Luput dikenang, sosok Sie Kok Liong, pantas disebut tokoh yang berjasa peristiwa lahirnya Sumpah Pemuda.Â
Dirumah miliknya menjadi saksi sejarah bangsa, yang kini diubah menjadi Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya No. 106 Jakarta.
Memang, kontribusi warga keturunan Tionghoa dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak banyak disebut dalam penulisan sejarah, bahkan diabaikan, membangkitkan sentimen seolah-olah hanya suku dan etnis tertentu di Indonesia yang memiliki hak istimewa. Â
Ditempat itu menjadi ajang perbincangan politik oleh para tokoh diantaranya Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin, Abu Hanifah, AK Gani, Setiawan, Sorjadi, Mangaraja Pintor, dan Assat. Dan dirumah itu juga kerap diadakan atihan kesenian Langen Siswo.
Aktifitas itu lebih sering dilakukan seiring Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926.
Dan tempat berkumpulnya berbagai organisasi pemuda menjelang pelaksanaan Kongres Pemuda II yang berlangsung pada tanggal 27-28 Oktober 1928.
Para pemuda dari berbagai suku bangsa berikrar: mengakui tanah Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Tidak hanya itu, lagu kebangsaan Indonesia pun dikenalkan di gedung ini oleh WR Soepratman dengan alunan biola pinjaman dari kakaknya.
Hingga tahun 1934 usai pelaksanaan kongres gedung tersebut diberi nama Indonesische Clubgebouw (IC) atau Gedung Pertemuan Indonesia.
Dalam perjalanan Sumpah Pemuda, memulai rapat pada tanggal 27 Oktober 1928 berlangsung di Gedung Khatolieke Jongenlingen Bond yang terletak di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), yang kini gedung itu menjadi sekolah Santa Ursula.
Rapat Kongres Pemuda pertama tahun 1926, dihadiri Budi Utomo kemudian Tri Koro Darmo yang akhirnya berdiri Jong Java dan menginspirasi gerakan lainnya seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bonds dan lain sebagainya.
Kongres Pemuda II yang dihadiri oleh organisasi pemuda diatas, dengan Ketua Panitia adalah Sugondo Djojopuspito dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI).