Mohon tunggu...
Benda Tumpul
Benda Tumpul Mohon Tunggu... -

Hidup itu cuma permainan dan bermain-main, tinggal kamu pilih, mau jadi pemain atau yang dimainkan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku MundatangiMU Bukan Karena Takut

23 Januari 2016   12:13 Diperbarui: 23 Januari 2016   12:13 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramdhan memang sudah lama berlalu, namun puasa tidak boleh berhenti dan harus tetap menjadi landasan dalam setiap laku kita sebagai manusia hidup. Ada pelajaran yang menurut saya sangat penting yang didapatkan dibulan Ramadhan tahun ini, yaitu pelajaran tentang Rasa Takut.
Ya, kodrat kita sebagai manusia yang diberikan akal oleh Tuhan membuat kita secara naluriah mempertimbangkan segala yang dialami maupun dirasakan dalam keseharian hidup ini, pertimbangan-pertimbangan itulah yang menentukan langkah kita dalam mengarungi kehidupan. Hasil olah pikir yang bernama pertimbangan itu ada bermacam-macam bentuknya, bisa pertimbangan berupa senang, sedih, optimis, pesimis, maju, mundur, kanan, kiri, berani dan juga ada takut, dan disini saya akan mngungkapan pengalaman saya tentang rasa takut tersebut.
Dalam beberapa hal, rasa takut memang diperlukan sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan yang mungkin bisa terjadi yang diluar kemampuan kita untuk bisa mengatasinya, serta untuk membuat kita selalu eling lan waspada. Namun dalam hal tertentu ternyata kita sering salah menempatkan rasa takut tersebut, seperti misalkan kita takut ketika mengikuti suatu ujian entah itu disekolah, kuliah atau didalam lingkup kantor, kita takut nilainya jelek lah, takut tidak naik kelas, takut tidak lulus, takut atasan kita marah dan takut yang lain. Padahal yang perlu kita lakukan hanyalah mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh bisa dengan belajar, bertukar fikiran dengan kerabat, berolah raga dan lain-lain yang sifatnya menambah kemampuan dan keyakinan kita baik secara fisik maupun intelektual. Kemudian kita tinggal mengikuti ujian tersebut dengan penuh optimis dan hasilnya pasti akan disesuaikan dengan seberapa besar persiapan kita.
Begitupun kaitannya dalam hubungan vertikal kita dengan Sang Pemberi Hidup, selama ini kita sudah terlanjur didoktrin sedari kecil oleh guru-guru ngaji kita, oleh ustadz-ustadz ditelevisi, dikoran-koran, bahwa Tuhan adalah sosok yang begitu menakutkan. Kita harus menjalankan apa yang diperintahkannya, apabila tidak dikerjakan maka kita akan disiksaNYA kelak. Begitupun kalau kita melanggar laranganNYA, maka pasti kita akan mendapatkan dosa yang akan membuat kita dibakar dineraka. Tuhan mereka gambarkan begitu menyeramkannya, lebih seram daripada polisi atau hakim didunia.
Dengan dasar pengenalan yang seperti inilah akhirnya membuat kita sulit sekali menemukan Tuhan, karena setiap kita datang ke masjid untuk sholat itu karena didasari rasa takut akan dosa, bukan karena niat tulus untuk mendekat padaNYA. Setiap kita melakukan sedekah selalu mengharap pahala agar dengan pahala tersebut kita bisa masuk surga dan terhindar dari api neraka.
Ternyata menurut saya itu tidak sepenuhnya benar. Tuhan bukanlah sosok yang seperti mereka gambarkan, Tuhan itu Maha Pengampun, Maha Lembut, Maha Rohman dan Rohim. Begitu penuh kasih sayangnya Tuhan kepada kita sehingga dia mengeluarkan statement, “Barang siapa mendekatiKU berjalan maka Aku mendekatinya berlari, barang siapa mendekatiKU sejengkal maka AKU mendekatinya sehasta.”
Semua orang mengatakan ingin mengenal Tuhan agar bisa menyatu denganNYA, agar bisa kembali padaNYA, agar mendapat ridloNYA, atau agar apapun yang menurut mereka adalah Tauhidullah. Tapi kenyataannya, dalam hati mereka masih terbersit rasa takut kepadaNYA, logikanya adalah bagaimana mungkin kita akan mengenal kalau kita datang padanya dengan rasa takut, bagaimana kita bisa pacaran kalau kita takut sama pasangan kita, kemudian bagaimana mungkin kita akan bercinta kalau pacaran saja tidak, dan bagaimana mungkin kita akan menyatu kalau bercinta saja belum. Kira-kira seperti itu logika berfikirnya.
Datangilah Tuhan dengan segenap rasa rindu, sholatlah sebagai baktimu kepada yang kamu kasihi, puasalah sebagai bukti cintamu kepadaNYA. Cintailah Dia melebihi apapun didunia ini termasuk anak istri dan keluargamu. Ketika kamu berhasil memposisikan Tuhan sebagai kekasihmu, maka rasa takutmu bukanlah ketakutan akan siksa nerakanya, seperti halnya cintamu pada istrimu, pasti kamu akan menjaga perasaan istrimu agar tidak sakit hati, kamu akan melakukan apapun untuk istrimu agar istrimu bahagia. Seperti itulah seharusnya hubungan yang kita jalin denganNYA, sebuah hubungan yang dijalin dengan landasan cinta. Dengan kamu mencintai Dia, maka pasti kamu akan melakukan apapun dengan penuh rasa sukacita, karena niatmu pasti hanya untuk membuat bahagia yang kamu cintai itu, dengan membuatnya selalu bahagia maka dijamin Dia pun akan mencintaimu sepenuhnya dan ketakutanmu adalah takut membuatNYA cemburu, takut membuatNYA sakit hati, karena murkanya sesorang yang kita cintai jauh lebih menyakitkan bagi kita dibanding murkanya polisi, hakim atau apapun. Surga atau neraka tidak lagi penting apabila kecintaan kita padaNYA sudah terbalaskan.
Tapi sekali lagi, ini hanya menurut saya berdasarkan pengalaman saya. Silahkan anda bangun hubungan anda sendiri denganNYA sesuai dengan pemahaman dan keyakinan anda sendiri.
Selamat menjalankan puasa untuk satu tahun kedepan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun