Mohon tunggu...
Benda Tumpul
Benda Tumpul Mohon Tunggu... -

Hidup itu cuma permainan dan bermain-main, tinggal kamu pilih, mau jadi pemain atau yang dimainkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disentil Tuhan di Pasar

8 Desember 2015   10:29 Diperbarui: 8 Desember 2015   11:48 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebetulnya ini adalah kejadian beberapa tahun yg lalu ketika masih sering pulang kerja hingga menjelang pagi sekitar pukul 2.00 atau 3.00 dini hari, atau setiap pulang dari menghadiri forum Maiyah Kenduri Cinta sebulan sekali. Hampir setiap pulang dinihari selalu menyempatkan untuk mampir sekedar membeli wedang jahe panas dipasar dekat rumah.

Pukul 2.00 dini hari pasar sudah sangat ramai oleh para penjual yg sudah siap menjajakan dagangannya, begitupun para pembeli yg kebanyakan adalah belanja bahan-bahan untuk mereka dagangkan kembali, baik itu bahan makanan, sayuran atau apapun, dan saya sangat menikmati pemandangan itu. Ada sejuta rasa bercampur aduk setiap melihat kejadian-kejadian dipasar itu. Kadang terbersit rasa kasihan melihat mereka harus bekerja ketika orang lain tertidur pulas dan itu mereka lakukan tiap hari selama tujuh hari dalam seminggu selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ada juga sekilas rasa sedih karena hanya bisa melihat mereka, tidak bisa berbuat atau membantu apapun. Ada juga rasa syukur karena aku ditakdirkan Tuhan lebih beruntung dari mereka sehingga tidak perlu menjalani pekerjaan seperti mereka dipasar. Ada juga rasa salut kepada mereka atas kesabaran mereka menjalani semua itu, ingin aku belajar kepada mereka tentang sabar ketika itu. Dan masih berjuta pikiran lagi tentang kehidupan mereka yg terus menari-nari dibenakku, tantang bagaimana ibu penjual sayuran itu menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya, tentang bagaimana si bapak penjual kue cuhcur itu menghidupi anak istrinya, bagaimana abang penjual wedang jahe ini membayar uang masuk kuliah anaknya nanti (ketika itu dia pernah bercerita bahwa anaknya sudah hampir lulus SMU dan sedang mencari referensi perguruan tinggi dijakarta).
Kesimpulan yang aku ambil ketika itu adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang super sabar. Mereka adalah orang-orang yang ahli bersyukur, sangat menerima dan mensyukuri apapun yg Tuhan berikan kepada mereka. 
Namun baru-baru ini Tuhan menyentil sanubariku yang kemudian diteruskan oleh organisasi syaraf menuju otakku. Belum lama ini kantor menugaskanku untuk pergi ke proyek dikuar kota dan harus kebandara pagi-pagi buta karena harus naik penerbangan pertama pukul 05.30 pagi, itu berarti pukul 3.00 dini hari aku harus berangkat dari rumah. Dengan menaiki taxi aku melewati pasar yg sudah sekitar 3 tahunan tidak aku singgahi di pagi-pagi buta seperti ini, secara spontan mataku berkeliling melihat para penjual dipinggir jalan dipasar itu, dan aku masih sangat hafal dengan wajah-wajah itu, ibu penjual sayuran, bapak penjual kue cuhcur, abang wedang jahe, semuanya masih komplit ditambah beberapa wajah penjual yang dulu belum pernah aku temui.

Kembali otakku berputar dengan sejuta prasangkanya, sepertinya sekedar sabar saja tidak cukup untuk bertahan seperti itu, selama bertahun - tahun berjualan dipasar sedari dini hari hingga siang menjelang. Sudah pasti fisik mereka akan terganggu, sudah pasti segala penyakit akan hinggap ditubuh mereka kalau modalnya hanya sabar.

Sepertinya ditambah syukur pun belum tentu mampu meredam segala gejolak batin dan gejolak rumah tangga mereka, harus ada yang lebih tinggi dari sekedar sabar dan syukur untuk menjadi seperti mereka. Apalagi sekedar nilai rupiah yang mereka dapat, pasti sudah sejak lama mereka beralih profesi kalau acuannya hanya sekedar pendapatan rupiah.

Ikhlas kah? Ternyata bukan juga. Ikhlas itu kaitannya dengan memberi, sementara yang mereka lakukan adalah mencari, mungkin ada sedikit keterkaitan dengan ikhlas, tapi aku yakin bukan itu kata kuncinya.

Terlalu banyak melamun membuatku lupa bahwa taxi sudah sampai ke bandara Soekarno Hatta, bapak supir taxi mempersilahkanku turun setelah aku menyekesaikan pembayaran sesuai dengan yang tertera di argo taxinya plus sedikit tips karena sudah mau mengantarku pagi-pagi buta. Untuk menghanhatkan badan aku memesan segelas kopi dikantin yg ada dibandara sambil menunggu waktu boarding.

Dan, ternyata kopi inilah yang oleh Tuhan dijadikan perantara untuk diriku menemukan jawaban atas lamunanku tadi tentang para penjual dipasar. Kopi hitam panas yang aku minum dipagi buta dalam keadaan dingin seperti ini mamberikan rasa nikmat yang sungguh luar biasa kedalam tubuhku, dan itu adalah kata kuncinya. Nikmat, MENIKMATI. Menikmati takdir hidup yang Tuhan kasih kepadanya.

Sabar itu ketika kita merasa dikasih sesuatu oleh Tuhan yang menurut kita tidak sesuai dengan harapan kita, yang tidak sesuai cita-cita dan angan-angan kita. Sabar itu konteksnya kita dalam posisi yang tertindas, merasa diuji oleh Tuhan, dan mereka sudah sejak lama lulus dari ujian itu.

Sementara syukur itu biasanya tidak bertahan lama untuk suatu momen, bukan yang bersifat rutinitas. Syukur itu kewajiban kita atas apa yang Tuhan kasih kekita pada suatu momen. Catat ya, syukur itu kewajiban. Tetapi Menikmati apapun yang Tuhan berikan, apapun yang Tuhan gariskan ternyata jauh lebih tinggi dari sekedar sabar dan syukur. Orang akan enjoy melakukan sesuatu kalau bisa menikmatinya, sabar itu untuk orang-orang cengeng, syukur itu mencerminkan ketaatan, tapi menikmati itu aplikasi dari kecintaan, kedekatan, kemesraan, takdzim. Orang yang sudah bisa merubah kondisi dari yang seharusnya dia sabar disitu tetapi dia jadikannya menjadi nikmat, sungguh orang yang luar biasa yang seperti itu. Orang yang bisa menikmati hidup yang akan selalu diberikan kekuatan oleh Tuhan untuk menjalani hidupyua itu sebagai imbalan atas ungkapan cinta hambaNYA itu. Kalau Tuhan sudah memberinya kekuatan, penyakutpun enggan mampir kebadannya.

Terima kasih Tuhan, Kau telah menyentilku lewat para penjual dipasar itu, ingin rasanya aku pulang kekampung dan bersimpuh dikaki Kakek dan Nenekku dan menangis sekeras-kerasnya, "Kek, Nek, ajari cucumu ini menikmati apapun yang Tuhan berikan padaku, seperti yang sudah kalian lakukan selama hidup kalian."

Tangerang, 03 Desember 2015
Agus Susanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun