Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Seni Lakon Daerah Tak Dilirik TV Nasional?

5 April 2014   18:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petta Puang dan pembantu dektanya Congak dan Gimpe | Ilustrasi: oxfamindonesia.wordpress.com

[caption id="" align="alignnone" width="638" caption="Petta Puang dan pembantu dekatnya Congak dan Gimpe | Ilustrasi: oxfamindonesia.wordpress.com"][/caption]

Seorang kawan saya pelakon utama sandiwara daerah yang namanya Petta Puang, terdiri atas seorang pemain utama berlakon bangsawan dan dua orang pembantunya bernama Gimpe dan Congak. Sebagai pemeran bangsawan, kawan saya harus tampil layaknya bangsawan bugis, bersarung sutera, jas tutup, peci rajutan bersulam emas yang dikenal dengan nama "songkok guru", berkacamata minus dan karena sepuh ia harus berjalan dengan tongkat.

Setiap pementasannya selalu disambut dengan antusias dan tawa ger-geran dari awal hingga akhir. Tak heran bila grup ini sangat dikenal di Sulawesi Selatan. Dalam melakonkan cerita atau membahas suatu topik penting, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dialek Bugis yang kental, terkadang pada sejumlah kata yang hanya lucu bila menggunakan bahasa daerah, ia berbahasa Bugis.

Banyak proyek berbantuan asing yang biasa menggunakan jasa kelompok sandiwara ini sebagai medium penyampai pesan kepada masyarakat, baik dalam urusan pelestarian lingkungan, anti narkoba, menggalang partisipasi dan lain. Misalnya saat memperingati 100 tahun Hari Perempuan Sedunia beberapa waktu lalu, Petta Puang tampil membawakan lakon yang menceritakan keseharian aktivitas wanita nelayan saat suami mereka melaut.

Lakon tersebut membawakan pesan agar perempuan nelayan bangkit, tidak menyia-nyiakan waktu luang saat ditinggal suami bekerja, mereka harus produktif untuk mengangkat menopang ekonomi keluarga agar harkat dan martabat nelayan yang selalu diidentikkan miskin dan kurang pendidikan, dapat terentaskan.

Grace Ommar, Country Director Oxfam, lembaga nirlaba internasional yang berkedudukan di Inggris memuji Sandiwara Petta Puang yang menurutnya berhasil menyampaikan pesan-pesan pembangunan dengan bahasa rakyat yang sederhana dan mudah dipahami. Grace Ommar bukan orang asing pertama yang memuji kelompok sandiwara ini, sebelumnya sejumlah lemaga internasional yang pernah menyaksikan pementasan mereka juga memberikan pujian.

[caption id="" align="aligncenter" width="638" caption="Apresiasi komunitas internasional, pembuktian kalau tayangan lakon Sandiwara Petta Puang memiliki nilai edukasi sebagaimana testimoni Grace Ommar, Country Director Oxfam Indonesia yang diberitakan koran Tribun Timur | Ilustrasi: tribun-timur.com"]

Apresiasi komunitas internasional, pembuktian kalau tayangan lakon Sandiwara Petta Puang memiliki nilai edukasi sebagaimana testimoni Grace Ommar, Country Director Oxfam Indonesia yang diberitakan koran Tribun Timur | Ilustrasi: tribun-timur.com
Apresiasi komunitas internasional, pembuktian kalau tayangan lakon Sandiwara Petta Puang memiliki nilai edukasi sebagaimana testimoni Grace Ommar, Country Director Oxfam Indonesia yang diberitakan koran Tribun Timur | Ilustrasi: tribun-timur.com
[/caption]

Lalu pernahkah anda sebagai orang Indonesia menyaksikan pementasan mereka di televisi nasional? Mungkin pernah dalam tayangan berita sekilas, dibanding ratusan jam tayang telah dihabiskan oleh acara hiburan musik yang menampilkan pembawa acara yang berusaha lucu sampai kepala dijedukin kemana-mana tapi tidak lucu, tidak mendidik pula.

Misi tulisan ini bukan untuk mempromosikan kelompok sandiwara Petta Puang tetapi semua hiburan kreatif yang tumbuh di daertah agar lebih luas kemanfaatannya sebagai hiburan yang edukatif. Bila perlu, penayangan hiburan kreatif yang edukatif dari daerah harus menjadi bagian dari Corporate Socil Responsibility (CSR) tivi-tivi swasta dengan swasta pemasang iklan. Jangan menunggu ada bencana lalu tampil sebagai pemberita dan penggalang dana baru disebut CSR. Kalau begini caranya, berarti tivi swasta selalu berdoa agar terjadi bencana di negeri ini untuk melaksanakan CSR mereka.

Kembali ke kelompok sandiwara Petta Puang, mereka jauh terkenal sebelum adanya lakon Sentilan Sentilun yang penokohannya sangat mirip dimana Slamet Rahardjo memerankan tokoh bangsawan Jawa yang dipanggil ndoro dan pembantunya yang suka nyundul dengan komentarnya bernama Sentilun diperankan Butet Kertaradjasa. Ini contoh tayangan berbasis budaya yang seharusnya juga dikoneksikan dengan basis budaya lainnya di seluruh Indonesia.

Tak butuh waktu lama untuk Sentilan-Sentilun menjadi tayangan populer bergenre kritikan sosial yang tetap eksis hingga kini.Tapi lakon Petta Puang yang diperankan kawan saya Abdul Rodjak mungkin perlahan-lahan akan kehilangan panggung, meski Rodjak dan kawan-kawannya mempunyai mimpi besar untuk membawa lakonnya ke pentas nasional.

Dan saya kira bukan hanya Petta Puang, puluhan bahkan ratusan lakon daerah yang tak kalah menghibur dan mendidiknya dibanding lakon nasional seperti Sentilan Sentilun tersebar di jamrud nusantara ini. Mengapa lakon daerah yang tumbuh di banyak daerah sulit  muncul dalam kancah tivi nasional? Boleh jadi mereka benar-benar terhambat oleh diskriminasi linguistik yang hadir di tengah-tengah kita tanpa kita sadari.

Diskriminasi Linguistik (Linguistic Discrimination)

Bila fenomena itu dikupas dari perspektif ekonomi, bisa dipastikan bahwa di kepala setiap pemilik stasiun tivi adalah bagaimana menayangkan sesuatu agar rating atau peringkat tivinya naik, yang tentu saja akan menarik menarik pengiklan. Semakin besar jumlah pemasang iklan dalam keseluruhan jam siar sebuah stasiun tivi, tentu saja akan semakin memperbesar penerimaan dan keuntungan perusahaan pemilik stasiun tivi tersebut.

Dari perspektif sosial budaya dan integrasi suatu bangsa, penayangan berbagai kreativitas seni dan hiburan daerah di pentas televisi nasional akan memberikan ruang bagi tumbuhnya beragam kreativitas dari seluruh pelosok negeri ini, dan ini juga bisa mendorong berkembangnya ekonomi kreatif, sesuatu yang banyak disebut beberapa tahun belakangan ini namun tidak jelas bagaimana implementasinya.

Anggapan bahwa kreativitas seni daerah yang kental dengan dialek lokalnya tidak layak jual ada bentuk fenomena yang disebut prasangka linguistik (Linguistic Prejudice). Termasuk bila menganggap bahwa hanya tayangan dengan dialek tertentu yang akan disukai penonton, juga bisa disebut prasangka lingustik.

Sebagaimana sebutannya, prasangka linguistik menurut kamus Wikipedia adalah asumsi-asumsi atau persepsi-persepsi yang dilekatkan pada suatu komunitas berdasarkan dialek atau logatnya. Bila prasangka itu positif, tidak perlu dipermasalahkan, namun kalau negatif, apalagi menciptakan hambatan (barrier), ini yang perlu diwaspadai.

Terutama bila prasangka linguistik tersebut dijadikan dasar untuk mengambil keputusan, misalnya menolak seni hiburan berbau daerah untuk ditayangkan di tivi nasional karena asumsi tidak laku. Kalaupun diloloskan harus melalui proses adaptasi yang berlebihan sehingga kreativitas seni daerah itu kehilangan ciri khasnya.

Lebih parah lagi bila stasiun tivi  lebih bisa menerima dialek melayu dari kartun animasi Ipin dan Upin dari negeri jiran atau telenovela yang susay payah di dubbing dibanding animasi kartun pahlawan super si Hebring yang berdialek sunda. Ini bukan lagi prasangka lingustik melainkan menjadi diskriminasi linguistik (Linguistic Discrimination).

Fenonema ini bisa menjelaskan mengapa hampir semua sinetron di negeri ini dibuat di ibukota atau paling jauh di pulau Jawa dan Bali. Sementara sinetron dari daerah, terutama dari kawasan Timur Indonesia yang terlanjur dianggap "kampungan" tidak bisa berkembang akibat diskriminasi linguistik.

Bisa dibayangkan bila sinetron daerah untuk lolos di layar tivi nasional harus menggunakan logat kalangan remaja metropolis, karena hanya dengan cara itu bisa lolos seleksi pemilik stasiun tivi. Sementara di daerah asal sinetron itu dan pemain-pemainnya dituding sebagai “sok logat”.Sementara alasan produser tidak berani menayangkan sinteron daerah dengan logat lokal aslinya karena takut disebut sinteron “kampungan” yang mungkin tidak laku.

Keadaan ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung karena ujung-ujungnya akan berakhir pada kerugian di dua sisi. Di sisi pengelola stasiun tivi pada akhirnya akan ditinggalkan oleh penontonnya yang bosan oleh tayangan-tayangan populer yang tidak mendidik apalagi malah merusak seperti sejumlah tayangan hiburan yang hanya diisi oleh pembawa acara laki, perempuan dan bencong yang saling mencerca, mendorong, menjambak, joget dan sejenisnya yang aneh dan tidak jelas misinya.

Di sisi kreator seni hiburan daerah, pada akhirnya akan bertumbangan karena tidak mendapatkan apresiasi yang memadai. Di akhir, semuanya akan bubar. Ini yang disebut sebagai fenomena kalah-kalah atau zero sum game atau semuanya tidak dapat apa-apa.

Bagi yang sempat membaca artikel ini dan tahu keberadaan seni hiburan dan pementasan daerah di wilayah masing-masing yang terpinggirkan oleh diskriminasi linguistik, mohon kiranya disampaikan melalui kolom komentar di bawah ini untuk dapat dipikirkan bersama bagaimana memperjuangkannya agar dapat kembali menjadi milik bangsa Indonesia yang kita bisa nikmati dan aspresiasi bersama. Salam Kompasiana!

----------------------------------ben369---------------------------------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun