[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Koalisi Yang Makin Mengerucut | Ilustrasi: www.aclaimimages.com"][/caption]
Akhirnya setelah tiga minggu pasca pengumuman quick count dan mencermati manuver dan lobi-lobi sejumlah petinggi partai politik dan tokoh-tokoh lain yang berkepentingan, maka konfigurasi koalisi makin jelas bentuk dan komposisinya.
Ikatan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang semula diperkirakan akan menguat mengingat hubungan Ketua dari kedua partai ini selama masa kampanye dan pasca quick count kelihatan makin mesra. Namun seperti juga sudah diperkirakan oleh sejumlah pihak yang tidak setuju di dalam tubuh PPP sendiri, kemesraan itu tidak akan langgeng dikarenakan ketidak-kompakan sejumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) atas manuver Surya Dharma Alie yang dinilai inkonstitusional.
Meski diawal-awal munculnya kritikan, Surya Dharma Alie berusaha menunjukkan power-nya dengan memecat sejumlah DPD dan Sekjen partai yang dinilainya tidak loyal terhadapnya, namun fatwa Ketua Majelis Syariah PPP Kyai Haji Maimun Zubair mementahkan semua manuver Surya Dharma Alie. Islah dicapai, semua SK pemecatan SDA dianulir dan PPP kembali menjadi partai peserta pemilu yang bebas menentukan akan berkoalisi dengan siapa.
Mantan Ketua PPP di era awal reformasi H. Hamzah Has yang pernah berpasangan dengan Megawati dalam tampuk kepemimpinan tertinggi negara ini di periode sebelum 2009, akhirnya “turun gunung”. Pertemuannya dengan bekas mitranya di Pemerintahan, Megawati Soekarno Putri, akhirnya dibaca sebagai restu para Kyai PPP tentang petunjuk arah kemana sebaiknya PPP berkoalisi.
Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Demokrat (PD) yang juga mulai menunjukkan geliat setelah hampir dua minggu pasca quick count memilih berdiam diri, entah kaget melihat hasil perolehan PD yang anjlok, atau sedang menyusun strategi baru, yang pasti di minggu ketiga pasca quick Count SBY mulai berwacana soal koalisi.
Konvensi PD yang selama ini diyakini oleh SBY sebagai suatu mekanisme yang paling tepat untuk mencari benih-benih pemimpin, meski hampir kehilangan momentum, tetap dilanjutkan. Kelihatannya, siapapun yang akan menjadi pemenang konvensi, maka itulah calon wakil Presiden yang akan diusulkan oleh SBY dari kubu PD kepada mitra koalisinya. Mungkin agak sungkan untuk mengajukan Calon Presiden, meski Konvensi PD yang diselenggarakan hampir empat bulan yang mengharuskan Gita Wiryawan meletakkan jabatannya sebagai Menteri Perdagangan, memang dipenuhi figur-figur potensil. Sebutlah di sana ada Dahlan Iskan, Anas Baswedan, Gita Wiryawan dan lain-lain. Banyak pihak menilai PD kehilangan momentum, harusnya SBY melakukan konvensi di tahun 2009 untuk pemilihan Ketua Partai sehingga tidak perlu muncul tokoh-tokoh yang sebagaimana diketahui belakangan ini menggerogorti kredibilitas Partai Demokrat.
Hampir bisa dipastikan Partai Demokrat akan merapat ke Golkar mengingat SBY dan ARB sebenarnya telah memiliki sejarah hubungan yang panjang dan kemungkinan adalah figur Calon Presiden yang paling bisa mengakomodasi pemikiran dan nasehat SBY, termasuk dengan siapa dia akan dipasangkan. Apalagi SBY sejak dini mengingatkan bahwa Partai Demokrat tidak ingin sekedar menjadi pelengkap di dalam koalisi tetapi harus mendapat peran yang signifikan. SBY terutama berpikir bagaimana masa depan PD pasca ia turun dan menjadi Pembina Partai dalam arti yang sebenarnya. Itu semua demi kebangkitan PD pada pemilu 2019 nanti. Siapapun yang diusulkan jadi wakil oleh SBY harus bisa dipastikan dapat mengangkat citra PD dalam lima tahun ke depan. Bahkan tak menutup kemungkinan siapapun Calon Wapres yang diusul SBY sekaligus akan menjadi Ketua Partai Demokrat pada periode berikut.
Tanda-tanda bahwa ARB tidak akan keberatan dijodohkan oleh siapapun oleh SBY, terlihat dari sikapnya yang adem ayem, tidak akan grasa-grusu mencari mitra koalisi karena bagaimanapun, Ia masih menghormati SBY yang belum melemparkan kartu ke atas meja. Jadi kartu apapun yang dilemparkan oleh SBY ke atas meja, itu yang akan diambil oleh ARB.
Bagaimana dengan Partai Amanat Nasional yang sejak awal menggadang-gadang ketuanya, Hatta Radjasa untuk posisi Capres atau Cawapres? Meski agak berat, tetapi tidak ada pilihan lain bagi PAN kecuali mengikuti jejak SBY merapat ke Golkar. Hubungan besan antara SBY dan Hatta Radjasa adalah faktor yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi Hatta Radjasa masih berpeluang disandingkan dengan ARB meski harus bersaing dengan calon hasil konvensi PD.
Bagaimana dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak berhasil menggiring partai Islam membentuk poros tengah jilid II? Yang pasti PKS tidak akan bergabung dengan koalisi dimana Partai Demokrat ada di dalamnya. Di samping SBY sendiri mencatat sejumlah angka merah untuk rapor PKS di Sekretariat Gabungan, koalisi yang pernah dibentuk SBY selama masa pemerintahannya di periode 2009-2014, PKS juga sepertinya ogah berdekatan lagi dengan PD yang selama ini oleh kalangan PKS dinilai terlalu banyak mendikte. Apalagi dalam kasus impor sapi yang menjungkalkan Ketua PKS periode lalu, Luthfi Hasan Ishaaq, sejumlah orang dalam PKS menilai itu tak lepas dari adanya andil PD, wallahualam bissawab.
Jadi PKS akan merapat ke Gerindra, meski dengan setengah hati, tapi cuma itu pilihan yang mungkin. PKS tidak mungkin merapat ke PPDI-P yang terlanjur mereka jadikan “musuh” dalam proses kampanye yang baru lewat. Mungkin juga mereka berharap salah satu kader PKS, Ridwan Kamil bisa diterima oleh Prabowo sebagai calon wakilnya. Kenapa Ridwan Kamil? Untuk diketahui, koalisi yang mendukung Ridwan Kamil berhasil menjadi Walikota Bandung adalah Gendra-PKS. Mengapa bukan Anis Matta, Ketua PKS? Selain kurang populer dalam bursa pencapresan, kemungkinan Anis Matta sudah cukup puas bila diberikan jatah Menteri seperti yang pernah ditunjukkan oleh pendahulunya, Tifatul Sembiring sebagai Menkominfo.
Bagaimana dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)? Meski sunyi senyap setelah perolehan suaranya tidak maksimal pada Pemilihan Legislatif, tapi jangan disangka mereka kehilangan ambisi. Sebagai politisi tangguh yang tak pernah menyerah, Wiranto yang pernah gagal maju jadi Cawapres bersama JK pada Pilpres yang lalu, kelihatannya tidak perlu merasa turun gengsi ketika harus diminta mendampingi Prabowo, meski banyak yang meragukan karena Prabowo adalah bekas anak buah Wiranto.
Keengganan Hanura untuk menentukan pilihan koalisi dengan cepat tidak lain karena di dalam Hanura terlanjur ada dua tokoh yang sama-sama banyak berkorban untuk kampanye kemarin. Hary Tanoesoedibjo memang rugi banyak. Oleh karenanya, perasaannya juga harus dijaga. Jadi kalaupun Wiranto dipilih oleh salah satu kandidat Calon Presiden yang sudah hampir pasti, katakanlah Prabowo, ia ingin memperlihatkan kepada Hary Tanoe bahwa itu karena dia dipilih, bukan dia yang berusaha menyelamatkan diri sendiri.
Bagaimana dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang perolehan suaranya cukup fenomenal, naik hampir tiga kali lipat? Muhaimin benar-benar pusing memikirkan utang politiknya kepada dua tokoh yang pernah ia gadang-gadang sebagai bakal calon Presiden pada masa kampanye, yakni H. Rhoma Irama dan Mahfud MD.
