Saat kecil seringnya menonton acara di televisi, membuat aku ingin menjadi seorang pembawa acara televisi atau menjadi seorang reporter. Alasannya simpel, hanya untuk dapat berbicara dan masuk kedalam layar kaca. Lucu ya kalau dipikir, tetapi pada usia 20 tahun aku mencapai titik itu. Aku berhasil berada didalam layar kaca dan menyampaikan informasi untuk khalayak ramai, pada salah satu stasiun televisi lokal. Sebenarnya aku masih belum merasa berhasil karena masih banyak keraguan akan kemampuanku. Namun dunia baruku itu membawa aku terus berlari, pada mimpi-mimpiku yang tidak pernah cukup.Â
Mau tidak mau aku diajak untuk terus meng-upgrade diriku. Mulai dari berani untuk mengulik kehidupan sang narasumber, dengan percakapan hangat yang tidak menyinggung. Membuat berita yang informatif dan menarik pada hal yang sederhana. Berani keluar dari zona nyaman dan menyamankan diri pada zona yang baru. Belajar percaya diri, karena sebelumnya aku termasuk orang yang penakut. Takut kalau diminta tampil kedepan dan takut sekali untuk beropini. Dari situ ada perasaan GueBeda karena kalau aku berhenti berproses, aku pasti tidak tau rasanya dibenahi. Tidak rugi digembleng didunia jurnalistik. Mulai dari sinilah jiwa petualangku diadu. Dunia seperti membangunkan rasa penasaranku untuk lebih mengenal lagi siapa aku. Gejolak jiwa ini menjadi tak terbendung dan membuatku terpaksa bergerak. Butuh mental baja untuk berani melangkah. Â Â Â
Ditengah suntuknya berperan menjadi mahasiswa dengan tugas akhir demi mendapat gelar diploma, aku bereksplorasi kembali. Kalau dibilang tidak bisa anteng ya memang tidak bisa. Semenjak kecil aku sering melihat dan terlibat saat ibuku membuat baju untukku dan bapak. Terlahir dari keluarga sederhana membuat aku menjadi terpaksa kreatif dan terpaksa bisa. Orangtuaku selalu mengajarkan jika dirumah ada kenapa harus beli atau jika kamu bisa membuat sendiri kenapa harus beli.Â
Dari mengukur badan dengan meteran jahit yang lentur. Membuat pola pada koran bekas yang dibawakan bapak dari tempat kerjanya. Menempel pola pada kain. Membuat garis bantu diatas kain dengan kapur jahit. Memotong kain sesuai bentuk pola dan menjahitnya dengan mesin jahit bekas milik alm. Bude, semua dilakukan sendiri. Hobi ibuku ini menular sedikit kedalam diriku. Walaupun sedikit, dapat membawa aku untuk berani tampil dalam pagelaran sederhana karya mahasiswa sastra perancis Universitas Negeri Semarang.Â
Yap, Unnes Fashion Week pada tahun 2014 membawa aku untuk nekat tampil. Entah membanggakan atau tidak, tetapi aku berani berdiri dan membawa karyaku di panggung itu. Kewanen kalau kata orang jawa. Kalau ditanya puas, ya lumayan puas karena aku sudah bersedia mencoba. Kalau belum mencoba, mungkin hingga saat ini aku masih penasaran bagaimana rasanya berdiri di tengah karyaku sendiri dan dilihat ribuan mata. Huh ! Sangat mengesankan. Aku terlanjur nekat.
Disamping dua hal besar yang pernah aku lakukan untuk mendobrak diriku, aku suka sekali dengan dunia fotografi dan travelling. Seperti kebanyakan anak muda lainnya. Gemar sekali bepergian lalu berfoto dan mengunggahnya di media sosial, aku pun begitu. Walaupun aku tidak memiliki kamera dslr atau mirrorless, setidaknya sedikit pahamlah bagaimana cara menggunakannya. Saat kuliah dulu aku pernah mendapat mata kuliah fotografi selama dua semester dan mendapat nilai A.
Saat bepergian bersama teman-temanku pun wajib membawa kamera dan tripod. Lucunya, kamera canggih mereka bisa membuat diriku terlihat ayu dan menarik didalam foto. Kalau ditanya kemana kami akan pergi, kami senang kemana saja asal bisa tertawa santai. Kalau aku pribadi sangat menyukai pantai, suasananya menenangkan. Tidak heran jika media sosialku dipenuhi dengan banyak sekali foto di pantai, walau tidak semua aku posting.
Menariknya ada seorang wartawan tribun jateng yang melihat koleksi fotoku di instagram. Dia menghubungiku dan memintaku untuk diwawancarai. Beberapa minggu kemudian aku melihat foto diriku pada sebuah kolom buah bibir. Rasanya ingin tertawa.
Diriku yang bisa dikatakan tidak bisa anteng ini kebetulan memiliki teman-teman yang sama sepertiku, jadi apa boleh buat. Aku sering mengajak dan diajak mereka bepergian. Tidak bisa anteng bukan berarti aku punya kondisi fisik yang tahan banting ya. Seringnya beraktifitas, sampai terkadang lupa waktu makan dan pulang kerumah larut malam. Tidak heran kalau aku dapat terkena flu atau pusing ringan. Beruntungnya aku selalu siap sedia KayuPutihAroma di tas, ukurannya yang pas memudahkan aku untuk membawanya. Apalagi saat ini minyak kayu putih cap lang produksi PT. Eagle Indo Pharma  ini telah mempunyai beragam varian aromatherapy, wah semakin lengket saja dengan KayuPutihAroma ini.
KayuPutihAroma sering aku bawa didalam saku celana atau jaket, jadi setiap saat aku butuh bisa langsung menggunakannya. Kegiatan berburu foto bersama teman-temanku pun tidak terganggu. Sebenarnya sejak kecil ibuku selalu memberiku minyak kayu putih untuk menghangatkan tubuhku. Namun sampai hampir berusia seperempat abad ini, aku masih menggunakan minyak kayu putih. Bahkan kedua adikku yang usianya terpaut 13 tahun dan 9 tahun lebih muda dariku pun menggunakan minyak kayu putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H