Kemarin ketika sedang mengantarkan rombongan sepupu ke toko Souvenir dan oleh-oleh, aku bertemu seorang sahabat lama yang pernah bekerja sekantor denganku. Seperti biasa setelah cipika cipiki  kami saling menanyakan kabar. Dia terkagum kagum mendengar dua putraku yang sudah kuliah, dan bahwa ada si bungsu Krystle yang sudah SMA.
Ketika aku bertanya mengenai anak anaknya, seketika itu raut wajahnya berubah, sorot matanya melembut menyiratkan setitik kesedihan, atau mungkin juga kepasrahan...sambil berbisik pelan dia mengatakan,"aku punya satu putri Len. Dia dibesarkan kakakku yang hanya memiliki seorang putra tunggal."
Seperti biasa, radar para wanita cepat "on" mendengar bisikan seperti ini, tapi sedikit khawatir untuk terlalu bertanya jauh. Aku hanya mengangguk anggukkan kepala sok' tau sambil bergumam," pasti sudah besar sekarang".
Kami kemudian duduk di pojokan toko dan dengan suara rendah sahabatku berkata, "Tidak apa aku cerita sama kamu. Semua sudah berlalu, dan sekarang segalanya berjalan baik. Suamiku sekarang adalah seoang duda dengan dua anak. Sudah empat belas tahun kami menikah, dan aku pindah ke Pekanbaru dengannya."
Singkatnya sahabatku ini berkisah bahwa ketika masih satu kantor denganku dulu, dia memiliki pacar seorang karyawan Bank BUMN, mereka saling mencintai, namun beda agama. Perbedaan yang tidak mungkin bisa disatukan, tidak peduli seberapa besar cinta yang ada diantara mereka. (ah.. padahal aku selalu percaya bahwa cinta bisa menjembatani segalanya....)
Setalah pacaran lebih dari lima tahun, pacarnya kemudian dipindah tugaskan ke lain kota. Dia kemudian dikenalkan (atau lebih tepat dijodohkan) dengan seorang pria seagama, sahabat dari sepupunya. Singkat cerita, dia menikah. Pacarnya juga menikah dan memiliki dua orang anak. Lima tahun menikah, sahabatku masih belum dikaruniai anak. Tahun keenam, dia menemukan fakta menyakitkan; suaminya selingkuh.
Setelah perenungan panjang, sahabatku akhirnya memilih untuk pisah, karena menurut dia sepertinya hubungan suaminya dengan si WIL sudah berlangsung lama, dan dalam hati kecilnya dia menyadari dan harus jujur bahwa dia tidak benar benar bisa mencintai suaminya meskipun sudah mencoba.
Seperti adegan film, atau mungkin juga skenario film yang meniru kisah hidupnya; dia bertemu kembali dengan sang mantan pacar.
"Enam bulan kemudian, ketika tugas diluar kota, aku menyadari diriku hamil."Â ujarnya dengan tatap mata sendu.
Hampir saja aku bertanya, "kok bisa?", tapi syukurlah yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan klasik," lalu bagaimana?."
"Aku merasa sangat berdosa, Len. Aku sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati, dan juga menyadari bahwa yang kulakukan itu salah. Dengan sangat berat aku memutuskan untuk menghilang dari pacarku. Aku ke Bandung ikut kakak untuk beberapa saat. Pada saat yang sama, aku juga menyadari tidak mampu membunuh anakku sendiri. Aborsi bukan pilihan. Aku sungguh tidak ingin menambah dosa lagi."