Setidaknya salah satu dari mereka harus ada yang diterima menjadi Calon Wakil Presiden. Bila PKB merapat ke Gerindra, kotak untuk Cawapres di sana sudah penuh. Meskipun demikian, sebagai pemenang Peringkat kelima, dan konflik yang relatif kecil dengan partai-partai lain, setidaknya PKB masih punya dua alternatif kubu koalisi. Tergantung mana diantaranya yang paling bisa memberikan tawaran terbaik.
PKB bisa saja merapat ke PDIP andaikata yang menjadi penentu di sana adalah Joko Widodo. Namun mengingat masih ada Megawati dan Surya Paloh yang keduanya sepertinya telah bersepakat untuk mendorong kandidat muda berpasangan maju pada Pilpres kali ini, maka peluang Mahfud MD untuk dijual mendampingi Jokowidodo menjadi kecil. Maka pilihan tinggal kepada Gerindra, siapa tahu Prabowo berkenan didampingi oleh Mahfud M.D.
Pemain terakhir yang tak kalah pentingnya adalah Partai Nasional Demokrat besutan Surya Paloh. Untuk diketahui, partai ini cukup berperan mempengaruhi Megawati untuk ikhlas mencalonkan Joko Widodo setelah Ia sendiri memberikan pengakuan kepada Megawati bahwa tak akan turunmencalonkan diri, baik sebagai Capres maupun Cawapres. Bila Megawati setuju, dukungan Nasdem akan diberikan tanpa harus melihat berapa hasil Pileg kemarin.
Bila demikian konstelasinya, meskipun JK masih ada potensi, namun mengingat semangat restorasi dan perubahan menyeluruh yang digaungkan Surya Paloh sejak Nasdem pertama kali diperkenalkan kepada publik, sepertinya akan menjadi ganjalan. Apalagi Surya Paloh yang dikenal juga sangat dekat dengan Jusuf Kalla, pasti bisa memberikan pemahaman untuk bersama-sama menjadi pengawal restorasi. Surya Paloh dan JK keduanya sebagaimana diketahui adalah pengagum Bung Karno, maka boleh jadi mereka bertiga, termasuk Megawati tentunya, akan memihak kepada pilihan generasi muda dari trah Soekarno. Siapa lagi kalau bukan pilihan antara Puan Maharani atau Prananda Prabowo.
Analsis bahwa kemungkinan Prananda Prabowo yang akan direstui oleh Megawati, Surya Paloh dan Jusuf Kalla mungkin ada benarnya.Drama “Perseteruan” antara Puan dengan Jokowi dimana digambarkan bahwa Jokowi diusir oleh Puan, sulit diterima nalar orang yang mengenal kepribadian Puan sejak lama. Puan kata orang yang megenalnya adalah potret dari Taufik Kiemas almarhum yang dikenal santun dan tidak meledak-ledak. Apalagi terhadap sosok Jokowi yang dikenalnya sejak dari Solo, kecil kemungkinan Puan akan berkata kasar kepada Jokowi.
Bahwa kemudian digambarkan Prananda Prabowo berada di belakang Jokowi dan juga berseteru dengan Jokowi, ini yang perlu dibantah secara spesifik oleh Puan kepada Jakarta Pos. ”Kami memang berlainan ayah, tapi bagi saya yang tumbuh bersama sejak kecil dengan Kakak saya Prananda, Ia adalah sosok kakak kandung bagi saya dan saya hormat kepadanya.”
Bantahan Puan ini sangat diperlukan untuk tidak mencederai gambaran publik terhadap Prananda yang selama ini cukup tercitrakan sebagai pribadi yang baik dan banyak berjasa bagi PDI-P selama masa-masa sulit partai berlambang Kepala Banteng itu memilih berdiri sebagai oposisi.
Nah, terakhir berkaitan visi dan misi Jokowi yang banyak dituntut oleh publik. Sebenarnya terlalu naif kalau orang tidak pernah mendengar pemaparan visi dan misi restorasi Nasdem yang didengungkan malah sejak dua tahun lalu. Kemungkinan besar diamnya Nasdem karena sedang menggodok Visi dan Misi besar yang akan diusung bersama PDI-P.
Jadi sebenarnya kejutan yang kita tunggu setelah usainya perhitungan real hasil Pemilu Legislatif beberapa pekan ke depan, selain mendengarkan pemaparan Visi dan Misi Jokowi, juga adalah kepastian Wakil Presiden dari ketiga kelompok koalisi. Maka bersiaplah untuk sedikit mengalami gelombang kejut. [@ben_369]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H