran. Dia menuduh bahwa setelah hukuman awal ini, Universitas secara ilegal mengambil serang kaian hukuman tambahan yang tidak berdasar terhadap dirinya sebagai tanggapan atas kritik publik, terutama ketika Simons diberi dan kemudian diminta untuk mengundurkan diri dari jabatan profesor berdana pada tahun 2018, ketika gerakan #MeToo mendapatkan perhatian nasional.
Kasus ini bisa diibaratkan seperti seorang pemain sepak bola yang dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama akibat tekanan publik. Simons berargumen bahwa hukuman tambahan yang diberikan Yale lebih mencerminkan keinginan untuk merespons gerakan sosial daripada hasil penyelidikan internal. Pengadilan federal di Connecticut setuju untuk mendengar argumen ini, membuka kemungkinan bahwa tindakan Yale mungkin dipengaruhi oleh motif diskriminatif. Namun, Yale tetap mempertahankan bahwa tindakannya sepenuhnya didasarkan pada komitmen untuk menjaga integritas dan keselamatan kampus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H