Setelah gonjang ganjing dan sempat mengalami deadlock dan drama disana sini, akhirnya PPP mengumumkan untuk mendukung Gerindra, sesuai keinginan hati sang ketua partai Suryadharma Ali.
Dengan bergabungnya PPP, PAN dan PKS kepada Gerindra yang mengusung Capres Prabowo, maka dua kubu utama sudah mengkristal dengan jagoan masing masing. PDI-P, Nasdem, PKB sudah mantap dengan Jokowi.
Lucu juga melihat ARB yang sampai saat ini kebingungan menawarkan diri kemana mana untuk mencari teman koalisi yang tak kunjung ditemukan, padahal modal 14 persen sudah ditangan. Lebih gila lagi bahkan tawaran diri sekarang sudah mulai turun menjadi Cawapres, namun tetap tak kunjung "laku". Seharusnya tak perlu bingung jika ARB cukup logis dan realistis mengukur diri sendiri sedari awal.
Dari jauh jauh hari berbagai survey sudah dengan jelas mengindikasikan bahwa tingkat elektabilitas ARB sangat rendah dibanding Capres lainnya, meskipun Golkar masih merupakan partai yang cukup laris.
Golkar sempat menjadi partai pertama pencetus konvensi, ketika itu jamannya Akbar Tandjung, sebagai suatu terobosan baru di dunia demokrasi Indonesia.
Dibawah kepemimpinan ARB, konvensi ditiadakan, dan dengan gaya "One Man Show", ARB memajukan dirinya sendiri dengan kepedean tingkat dewa. Tidak peduli tarikan lumpur Lapindo menyakitkan hati rakyat yang tidak menerima ganti rugi, ARB maju tak gentar menggelar musyawarah Golkar dan mengangkat dirinya lewat sistem yang terorganisir untuk menjadi Capres.
Di pihak lain, SBY yang terkesan mengekor gaya Konvensi yang pernah diadakan Golkar, seperti biasa terlalu lamban bertindak dan mengambil keputusan. Padahal ada dua nama yang cukup menjanjikan di dalam Konvensi Partai Demokrat, yaitu Dahlan Iskan dan Anies Baswedan.
Masyarakat sebenarnya sangat berharap SBY bisa segera mengumumkan siapa pemenang konvensi PD sebelum pemilu diadakan, agar jangan seperti membeli "kucing dalam karung". Entah karena terlalu berhati hati, atau karena masih mencoba menaikkan pamor sang ipar Pramono Edhie, maka SBY tetap berada di jalur lambat berklakson bising .
PD dengan perolehan suara 10 persen, seharusnya menjadi partai yang cukup diminati oleh kubu siapapun. Namun SBY lupa bahwa perasaan rakyat Indonesia yang keleleran selama sepuluh tahun sepertinya memiliki bapak namun tidak diacuhkan karena sang bapak lebih sibuk arisan keluarga!. Rakyat tidak lagi berminat melihat gerombolan si Biru berada dalam pemerintahan berikut.PDI-P dan Gerindra cukup dapat menangkap sinyal itu. Give us a break!.
Semangat perubahan dan iklan anti korupsi menjadi bumerang bagi SBY. Belum lagi urusan Century yang berbelit belit dibolak balik kesana sini, dengan beberapa saksi yang itu itu saja mengatakan hal yang sama. Padahal jika diperjelas secara logika sederhana,Century sangat mudah diuraikan. Empat pertanyaan mendasar : 1.) Apakah kebijakan yang sama diberlakukan juga terhadap bank bank lain yang memiliki masalah serupa?. 2.) Kemana aliran uang Century mengalir setelah mendapat dana talangan, dan siapa nasabah nasabah besarnya?. 3.) Mengapa dana talangan yang awalnya hanya disetujui ratusan milyar, bisa membengkak menjadi 6,7 triliun?. 4.) Mengapa JK sebagai Wapres ketika itu tidak dilibatkan sesuai dengan kesaksian beliau?.