Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terpilihnya 2 Anak Atut dan Aceng Fikri; Refleksi Demokrasi dan Hak Asasi

29 April 2014   14:48 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04 2711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah era reformasi, masyarakat kita dilanda euforia baru yang bernama Demokrasi. Perubahan sistem pemilihan kepala daerah, calon legislatif dan Presiden secara langsung , menandakan terbukanya gerbang demokrasi, di mana seluruh warga negara yang sudah berusia 17 tahun ke atas memiliki hak menyalurkan aspirasinya secara bebas dalam sistem pemilihan langsung.

Tidak ada lagi istilah beli kucing dalam karung. Partai politik sekarang ini menjadi wadah untuk menjual figur yang laku dijual.  Hubungan dua arah yang saling menguntungkan antara parpol dan caleg adalah  take and give yang logis.

Calon presiden dan wakilnya yang akan bertarung pada pilpres Juli mendatang, sudah harus dengan jelas diusung oleh partai tertentu, dan rakyatlah yang menentukan lewat pemilihan langsung, mana yang disukai untuk dipilih sebagai pemimpin. Ini sudah merupakan kemajuan dibandingkan jaman Orde Baru di mana Presidennya dipilih oleh partai, dan wakil Presidennya nanti  dipilih sendiri oleh Presiden terpilih sebagai paket terpisah.

Ke depannya akan jauh lebih ideal lagi jika sudah dihilangkan Presidential treshold yang memang secara logika membuka gerbang "saling menjual suara dan dukungan" kepada parpol lain yang dianggap lebih memiliki kesempatan menang.

Terpilihnya dua anak Atut maju ke Senayan dan mantan Bupati Aceng Fikri yang memperoleh satu kursi duduk di DPD, menunjukkan dengan jelas wajah demokrasi kita yang sebenarnya.

Secara garis besar dalam bahasa yang mudah dipahami, Demokrasi artinya suatu sistem pemerintahan di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses menentukan pemimpin melalui pemilu yang sah.

Ketika figur-figur yang tidak kita sukai kemudian muncul sebagai pemenang, maka kita tidak boleh mengatakan ini demo-crazy. Kecuali memang ditemukan bukti kecurangan dan diproses secara hukum.

Demokrasi bukan berarti yang lebih pintar dan dewasa berpolitik memiliki bobot yang lebih besar menentukan pemimpin. Dalam demokrasi masing-masing suara bernilai sama. Kaya, miskin, pintar dan bodoh, bobot satu suara adalah setara dengan satu suara lainnya.

Yang belum kita sadari sepenuhnya adalah kenyataan bahwa logika dan realita golongan miskin berbeda dengan yang sudah mapan dan cerdas.

Bagi yang masih miskin, realita saat ini jauh lebih penting daripada mimpi masa depan. Perut lapar, biaya sekolah tidak ada, pekerjaan tidak tersedia; ketika datang sosok yang menawarkan sedikit bantuan berupa uang tunai atau sembako, dan dibarter dengan suara si penerima untuk memilihnya, maka itulah realita dan logika sederhana yang terjadi dan paling masuk akal untuk si miskin untuk ditukar dengan hak pilihnya.

Dalam demokrasi, suara si miskin dan bodoh sama bobotnya dengan professor atau si kaya yang bermobil mewah. Kalau kemudian dalam proses berdemokrasi uang memang selalu lebih mempan bicara, di sinilah titik lemahnya yang seharusnya kita lawan dengan cara-cara beradab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun