SEJATI; suatu kata dan makna yang sudah benar-benar ditinggalkan oleh negeri ini. Kehidupan yang terbiasa fragmatis membuat semua yang dilihat dan semua yang didengar tak pernah melibatkan RASA dalam menganalisa kadar kebenarannya. Hanya dengan sedikit sentuhan akal saja dianggap sudah cukup sebagai landasan kebenaran. Padahal letak antara akal dan ego sangatlah tipis sekali sehingga sangat mungkin sekali untuk bersinggungan dan bahkan bersenggama dan pada dimensi akal inilah Syetan sangat demen sekali untuk ikut campur dengan segala rayuan dan tipu dayanya. Orang sibuk saling mencari keburukan dan kejelekan orang lain, semua ketulusan dianggap menyimpan pamrih, kesucian dianggap sandiwara, dan setiap kebaikan dianggap klise, dianggap modus. Absurd.
Ironisnya, mereka yang dinobatkan oleh media masa sebagai ustadz, kiyai, pendeta, atau apapun namanya lebih sibuk menebarkan kebencian kepada sesama, mereka sibuk mensesat-sesatkan aliran dan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan kriteria mereka, padahal sejatinya mereka sendiri tidak tahu tentang kriteria Tuhan itu seperti apa. Tuhan digambarkan oleh mereka sebagai sosok yang begitu menakutkan, Dia yang akan menghukum dan menghabisi siapapun yang tidak sejalan dengan pendapat mereka. Mereka lupa dengan tauladan yang Rosulullah SAW cerminkan dalam kehidupannya, mereka lupa dengan "Lakum dynukum waliyadiin", mereka lupa dengan makna islam yang Rahmatan lil 'alamiin, mereka lupa dengan konsep "IQRA" yang Allah tawarkan kepada Muhammad.
Hati sebagai tempat bersemayamnya Rasa hanya menjadi organ pelengkap saja yang sangat tidak penting sekali untuk ikut campur dalam kesehariannya. Padahal hanya dengan dimensi Rasa lah kita mampu menemukan keSEJATIan, hanya dengan Rasa lah engkau dapat bercengkrama dengan Tuhan-mu, lewat rasa lah dirimu menemukan kesempurnaan, dan hanya dengan Rasa lah kejernihan IQRA bisa tercapai.
Daripada kita larut dan tenggelam dalam negeri yang absurd ini, lebih baik kita mulai mnata kembali otak dan hati kita, menyusun kembali akal dan rasa kita, agar mampu senantiasa IQRA terhadap setiap Wahyu Allah. Mari kita dekontruksi kembali cara berfikir kita, cara pandang kita terhadap segala informasi yang kita lihat dan kita dengar, karena belum tentu yang kita dengar dari phak lain baik itu media massa, ataupun orang lain itu sesuai dengan fakta yang sebenar-benarnya. Daripada kita sibuk berprasangka buruk kepada pihak lain, mendingan kita perbanyak berprasangka buruk terhadap diri kita sendiri, bahwa jangan-jangan kita yang salah, jangan-jangan kita yang tidak mengerti, jangan-jangan kita yang belum memaknai sepenuhnya wahyu-wahyu Allah, jangan-jangan kita yang tak pantas masuk surga, jangan-jangan kita yang belum manusia, jangan-jangan kita yang absurd. Who know...
Minimal dengan sesering mungkin kita berprasangka buruk terhadap diri kita sendiri, kemungkinan kita untuk berprasangka buruk terhadap orang lain menjadi berkurang, kita menjadi sibuk sendiri untuk memperbaiki segala hal pada diri kita yang kita anggap belum sesuai dengan yang Tuhan kriteriakan. Dan minimal kita tidak terlalu Absurd lah dimata Tuhan....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H