Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari KB Hingga GenRe, Berharap Manisnya Bonus Demografi

11 Oktober 2014   06:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:30 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_347062" align="aligncenter" width="620" caption="Norma keluarga kecil sejahtera, sebuah upaya sistematis, terstruktur dan massif menuju Indonesia yang lebih baik | sumber: www.bkkbn-jatim.go.id"][/caption]

Beberapa pekan lalu saya berkesempatan memandu pelatihan pengadaan barang jasa ramah lingkungan di sebuah kota. Peserta sangat antusias membahas pentingnya pemerintah mempertimbangkan kepentingan pelestarian lingkungan dalam melakukan pengadaan barang atau jasa. Untuk apa kita melakukan semua itu? Tiada lain selain adalah agar Indonesia semakin maju dan baik ke depan.

Karena pembicaraan seputar upaya memajukan Indonesia, sebuah pertanyaan tentang bonus demografi menyeruak dari peserta pelatihan, meski sejatinya saya tidak sedang melatih tentang kependudukan.

Kemungkinan karena kata bonus itu cukup menggoda. Maklum, kata bonus biasanya berkonotasi pendapatan ekstra. Maka ketika kata bonus demografi ini menjadi topik hangat diantara sejumlah isu pembangunan yang sering dikemukakan melalui layar kaca dan media massa cetak oleh pemerintah, ilmuan bahkan politisi, sontak menarik perhatian publik.

Tidakkah itu sekedar halusinasi, pemberi harapan palsu (php) atau mungkin hanya pengalih isu? Apakah fenomena ini memang dikenal di dalam kajian kependudukan dan berhubungan dengan kemajuan suatu bangsa atau sekedar dihubung-hubungkan. Benarkah ada bangsa atau negara dewasa ini yang telah diuntungkan mengalami kemajuan karena suatu keadaan yang diistilahkan bonus demografi?

Sejumlah pertanyaan di atas merebak seiring dengan maraknya pembicaraan mengenai bonus demografi itu. Istilah ini menjadi populer ketika beberapa lembaga dan badan dunia mengamati fenomena bangkitnya perekenomian sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik, sebutlah negara Tiongkok, Korea Selatan, Jepang Malaysia, Thailand dan India yang pertumbuhan ekonominya dinilai cukup signifikan.

Faktor pemicunya menurut kertas kerja yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Moneter Internasional (IMF) antara lain adalah perubahan struktur kependudukan dimana pada negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia tersebut terlihat struktur penduduknya didominasi oleh usia produktif dibanding non produktif. Dibanding negara-negara Eropa dan benua lainnya, negara-negara di Asia Tenggara tergolong yang tercepat menuai hasil dari upaya pengendalian penduduk yang mereka lakukan, berkisar antara 15 – 50 tahun.

Sementara itu negara-negara di kawasan Afrika atau biasa disebut negara-negara sub-Sahara, memperlihatkan kondisi yang masih memprihatinkan dimana meskipun tingkat kematian bayi dan balita masih relatif tinggi tetapi mereka tetap tidak bisa menghindari pertambahan penduduk yang sayangnya masih didominasi oleh usia non produktif yang telah berlangsung cukup lama.

Tiongkok adalah salah satu negara yang dua puluh tahun terakhir menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat berkat bonus demografi yang dimanfaatkan dengan baik merambah pengembangan industri yang tidak terjamah sebelumnya seperti elektronik, komunikasi, transportasi darat, laut dan udara hingga modernisasi industri farmasi yang memang sudah dikuasai sejak lama.

Akankah Indonesia mampu mengelola peluang itu atau peluang itu berbalik menjadi bencana, akan terpulang terutama pada keseriusan seluruh komponen bangsa ini, terutama pemerintah di dalam menyambut dan mempersiapkan terjadinya pergeseran struktur kependudukan itu sehingga mereka yang masuk katagori usia produktif dapat benar-benar mengoptimalkan produktivitasnya. Mereka yang masuk kelompok angkatan kerja baru yang ingin memasuki dunia kerja dapat disiapkan lapangan kerja atau mereka mampu membuka lapangan kerja sehingga pengangguran dapat dihindari.

Korupsi dan segala turunannya harus dapat dicegah dan dihentikan secara optimal. Percayalah, tidak ada negara yang bisa maju bila terus dicurangi oleh pengelolanya, baik yang disebut eksekutif atau birokrat, legislator atau anggota DPR dan MPR, kalangan penegak hukum maupun kalangan pengusaha, profesional dan lain-lain. Selebihnya kita bisa belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih dahulu berhasil memanfaatkanbonus demografi tersebut dengan baik.

Untuk diingat bahwa dalam hal kualitas sumberdaya manusia kita sebagai bangsa memiliki handicap dibanding negara-negara Asean lainnya. Dari 182 negara di dunia, Indonesia berada pada peringkat ke-111 dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau urutan ke-6 dari 10 negara anggota Asean. Angka IPM ini mencerminkan daya saing angkatan kerja kita yang relatif lemah terhadap angkatan kerja negara lain sehingga diperlukan strategi khusus untuk tetap memaksimalkan sumberdaya manusia yang ada sambil terus mengupayakan peningkatan karakter dan kompetensinya.

Keberhasilan Keluarga Berencana

Bonus demografi atau bonus kependudukan adalah keadaan struktur penduduk suatu negara dimana didominasi oleh usia produktif yakni antara 15 hingga 64 tahun dibanding usia non produktif yakni yang tergolong anak-anak (14 tahun ke bawah) dan usia lanjut (65 tahun ke atas).

Penduduk produktif yang lebih besar dibanding yang non produktif mengindikasikan rasio ketergantungan atau dependency ratio semakin mengecil yang berarti setiap individu dapat menikmati kesejahteraan yang lebih baik. Sebagaimana contoh sejumlah negara yang dikemukakan terdahulu Penduduk produktif akan menciptakan produktivitas negara yang semakin tinggi. Namun semuanya terpulang pada seberapa baik negara memberi peluang berkiprah bagi mereka dalam batas usia produktif tersebut.

Karena meskipun jumlahnya membesar, diperkirakan mencapai 180 juta dari 240 juta penduduk Indonesia atau sekitar 70 % pada periode tahun 2020-2030, penduduk usia produktif ini membutuhkan lapangan kerja. Mereka yang berada pada rentang usia 15-64 tahun ini yang disebut kelompok usia produktif tentu memiliki beragam keahlian dan tingkat pendidikan.

Bonus ini tidak datang dengan sendirinya. Artinya tidak mungkin usia non produktif berkurang drastis tanpa usaha yang sungguh-sungguh dalam pengendalian pertumbuhan penduduk. Di masa pemerintahan Orde Baru upaya pengendalian penduduk digiatkan melalui program Keluarga Berencana (KB).  Meskipun program ini selalu diidentikkan dengan tokoh Orde Baru, Soeharto, tetapi tidak bisa dipungkiri dampak positif program ini bagi perbaikan struktur penduduk Indonesia dewasa ini sangat luar biasa.

Bayangkan bila pasangan usia subur (PUS) pada kurun waktu tiga puluh tahun lalu hingga sekarang ini tidak pernah secara sistematis, terencana, terstruktur dan masif disadarkan pentingnya norma keluarga kecil sejahtera, maka boleh jadi kesadaran itu harus menunggu setiap orang di negeri ini menghadapi penderitaan akibat ledakan penduduk baru mengambil sikap menahan diri mengurangi pertambahan penduduk. Maka bonus demografi pasti akan tertunda datangnya mungkin harus menunggu 30 atau lima puluh tahun lagi.

Ketika pemerintah mengkampanyekan pentingnya norma keluarga kecil yang populer dengan tag line “Dua Anak Cukup” ini, Indonesia masih sebagai salah satu negara eksportir minyak dan anggota organisasi eksportir minyak dunia (OPEC) yang artinya keuangan negara relatif memadai. Entah apa yang akan terjadi andaikata program pemerintah ini tidak berhasil mencegah kelahiran 100 juta tambahan penduduk dalam 30 tahun terakhir di tengah situasi dimana Indonesia telah berubah menjadi negara importir minyak dan karenanya harus didepak keluar dari OPEC. Bisa dibayangkan tekanan yang akan dihadapi bangsa ini akibat besarnya penduduk yang butuh BBM. Kemungkinan besar APBN akan jebol untuk menutupi subsidi yang harus dianggarkan hanya untuk BBM, tidak termasuk kebutuhan energi listrik, pangan dan lain-lain.

[caption id="attachment_347063" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi kemungkinan jumlah penduduk Indonesia dewasa ini andaikata tidak ada upaya yang masif, terstruktur dan sistematis untuk mencegah peningkatan jumlah kelahiran penduduk Indonesia sejak tahun 1990 an yang dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB) | Sumber: Dikutip dari paparan Kepala BKKBN Prof. dr. Fasli Djalal, PhD, SpGK yang diolah dari Sensus Kependudukan Biro Pusat Statistik."]

1412959477945063772
1412959477945063772
[/caption]

Belajar dari permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara lain dalam hal kependudukan, menjadikan program Keluarga Berencana dicanangkan dan diimplementasikan lebih dini meski banyak mendapat penentangan dari pemuka agama dan budaya yang masa itu melihat program pembatasan kelahiran sebagai tindakan melawan kodrat manusia yang diberikan kebebasan oleh Tuhan untuk beranak pinak tanpa boleh dihambat oleh manusia.

