Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjadikan Kritik Lebih Elegan dengan Teknik ‘Sandwich’

17 Maret 2014   08:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandwich, beragam bentuk dan rasa, namun Teknik Sandwich bukan untuk dimakan (Illustrasi: carnivours.be)

[caption id="" align="aligncenter" width="638" caption="Sandwich, beragam bentuk dan rasa, namun (sumber : http://carnivorious.be)"][/caption]

“Masih sering makan sandwich pak?” Seorang pria dengan wajah bersih dan berpakaian rapih menyapa saya sembari mengulurkan tangan bersalaman.

“Oh eh.. masih, tapi sekarang saya lebih suka bikin sendiri.” Jawab saya gelagapan sembari menyambut jabatan tangannya yang hangat. Bandara Halim masih agak sepi, saya sedang menunggu jemputan dan rupanya dia baru mau berangkat. Rupanya keinginan saya dan dia untuk menyeruput secangkir kopi mempertemukan kami pagi itu di sebuah kafe kecil di seberang terminal keberangkatan.

Memang sekarang saya lebih suka membuat sandwich sendiri karena saya suka pakai roti gandum. Maklum, konsumsi gula harus dikontrol. Tapi apa urusannya orang ini dengan sandwich dan bagaiamana dia tahu kalau saya suka sandwich?

“Saya Mursalim Pak, murid Bapak dulu di pelatihan supervisor.” Jelasnya sembari menyebut salah satu nama bank besar tempat dia berkarir. Entah saya benar-benar ingat atau sekedar menyenangkan hatinya, tetapi saya sepertinya masih mengingatnya, meskipun sudah ribuan peserta yang pernah saya latih dari berbagai lembaga.

Ia lalu duduk di depan saya di sebuah cafe kecil di seberang jalan bandara yang baru dioperasikan beberapa bulan itu. Rupanya karirnya sudah sangat jauh dibanding ketika terakhir kami bertemu. Ia banyak bercerita mengenai perjalanan karirnya sejak terakhir bertemu di kegiatan pelatihan hingga sekarang. “Saya benar-benar suka dengan teknik sandwich itu pak, dan saya praktekkan di hampir semua aktivitas saya ketika berurusan dengan orang lain, terutama bawahan saya,” ceritanya penuh semangat.

Saya tersenyum menyadari ternyata ia tidak bermaksud menanyakan kebiasaan saya membawa sandwich kemana-mana. Rupanya teknik sandwich itu yang dimaksud. Saya teringat pelatihan untuk supervisor yang pernah saya fasilitasi. Ratusan bahkan mungkin ribuan supervisor dari seluruh Indonesia pernah saya latih untuk keterampilan supervisi dan kepemimpinan. Pelatihannya berlangsung lima hari dari jam delapan pagi sampai jam lima sore dimana setiap angkatan maksimal 30 orang. Tiga hari materinya berkaitan supervisory skill dan interpersonal leadership dan dua hari sisanya presentation skill.

Rupanya ia sangat terkesan dengan yang disebut teknik ‘sandwich’ saat memberikan umpan balik, mengoemntari atau mengkritik presentasi rekan sekelasnya. Maklum selama dua hari itu ada 30 orang yang harus melakukan latihan presentasi dan setiap yang melakukan presentasi wajib dikomentari atau dikritisi.

Saya banyak belajar bahwa mayoritas orang tidak nyaman dikomentari, terutama pada bagian yang sifatnya kekurangan, baik saat melakukan presentasi maupun saat menulis. Itulah yang menjadi alasan mengapa sering orang tidak berani tampil atau tidak berani menayangkan tulisannya karena takut dikritik atau dikomentari dengan cara yang menyakitkan menurut pihak yang dikomentari.

Maka selain diajarkan berbagai teknik presentasi seperti sikap berdiri, menempatkan tangan, cara melakukan pembukaan yang baik, memaparkan isi, menyimpulkan dan menutup presentasi, juga diingatkan satu hal penting saat memberikan komentar yakni menggunakan teknik SANDWICH.

Teknik sandwich inilah yang sangat diingat oleh rekan saya tadi sampai dibawa kemana-mana dalam kehidupannya. Lihatlah bentuk sepotong sandwich, terdiri atas dua helai roti yang ditangkupkan satu sama lain. Di tengahnya berisi sesuatu yang biasa disebut isi, bisa berupa telur, daun selada, mayonais, irisan daging tipis, tuna cincang atau apa saja yang disukai.

Teknik Sandwich

Aturan berkomentar, dimulai dari lapisan roti pertama merupakan ringkasan pengakuan jujur apa yang sudah baik dari presentasi yang dikomentari. Selanjutnya masuk ke dalam isi sandwich yang merupakan ungkapan hal-hal yang belum baik atau belum benar yang dilakukan oleh presenter. Terakhir adalah lapisan roti kedua dimana disebut sebagai lapisan penguatan dimana si pemberi komentar memberikan motivasi atau semangat kepada pihak yang dokomentari bahwa dia bisa memperbaiki kekurangannya di kesempatan lain.

Ada satu aturan penting yang harus ditaati bahwa antara lapisan roti pertama dengan isi sandwich atau komentar tentang kekurangan sang presenter tidak boleh menggunakan kata sambung TETAPI, NAMUN dan semacamnya. Sebagai penggantinya digunkan kata sambung DAN. Misalnya setelah mengungkapkan hal-hal yang positif dari presentasi yang dilakukan lalu digunakan kata ‘dan’, misalnya: dan akan lebih baik lagi bila... dan seterusnya.

Contohnya, presentasi seorang peserta tidak memakai pembukaan, tidak terstruktur, terlalu bertele-tele dan sebagainya. Sisi baiknya presenternya murah senyum, bersemangat dan agak humoris. Bagaimana menyampaikan kepada si presenter mengenai kekurangannya agar tidak tersinggung dan tidak down? Saatnya menggunakan teknik SANDWICH.

Prakteknya, katakan dalam komentar anda sebagai berikut: (lapisan roti pertama) Saya suka (bisa saya tertarik, kagum, terkesan dsb) dengan senyum, rasa humor dan semangat anda dalam melakukan presentasi. (isi sandwichnya), tapi, namun dan akan jauh lebih baik lagi bila presentasi anda diawali dengan kata-kata pembukaan, isinya lebih diringkas dan paparannya lebih terstruktur. (lapisan roti kedua) Saya yakin (bisa menggunakan kata saya percaya) pada kesempatan lain presentasi anda pasti lebih baik, padat dan pembukaannya pasti menarik.

Versi bersihnya seperti ini: Saya suka dengan senyum, rasa humor dan semangat anda dalam melakukan presentasi dan akan jauh lebih baik lagi bila presentasi anda diawali dengan kata-kata pembukaan, isinya juga lebih diringkas dan cara pemaparannya lebih terstruktur. Saya yakin pada kesempatan lain presentasi anda pasti lebih baik, padat dan pembukaannya pasti menarik.

Bagaimana perasaan anda sebagai seorang presenter bila mendapatkan komentar atau kritikan seperti di atas, apakah anda menjadi ciut dan tidak akan berani lagi melakukan presentasi? Ataukah anda kini menyadari apa kekuatan anda dalam melakukan presentasi dan tahu bagian mana yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kualitas presentasi anda berikutnya?

Bagaimana kalau saya tidak membuat aturan dan langsung meminta komentar kepada peserta yang lain? Pola komentar dan kritikannya boleh jadi akan seperti ini: Presentasi anda lucu tetapi tidak ada pembukaannya, presentasinya juga terlalu panjang dan struktur paparannya amburadul.

Bagaimana respon dan perasaan anda kalau mendapatkan komentar seperti itu? Ya sudah, memang saya tidak berbakat melakukan presentasi. Mudah-mudahan saya tidak pernah lagi menemukan tugas presentasi, begitu mungkin yang ada di dalam hati orang yang dikomentari atau dikritik.

Dalam berbagai kesempatan, kata namun dan tetapi ini sering jadi momok. Tanda-tanda kemunculannya biasanya saat komentar atau kritikan dimulai dengan pujian. Pujian sebenarnya sangat baik untuk menyemangati. Saat pujian selesai maka biasanya otomatis muncul kata tetapi.., atau namun.., selanjutnya bisa ditebak, yang dikomentari dibanting habis. Perhatikanlah pola bahasa komentator-komentator di ajang pencarian bakat, cenderung polanya sama seperti itu.

Apakah tidak bisa setelah memuji dibiasakan jangan menggunakan kata namun atau tetapi. Cukup diganti dengan kata sambung dan... agar pujian dan kritikan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi yang dikomentari.

Begitulah rekan saya tadi mempraktekkan pola sandwich ini dalam pembicaraan sehari-hari dan dia merasakan manfaat yang luar biasa dalam hubungan inter personalnya. Tidak ada ruginya untuk dicoba saat memberikan komentari terhadap tulisan seseorang di forum seperti Kompasiana ini. Itu kalau niatnya berkomentar konstruktif, tetapi kalau maksudnya memang untuk merendahkan, melecehkan atau asal berkomentar, tidak perlu pakai pola. Jadi yang pertama memang adalah niat baik.

------------- @ben369 -------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun