[caption id="attachment_365645" align="aligncenter" width="618" caption="Sejak muncul pertama kali 21 Oktober 2014 lalu, Tsu dengan cepat mewabah ke seluruh dunia dengan kecepatan yang tinggi melebihi semua sosial media yang ada saat ini | Ilustrasi: www.tech.co"][/caption]
Fenomena media jaringan sosial berbasis internet yang berbayar menjadi fenomena menarik belakangan ini. Meski bukan satu-satunya sebagaimana ditulis Kompasianer Gunawan di sini, ada juga yang lain namanya WHAFF.
Tentu ada yang tidak percaya kebenaran Tsu mau berbagi rezki dengan penggunanya. Ada juga antara percaya dan tidak sehingga perlu melakukan analisis terlebih dahulu. Namun tak sedikit yang langsung mencobanya sendiri.
Lihat saja, sepuluh minggu lebih sejak sejak diluncurkan pada 21 Oktober 2014 lalu, kata release resmi dari Tsu, tercatat lebih lima juta pengguna baru memiliki halaman di jaringan sosmed besutan Sebastian Sobczak ini. Terhitung tercepat diantara medsos lain yang pernah ada.
Saya mencoba menjajal apa sih yang luar biasa dari Tsu ini? Setelah beberapa hari mencoba memahami dan berinteraksi dengan sejumlah pengguna, terkesan memang ada suasana adem. Setiap pengguna sepertinya berusaha berkomentar positif atas postingan orang lain.
Sobczak sebagaimana telah banyak ditulis dan diwartakan, berjanji akan membagi 90 persen penerimaannya kepada semua kontributor Tsu secara proporsional dan hanya akan mengambil 10 persen untuk biaya pengelolaan dan pemeliharaan.
Darimana Tsu memperoleh pendapatan yang akan dibagikan itu? Ya, darimana lagi kalau bukan dari para pemasang iklan berbagai jenis produk barang dan jasa yang perlu memperkenalkan produk barang atau jasanya. Facebook juga hidup dari iklan, demikian pula Kompasiana dan media sosial lainnya.
Berbeda dengan WHAFF yang membayar penggunanya dari konten yang diunduh (downloaded), Tsu membayar penggunanya tergantung seberapa aktif menayangkan (posting) sesuatu yang diapresiasi (like) atau mengugah untuk dibagi (share) oleh pengguna lainnya. Artinya semakin banyak seseorang menayangkan sesuatu dan mengundang perhatian pengguna lain, maka semakin besar potensinya memperoleh bagi hasil dari Tsu.
Selain mem-posting, menyebarluaskan postingan pengguna Tsu lainnya (sharing) juga mendapat nilai. Wara-wiri di Tsu sambil memberikan apresiasi (like) kepada postingan orang lain atau memberikan komentar (comment) juga ada nilainya. Semua aktivitas pengguna di Tsu dapat dilihat statistiknya.
Berapa potensi penghasilan setiap orang yang punya lapak (page) di Tsu? Saya baru dapat 0,02 Dollar setelah bergabung seminggu dan menanjak menjadi 0,05 setelah dua minggu. Menurut Sobczak  pendapatan setiap orang tentu akan sangat bervariasi. Ada pemilik lapak di Tsu yang mendapatkan 100 USD per minggu bahkan lebih. Bagi mereka yang disebut public figure yang punya banyak pengikut di sosial media lainnya, sebutlah twitter, berpotensi mendapatkan pernghasilan yang lebih besar bila pengikut twitter mereka mengikutinya ke Tsu sebagai follower.
Selebriti Sangat Potensil ?
Kalau melihat fonemona di twitter, artis, politisi, tokoh agama dan sebagainya yang biasanya menjadi buah bibir publik akan memiliki banyak pengikut (follower) otomatis hingga mencapai jutaan.
Di Tsu juga dikenal adanya pengikut (follower) yang keberadaannya mempengaruhi bagi hasil yang bisa diterima seseorang. Semakin banyak pengikut seseorang menjadi indikasi seseorang itu bisa menjadi sumber informasi.
Tetapi bedanya di Tsu bahwa seseorang harus benar-benar aktif berinteraksi, bukan hanya satu arah seperti di media sosial lain dimana seorang selebriti bisa berada di atas menara gading tanpa melakukan apa-apa. DI Tsu ini lebih mirip yang terjadi di Kompasiana bahwa seseorang yang sekaliber Wakil Presiden sekalipun belum tentu bisa mendapatkan apresiasi kalau hanya berharap dikunjungi tapi tidak pernah mengunjungi apalagi mengapresiasi (like), memberikan komentar (comment) atau berbagi (share) postingan orang lain.
Potensi penghasilan terbesar di Tsu sebenarnya bisa datang dari jaringan yang dibangun. Artinya anda harus punya anak-anak di bawah anda. Untuk dapat menjadi anak, seseorang itu harus meng-klik tautan yang anda kirimkan ke email mereka. Selanjutnya anak anda juga harus aktif mengundang orang lain sehingga anda berpotensi memiliki anak dan jaringan yang banyak. Semua jaringan ini terekam dan terpapar secara jelas di dalam salah satu fitur Tsu yang disebut Family Tree.
[caption id="attachment_365635" align="aligncenter" width="618" caption="Inilah tampilan Family Tree yang hanya anda yang bisa melihatnya. Salah seorang selebriti yang ikut karena menerima undangan saya bernama Isjet terlihat baru punya 2 friend tapi followernya banyak, dan pasti friend request-nya banyak tapi belum ditanggapi. Selebriti seperti ini berpotensi meraup dollar di Tsu | Ilustrasi: Ben"]
Saat ini di halaman-halaman Tsu bertebaran foto-foto yang unik dan luar biasa, meski patut disayangkan bahwa kebanyakan foto yang diunggah bukan hasil produksi atau jepretan sendiri. Sepertinya Tsu masih longgar dalam hal aturan hak cipta, mungkin untuk menjaga animo tetap tinggi.
Foto-foto itulah yang di apresiasi (like) dikomentari (comment) dan disebarluaskan (share) di Tsu. Sebenarnya bagi siapapun beroptensi untuk mem-posting gambar yang memiliki nilai untuk disukai oleh pengguna Tsu lainnya. Sebutlah foto-foto dari hobby, misalnya memancing, bercocok tanam, olahraga dan sebagainya.
Ke depan sebagaimana diprediksi oleh Sobczak, kemungkinan para olahragawan dan wartawan peliputnya berpotensi membawa rombongan besar masuk ke Tsu dan tentunya berpotensi memperoleh penghasilan tambahan.
Peliput yang memiliki hak eksklusif atas gambar sang olahragawan dan sang olahragawan yang memiliki banyak fans akan diuntungkan dengan mengunggah foto aktivitas pribadinya yang menginspirasi, sebutlah sedang membaca buku, melakukan aktivitas sosial dan lain-lain.
[caption id="attachment_365641" align="aligncenter" width="618" caption="Ilustrasi mengapa Tsu disebut sosial media berbayar, sebenarnya lebih tepatnya berbagi rezki | Ilustrasi : Ben"]
Tsu vs Facebook
Tsu mengusung platform sebagai media jaringan sosial berbayar adalah sebuah keniscayaan. Karena kalau Tsu masuk masuk dengan platform yang diusung pertama kali oleh facebook, pasti akan mengalami nasib yang sama dengan friendster.
Mengapa kemudian twitter bisa masuk dan berkompetisi dengan facebook? Karena twitter, meski juga tidak membayar penggunanya, memiliki sisi praktis yang tidak dimiliki oleh facebook dalam hal penyebarluasan komentar yang disebut kicauan (tweets). Path dan Instagram juga masih bisa diterima karena lebih mengutamakan sisi visual (gambar) daripada verbal (tulisan).
Tetapi Tsu, dari sisi mana lagi harus masuk? Mau bermain dari sisi praktisnya interaksi sudah ada Twitter. Mau masuk dari sisi kelengkapan fitur sudah ada Facebook. Mau masuk dengan mengedapankan kekuatan visual, sudah ada ada Instagram dan Path. Sepertinya semua cela telah terisi.
Tsu kemudian melihat celah yang potensil dan bahkan selama ini kurang disadari oleh pengguna media sosial bahwa kehadiran mereka sebenarnya bernilai fulus bagi pengelola dan pemilik media sosial tersebut. Produsen barang dan jasa mau berinvestasi beriklan di media sosial karena sangat sadar bahwa setiap orang yang aktif di media sosial adalah calon pembeli potensil. Manusia moderen mengaku lebih banyak terbangun preferensinya terhadap prosuk barang atau jasa bukan lagi dari baliho yang besar di jalanan atau iklan di televisi melainkan kebanyakan dari internet.
Maka Sobczak kemudian menghadirkan Tsu dengan iming-iming berbagi keuntungan yang didapatkannya dari Tsu. Tidak tanggung-tanggung, Sobczak berjanji akan memberikan 90 % dari seluruh penerimaan dan hanya akan mengambil 10 % untuk digunakan mengelola Tsu. Tapi cerdasnya Sobczak, Tsu ia hadirkan dengan menggabungkan keunggulan media sosial yang telah ada sehingga di situ terasa seperti ada cita rasa facebook-nya, ada Path-nya, ada Twitternya dan juga Instagramnya.
Jadi kalau Facebook, Twitter, Path, Kompasiana tidak membayar kontributornya bukan karena mereka rakus. Mereka hadir sebagai solusi kebutuhan orang untuk membangun jaringan dan mendapatkan manfaat dari jaringan itu dengan cara masing-masing, baik menguntungkan secara sosial, politis maupun ekonomis.
Bila kemudian Tsu muncul sebagai media sosial berbayar tidak berarti bahwa Sebastian Sobczak lebih murah hati dan beradab, tidak juga. Cara ini ditempuh Sobczak sebagai bagian dari strategi bisnis untuk ikut menikmati irisan kue belanja promosi dari pelaku ekonomi. Daripada tidak dapat sama sekali, mending dapat sedikit yang penting cepat dan bisa langgeng.
Media sosial lainnya telah memenuhi sebahagian kebutuhan kita untuk berjaringan dan bersosialisasi sehingga tidak perlu dibandingkan dengan Tsu yang berbayar.
[caption id="attachment_365643" align="aligncenter" width="618" caption="Ini isi rekening saya di Tsu setelah 2 minggu bergabung. Gak perlu gendut yang penting sehat | Ilustrasi: Ben"]
Masing-masing media sosial tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Yang pasti di Tsu anda bebas berinteraksi dengan seluruh penduduk planet ini yang bergabung di Tsu. Cukup anda bermodalkan kesantunan dalam berkomentar dan memposting sesuatu, maka anda akan meraup dolar se sen dua sen akhirnya menjadi ratusan dollar. Anda bisa meminta Bank anda di Tsu memindah-bukukan tabungan anda ke rekening lain termasuk paypal atau menerbitkan cheque setelah mencapai 100 dollar.
Tidak ada salahnya dicoba, prosesnya sederhana. Tertarik, klik saja pada tautan ini. [@ben_369].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H