Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menolak Makanan KPK, Anas Makin Lebay

12 Januari 2014   07:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 3310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13894879141327235054

Kebesaran jiwa seorang pemimpin atau calon pemimpin, sejatinya terlihat dari tindak tanduk dan tutur kata yang mencerminkan karakter sebenarnya. Sejak dijadikan tersangka oleh KPK, yang saya amati tutur kata dan tindak tanduk Anas Urbaningrum semakin hari semakin memperlihatkan bahwa dia tidak lebih baik dari SBY yang kerap disindirnya. Anas dengan segala ocehannya di dunia maya, diikuti dengan gerakan pendirian PPI yang secara garis besar dapat dilihat kegiatannya  hanya berkutat seputaran kasus Anas dan menjelek jelekkan SBY beserta partai Demokrat, makin tidak memperlihatkan Anas sebagai  pemimpin berkualitas. Bumbu bumbu penyedap menebar mimpi surga kepada rakyat,  sekarang sudah tidak laku lagi. Rakyat sudah makin pintar dan belajar dari pengalaman masa lalu. Memposisikan diri sebagai "korban politik" dan "kambing hitam" atau sebagai "anak yang tidak dikehendaki", sudah kurang laku dijual kepada masyarakat. Rakyat tidak buta melihat pergerakan dan tindak tanduk AU yang ketika masih duduk sebagai ketua umum PD sering memuji SBY setinggi langit.  Kebalikannya,  segera setelah lengser justru menyindir nyindir dan menjelek jelekkan  SBY lewat medsos. Ucapan Anas untuk membuka "kartu truf" dan  halaman selanjutnya sudah menjadi janji basi yang tidak seksi lagi. Sesungguhnya kartu truf yang tadinya diumbar untuk dijadikan pegangan menyerang kubu Cikeas, sekarang malah berbalik menjadi kartu mati yang mempermalukan diri sendiri, sampai sampai bisa terjadi insiden pelemparan telur kepada Anas, oleh seorang pria yang mengaku kesal dengan tindak tanduk Anas. Pelemparan telur seperti itu tidak dibenarkan. Emosi kebablasan yang tidak mampu ditahan oleh seseorang karena melihat tindak tanduk Anas yang mengesalkan,  jauh panggang dari api.  Terdorong kejengkelannya, dia melakukan tindakan tidak terpuji itu. Bertolak dari pelemparan telur itu, Anas dan keluarganya kemudian merasa keselamatan dirinya  tidak terjamin. Anas menolak makanan pemberian KPK, dan ngotot hanya ingin memakan makanan yang dibawa oleh keluarga. Sikap Anas dan loyalisnya memang merupakan "manuver" yang tidak menarik simpati , meskipun skenarionya seperti dibuat untuk memperjelas posisi Anas sebagai "korban politik". Ketika datang ke KPK memenuhi panggilan di "Jumat keramat", Anas tidak didampingi oleh kuasa hukum. Artinya Anas melepaskan haknya sebagai seorang tersangka untuk berhak didampingi kuasa hukum. Di mata saya ini tidak lebih dari sikap sok "pahlawan" yang ingin memproklamirkan diri seolah "tidak takut". Anehnya, setelah insiden pelemparan telur, kuasa hukum Anas beserta seorang kerabatnya ngotot ingin menemui Anas meski diluar jam kunjungan. Alasan karena  hendak membawa makanan, dan surat dari istri Anas. Permintaan yang ditolak KPK karena memang peraturannya pada hari Sabtu dan Minggu tidak ada waktu kunjungan bagi tahanan KPK. Ini bukan peraturan yang dibuat setelah Anas ditahan. Ini peraturan KPK yang berlaku bagi semua tahanan KPK tanpa memandang bulu. Siapa Anas sampai KPK harus membuat dispensasi sehingga mengijinkannya menerima titipan makanan dan barang serta dijenguk bukan pada waktu yang ditetapkan?. Anas tidak usah terlalu lebay dengan ketakutan yang berlebihan seakan akan KPK tidak bisa menjamin keselamatannya dan kemungkinan diracun. Rakyat akan berdiri dibelakang KPK untuk tidak meracuni Anas. Rakyat ingin melihat dan menyaksikan babak selanjutnya yang dijanjikan akan dibuka Anas. Manuver Anas mulai dari menolak datang pada panggilan pertama dan kedua dengan alasan tidak jelasnya surat pemanggilan KPK karena tertulis kata "lain lain", kemudian ucapan terima kasih yang berkepanjangan yang tidak perlu , yang ditujukan untuk KPK dan khususnya SBY, semakin membuat "sinetron" lebay versi AU tidak garing ditonton. Anas bukanlah Nelson Mandela, yang hidup miskin serta menderita selama perjuangannya membebaskan Afrika Selatan dari diskriminasi warna kulit. Anas bercokol dengan nyaman di rumah besar dan bermobil mewah.  Skenario seseorang yang "terzolimi" dan menjadi korban politik tidak cocok diperankan AU, namun terasa terus dipaksakan. Daripada terus menerus berbicara dan bertingkah dengan sikap lebay seperti  makanan kebanyakan bumbu, sebaiknya Anas justru konsentrasi membuktikan kepada KPK dan segenap raklyat Indonesia bahwa dirinya memang bersih dan tidak bersalah. Siapa yang dimaksud Anas lebih pantas untuk diperiksa ? Katakan dengan jelas, diiringi informasi yang valid. Rakyat pasti mendukung. Proses hukum dan pengadilan bukanlah sinetron yang skenarionya dapat diatur atur dan didramatisir. Di hadapan hukum, puisi, kata kata tinggi, kalimat bersayap, semuanya tidak memiliki makna jika tanpa  bukti. Rakyat menanti tindakan Anas yang gagah berani menunjukkan kebenaran dan membuka jalan terhadap keadilan. Tolong jangan suguhi kami rakyat biasa dengan ocehan tak jelas berbalut kalimat intelek. Yang dikehendaki rakyat sekarang bukanlah makanan kelas tinggi semacam caviar dan escargot yang mahal namun tidak mengenyangkan. Ini Indonesia Bung Anas... suguhi kami dengan nasi putih dan semangkok sayur bening. Itu cukup dan tidak muluk muluk. *Foto diambil dari http://cdn.klimg.com/merdeka.com/

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun