Mohon tunggu...
Benedectine Dicha
Benedectine Dicha Mohon Tunggu... -

Mahasiswi FISIP UAJY'15

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepentingan Pribadi Vs Independensi Pers

2 Maret 2018   15:41 Diperbarui: 2 Maret 2018   15:47 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit politiktoday.com

Sebelum memasuki kebebasan pers, pers sempat mengalami "pengekangan" di era pemerintahan Soeharto. Tak banyak rakyat yang berani mengkritik pemerintah, bahkan media. Media yang kritis juga sempat mengalami pembreidelan secara besar-besaran di Indonesia.

Bahkan, banyak jurnalis dan orang-orang hilang ketika berani mengkritik pemerintahan Soeharto pada masa itu. Namun, lengsernya Soeharto pada saat itu membuka dunia baru untuk pers di Indonesia.

Orde baru hingga sekarang, media sudah mengalami kebebasan pers. Kritikan untuk pemerintah sudah bisa diterima dan tidak mengalami "pengekangan." Pers saat ini berfungsi sebagai kontrol pemerintah (watchdog).

Pers terkenal dengan independensi, berjalan sendiri dan tidak memihak siapapun. Hal tersebut sudah tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik. Pers tidak boleh mengajak masyarakat untuk memihak melainkan pers menjadi penengah untuk segala fenomena sosial yang ada di dalam masyarakat.

Namun, pers sempat dipertanyakan independensinya. Pers dianggap tidak etis karena sikap ketua PWI, Margiono, yang mengkampanyekan Jokowi saat hari Pers Nasional di Sumatra Barat. AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) sempat menyanyangkan kejadian ini karena penyampaian sikap politik ini memberi kesan yang tidak baik untuk wartawan.

Dewan Pers juga turut menyampaikan pendapat bahwa sikap ini dilakukan Margiono agar mendapat dukungan untuk maju sebagai kandidat bupati di Pilkada Tulungagung 2018. Lewat kasus ini, pers menjadi kehilangan independensi. Dukungan boleh saja dilakukan oleh siapapun termasuk Margiono, tapi tidak seharusnya dilakukan saat posisinya masih menjabat sebagai ketua PWI.

Terkadang, banyak ditemui pers yang memihak. Hal tersebut bisa di lihat di media konvensional. Tak sedikit jurnalis yang "dipaksa" untuk mendukung pemimpin media tempatnya bekerja. Seharusnya, pers menjadi penengah dan pembuat damai dengan memberikan informasi yang benar.

Keberpihakan yang dilakukan pers tentu akan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Jika hal ini terus dibiarkan, pers tidak akan bisa menjadi penengah di masyarakat. Tentu pers akan menjadi faktor keributan atau konflik politik di tengah masyarakat. Pers harus tegas dan tidak memihak untuk kebaikan bersama dan politik yang bersih di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun