[caption id="attachment_365784" align="aligncenter" width="618" caption="Para supir angkutan kota (angkot) Kota Malang memprotes operasional bus sekolah gratis, Kamis (22/01/14) | Sumber: www.tribunews.com"][/caption]
Apa salahnya pemerintah kota menyediakan bus gratis bagi pelajar? Bukankah itu baik untuk anak didik dan orangtua didik yang selain lebih aman juga menghemat pengeluaran?
Lalu mengapa ratusan sopir angkot kota (angkot) bersama angkotnya tumplek ke halaman Balaikota Malang, Kamis (22/01) kemarin? Mereka juga kebanyakan adalah orangtua murid yang sebenarnya juga diuntungkan dengan keberadaan bus sekolah gratis yang diadakan Pemerintah Kota Malang yang menjadi sumber kekisruhan akhir-akhir ini di kota penghasil apel itu.
Tapi mengapa para sopir angkot itu memprotes dan menolak dioperasikannya bus sekolah gratis tersebut?
Kurang Pertimbangan
"Tidak ada bus saja, kita sudah susah. Apalagi ada bus sekolah," kata Iwan sopir jalur Madyopuro-Mulyorejo seperti dikutip oleh situs berita online, detik.com.Iwan mencontohkan, selama beroperasi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) cukup tinggi, sehingga menguras pendapatan. Untuk tiga kali Pulang-Pergi (PP) di jalur MM dibutuhkan biaya sebesar Rp 150 ribu.
Kasus demo supir angkot ini hanya contoh kecil seringnya pemerintah salah kaprah menerapkan kebijakan publik yang maksudnya baik, melayani masyarakat secara maksimal namun akhirnya berakhir dengan konflik.Bukan hanya konflik tapi pemborosan yang tak disadari.
Harusnya DPRD Malang hadir sebelum kisruh ini terjadi dan berdiri pada posisi netral kalau tidak bisa memihak ke sopir angkot. Tapi kejadian di Malang ini justru DPRD nya manut dengan kebijakan pemerintah. Ini juga perlu diluruskan.
Ada dua stakeholder kunci yang harus diperhatikan pemerintah. Pertama kalangan masyarakat umum yang sejatinya memang selalu berharap utilitas atau kemanfaatan yang sebesar-besarnya dari setiap aturan atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Bus sekolah gratis contohnya.
Stakeholder kedua adalah pelaku ekonomi yang merupakan katalisator pembangunan yang penting kehadirannya di setiap kawasan. Pelaku usaha dimana-mana pasti akan selalu mengejar maksimum profit atau keuntungan sebesar-besarnya. Lihat saja misalnya, saat harga BBM naik sedikit, mereka mau segera biaya angkot dinaikkan. Tapi saat BBM turun secara signifikan, mereka enggan ikut turun. Kalaupun dipaksa, ya maunya turun sedikit saja.
Makanya saat anak sekolah sebagai bagian dari warga masyarakat mulai menikmati naik bus gratis, giliran pihak sopir angkot yang protes kepada pemerintah karena keuntungannya tergerus.
[caption id="attachment_365785" align="aligncenter" width="618" caption="Inilah Bus Sekolah Gratis yang diprotes supir angkot itu | sumber: www.surabaya.tribunnews.com"]
Bus “Gratis” Yang Tidak Gratis
Betulkah bus itu gratis? Sebenarnya tidak. Bus itu dibayar oleh pemerintah dalam bentuk investasi pembelian bus, bahan bakar untuk operasional, pemeliharaan berkala dan gaji tetap buat sopir. Jumlahnya boleh jadi lebih besar atau lebih kecil dari uang yang diterima para sopir dari pembayaran para siswa sebagai penumpang angkot.
Bagaimana kalau uang pemerintah tidak diinvestasikan membeli bus, membeli BBM dan membayar supir melainkan merubahnya menjadi mekanisme subsidi biaya angkot kepada pelajar yang tidak mampu. Artinya guru dilibatkan untuk mendistribusikan tiket gratis kepada siswanya yang tidak mampu yang diserahkan para siswa kepada sopir angkot saat naik angkot.
Sopir angkot kemudian secara harian atau mingguan menukarkan karcis itu dengan uang di titik-titik penukaran yang telah ditentukan.
Cara ini akan membuat sopir angkot tidak tergerus penerimaannya dan kebutuhan melayani masyarakat untuk transportasi “gratis” terpenuhi.
Lalu kalau bisa solusi seperti itu, mengapa solusinya adalah mengadakan bus sekolah? Boleh jadi pengadaan bus sekolah ini mencontoh daerah lain atau negara lain dimana tidak banyak lagi orang yang mau menjadi sopir yang mengangkut anak sekolah sehingga pemerintah harus mengadakan angkutan khusus.
Pembelajaran Kebijakan Publik
Kebijakan pengadaan bus sekolah gratis harusnya tidak dilakukan oleh Pemkot Malang melainkan kebijakan masing-masing sekolah. Maka bisa saja Pemkot memberikan bantuan kepada sekolah-sekolah yang kemudian biaya operasional, bahan bakar dan pemeliharaan ditanggung dan dikelola sendiri oleh sekolah bersangkutan. Kalau ini terjadi saya yakin sopir angkot tidak akan mendemo sekolah yang mengangkut muridnya sendiri sebagaimana mereka juga tidak mendemo setiap keluarga yang mengangkut sendiri anak-anaknya ke sekolah.
Ini adalah sebuah contoh kebijakan publik yang kurang komprhenesif mempertimbangkan kepentingkan berbagai stakeholder secara proporsional. Kejadian di kota Malang juga sekaligus mengingatkan dimana sebenarnya posisi Wakil Rakyat (DPRD) yang seharusnya mengawasi dan meluruskan kebijakan yang akan diambil pemerintah. Bukankah DPRD juga adalah wakil para supir angkot? [@bens_369]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H