Akhir-akhir ini begitu marak perdebatan mengenai perlunya kolom agama dalam KTP. Dari kalangan politisi hingga masyarakat pengguna media sosial memberikan tanggapan yang beragam mengenai polemik yang sudah bergulir hampir dua minggu belakangan ini. Perdebatan ini menjadi menarik karena faktor yang dijadikan alasan sebagai pembenaran pendapat dari kelompok pro-kolom agama dan anti-kolom agama sama-sama kuat dan ada benarnya. Sebelum kita memutuskan untuk bersikap pro maupun kontra mengenai hal tersebut, pertama-tama kita harus mengetahui hal-hal apa saja yang mendasari perlu/tidaknya kolom agama dalam KTP.
Pertama-tama, kita akan membahas alasan apa yang mendasari perlunya kolom agama untuk dicantumkan dalam KTP. Pencantuman kolom agama di KTP menjadi sangat penting ketika seseorang meninggal. Mengapa demikian? Karena ketika seseorang meninggal, kita bisa mengetahui apa agama yang dianut oleh orang tersebut. Hal ini berkaitan dengan tata cara pemakaman serta sistem hukum pewarisan yang diberlakukan kepada keluarga si pemilik KTP.
Kedua, kita akan membahas pula alasan yang mendasari tidak perlunya kolom agama untuk dicantumkan dalam KTP. Dengan tidak adanya kolom KTP, maka kita sudah menghilangkan sedikit bentuk diskriminasi kepada masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan diluar enam agama yang dianut oleh sebagian besar rakyat di Indonesia. Kita tahu bangsa Indonesia terdiri dari beribu macam etnis, yang terkadang juga memiliki sistem kepercayaan yang unik dan khas diluar enam agama yang dianut sebagian besar rakyat Indonesia. Dari fakta tersebut, kita tak bisa mengabaikan saudara-saudara kita yang memiliki aliran kepercayaan tertentu, karena bagaimanapun juga mereka adalah orang Indonesia juga.
Dalam menyikapi masalah ini, penulis berpendapat sebaiknya pemerintah mengembalikan pencantuman kolom agama tersebut kepada masing-masing pemilik KTP. Disatu sisi, pencantuman kolom KTP menjadi penting mengingat di Indonesia begitu marak terjadinya sengketa dalam hal hukum waris. Banyak keluarga yang berseteru mempersoalkan warisan dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Disatu sisi, saya melihat nasib keluarga dari kaum penghayat atau penganut aliran yang seringkali menerima tindak diskriminasi akibat kepercayaannya itu. Tak jarang, para kaum penghayat atau penganut aliran ini terpaksa menuliskan kepercayaan yang tidak ia anut hanya guna memenuhi unsur ‘formalitas’ yang ada.
Sebagai penutup dari tulisan saya, saya teringat ada segilintir orang yang menyerukan bahwa pencantuman kolom KTP berisi enam agama dominan yang ada di Indonesia bersifat mutlak. Menurut mereka, jika tidak ada kolom agama, negara ini dianggap sekuler, tidak lagi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melihat hal tersebut, tiba-tiba saya berujar dalam hati, “Bukankah para penganut aliran kepercayaan ini juga berTuhan dengan versi mereka masing-masing? Bukankah agama merupakan urusan pribadi antara makhluk dan sang pencipta? Bukankah agama merupakan persoalan seberapa mampu anda berbuat baik terhadap sesama dan menghindari kemungkaran?”
[caption id="attachment_353124" align="aligncenter" width="227" caption="KTP Negara Brunei Darussalam"][/caption]
[caption id="" align="aligncenter" width="287" caption="KTP Negara Malaysia, memberi kebebasan warganya untuk mencantumkan/tidak mencantumkan kolom agama"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H