Hari Sabtu lalu saya menyempatkan diri untuk melihat pameran World Press Photo yang diselenggarakan di Pendhapa Art Space-sebuah galeri multiguna yang terletak di bilangan Ring- Road Selatan.
Ajang penghargaan bagi fotografer jurnalistik dunia ini menyoroti tema-tema dunia; pergolakan politik, perubahan iklim, sampai dengan kisah imigran.
Pada event internasionalnya ini World Press Photo 2024 menyuguhkan 61.000 karya foto dari beberapa fotografer dengan mengambil tempat di beberapa negara; Afrika, Asia, Eropa, Amerika Utara & Tengah, Amerika Selatan dan Asia Tenggara.
World Press Photo sendiri sudah dihelat sejak tahun 1955. Sejak kemunculannya sampai dengan sekarang World Press Photo sudah banyak menampilkan peristiwa historis dunia melalui foto.
Di mana dalam tiap fotonya mewakili peristiwa dan persepsi pribadi si fotografer. Foto memyimpan misteri hidup. Ada kehidupan dalam misteri gambar yang disajikan dalam diam.
Mereka berbicara melalui cahaya yang diterjemahkan dalam gambar. Sekali mereka tercetak dalam wujud gambar, maka sebuah image akan tercipta. Persepsi kita diantarkan menuju pemahaman. Dari pemahaman maka lahirlah penilaian.
Seperti pada karya Charles Frederick-Quellet yang berkisah tentang damkar di Quebec, Kanada. Theo Dagnaud yang berprofesi sebagai damkar berdiri di atas batu besar dan tinggi, ia mengawasi lingkungan apakah tim damkar sudah semuanya pergi dari lingkungan itu, untuk memberikan status aman pada kawasan itu.
Terlihat jelas bahwa fotografer ingin berpesan agar kita ikut bertanggung jawab terhadap alam. Sekalipun kita tidak bisa mengendalikan pergerakan alam seutuhnya. Namun kita bisa ikut mengawasi dan mengawal gerak laju alam yang kadang tidak bisa diprediksi, seperti damkar yang terlihat kelelahan di bawah terik matahari dengan mata memicing.
Tema foto yang masih ada kaitannya dengan alam adalah karya Jaime Rojo, fotografer dari Spanyol. Fotonya bercerita tentang penyelamatan Kupu-Kupu Raja akibat kurangnya sumber makanan milkweed (ulat bulu) akibat banyaknya industri pertanian.