[caption id="attachment_398798" align="aligncenter" width="624" caption="Aksi puluhan mahasiswa di Malang, Jawa Timur, kumpulkan koin untuk Australia yang telah mengungkit-ungkit dana bantuan yang telah diberikan kepada Aceh saat dilanda bencana Tsunami 10 tahun lalu. Aksi dilakukan pada Senin (23/2/2015). (KOMPAS.com/Yatimul Ainun)"][/caption]
Pengumpulan koin atau uang receh sementara marak dilakukan karena kita sakit hati dengan pernyataan tolol PM Australia Tonny Abott.
Secara pribadi saya menganggap pernyataan Abott ini menyakitkan dan kebablasan. Tidak pantas hal seperti ini keluar dari mulut seorang perdana menteri.
Tapi di lain pihak saya juga kurang setuju dengan gerakan pengumpulan koin untuk menunjukkan ketersinggungan kita. Menurut saya hal terbaik adalah secepatnya melaksanakan eksekusi mati yang sudah ditetapkan. Pada saat yang sama juga Presiden lewat Menlu bisa mengeluarkan pernyataan sikap dan tegas tidak menerima ucapan Abott.
Logika sederhana saya adalah yang memberi bantuan itu bukan Abott maupun duit pribadi atau nenek moyangnya. Itu terjadi di era John Howard, dan mari berbaik sangka sajalah... Australia di bawah Howard ketika itu tulus membantu kita khususnya Aceh yang sedang ditimpa kemalangan akibat tsunami.
Mengembalikan bantuan dengan uang receh sangat berpotensi melukai pemberi warga Australia yang ketika itu tulus membantu tanpa pamrih.
Lagi pula polling di Australia sendiri menunjukkan bahwa lebih banyak yang setuju dengan hukuman mati ketimbang menolak.
Kita anggap saja si Abott lagi kalap mencari cara mendongkrak popularitasnya dan kebablasan dengan ucapannya yang "bodoh" itu karena berharap bakal didukung sebagai perdana menteri yang mencintai rakyatnya.
Satu hal barangkali kalau bisa kita ambil baiknya (hikmah) di balik kengototan Abott adalah sungguh luar biasa pemerintah Australia membela warga negaranya, bahkan sudah terbukti salah toh segitu ngototnya dibela. Mudah mudahan pemerintah kita juga sangat mencintai warga negaranya, our fellow Indonesian citizen yang banyak berjuang dengan bekerja di luar negeri, mendatangkan devisa meski mempertaruhkan kenyamanan dan keamanan.
Tidak terhitung sesama kita para TKI yang dilecehkan, diperkosa, dirampas haknya, bahkan dibunuh. Tindakan pemerintah kita selama ini terkesan lambat dan kalau belum dieksploitasi media, kesannya malah kurang peduli. Miris!
Mudah-mudahan ke depan, dengan menteri tenaga kerja yang baru, di bawah kepemimpinan Jokowi, ini semua berubah, dan kita mengharapkan perlakuan yang manusiawi dan pantas untuk para TKI.