Pujian keberhasilan Indonesia di dalam pengendalian pertumbuhan penduduk tercermin dari pernyataan dalam laporan Badan Kependudukan PBB (UNFPA) yang menyatakan Indonesia merupakan negara dengan laju penurunan ketergantungan usia non produktif tertinggi diantara negara-negara Asia. Diperkirakan angka tersebut akan mencapai rasio paling kondusif di kisaran tahun 2020-2030 dimana rasio penduduk non produktif kemungkinan berada pada angka sekitar 44 penduduk di dalam tiap 100 penduduk. Suatu angka yang fantastis dimana satu orang hanya menanggung dirinya dan setengah orang lainnya. Karena tidak ada orang setengah, artinya bila ada 44 orang usia produk telah menanggung satu orang lainnya, maka sisanya yakni 56 orang tidak memiliki tanggungan kecuali dirinya sendiri.

Bagaimana membayangkan fenomena bonus kependudukan ini dalam kehidupan sehari-hari? Ilustrasi suatu wilayah, katakanlah suatu kota yang jumlah penduduk usia produktifnya jauh lebih tinggi dibanding yang non produktif.  Investor pasti akan lebih banyak memilih propinsi itu dikarenakan ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Darimana angkatan kerja tersebut datangnya? Bisa berasal dari dalam wilayah itu sendiri, bisa juga dari daerah lainnya yang tertarik datang ke kota tersebut karena peluang kerja atau upah yang relatif lebih tinggi.

Kondisi itu umumnya dialami oleh wilayah yang semakin membaik ketersediaan infrastrukturnya, lebih tinggi indeks pembangunan manusia (IPM) warganya, dan kemauan penduduknya untuk melaksanakan norma keluarga kecil lebih tinggi dikarenakan melihat kenyataan beratnya menjalani kehidupan yang berkualitas bila tanggungan keluarga terlalu banyak.

Wilayah seperti itu biasanya adalah kota besar, bisa ibukota negara atau ibukota Provinsi.  prdan tingkat pSemua yang usia produktif sudah terserap di berbagai lapangan kerja di Kabupaten itu dan tersisa usia non produktif.  Untuk membuka atau mengembangkan usaha pelaku ekonomi harus mendatangkan tenaga kerja dari luar yang kemungkinan harus ditanggung  pemondokan dan sejumlah tunjangan lainnya. Bila hal ini terjadi, maka laju investasi pasti melambat dan kemungkinan pertumbuhan ekonomi akan mengalami stagnasi.

Membayangkan hal itu, tentu akan timbul pertanyaan bagaimana bila ternyata usia produktif yang ada didominasi oleh penduduk yang berpendidikan rendah, tidak terampil dan hanya bisa mengerjakan pekerjaan berteknologi rendah atau sederhana (low-tech)? Maka pada saat itulah bonus demografi itu akan berbalik menjadi bencana demografi. Apalagi bila kemudian pemerintah juga kurang berhasil mendorong penciptaan lapangan kerja yang padat karya, maka usia produktif tersebut akan berpotensi menjadi pengangguran dan menjadi beban bagi mereka yang bekerja.

Generasi Berencana (GenRe)

Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) beberapa tahun terakhir ini  meluncurkan program yang cukup strategis untuk tujuan terus mengupayakan pengendalian pertumbuhan penduduk agar bonus demografi bisa lebih lama kita nikmati kalau nantinya itu dapat benar-benar menjadi bonus dan kesejahteraan yang diupayakan negara untuk rakyatnya dapat dinikmati dengan lebih baik.

Program tersebut adalah Generasi Berencana yang disingkat dengan singkatan kata yang akrab dengan dunia remaja yakni GenRe, yang artinya jenis atau katagori. Tentu saja peluncuran program Generasi Berencana tidak dimaksudkan untuk menggantikan program Keluarga Berencana melainkan lebih sebagai upaya menjaga kesinambungan dan penyesuaian dengan zamannya.

Bila Keluarga Berencana pada masa itu fokusnya lebih banyak kepada mereka yang sudah berkeluarga dan masih tergolong pasangan usia subur (PUS), maka GenRe sebagaimana namanya melanjutkan penyadaran kepada generasi muda yang diharapkan selain dapat menunda untuk memiliki keturunan juga tentu saja diharapkan untuk membatasi jumlahnya seperti juga dulunya diharapkan melalui program KB yang dikenal dengan tag line Dua Anak Cukup sambil mengangkat dua jari, laki perempuan sama saja.

Efektifkah GenRe ini menyadarkan generasi muda untuk benar-benar mempersiapkan atau merencanakan kehidupan yang lebih berkualitas? Raimond Chrisna Noya, Duta GenRe Nasional asal Maluku dalam wawancara dengan Metro TV pekan pertama Oktober 2014 lalu mengakui kalau program ini sangat efektif memberikan pengetahuan tentang berbagai aspek yang berhubungan dengan kehidupan remaja dan pentingnya mempersiapkan diri memasuki kehidupan berkeluarga.

Bagi Chrisna, sangat penting untuk memberikan pemahaman dan melibatkan generasi muda dalam program pengendalian kependudukan ini dengan cara-cara dan bahasa yang bisa diterima oleh generasi muda. Ia yakin dengan kesungguhan yang ditunjukkan BKKBN di dalam mengelola program ini, GenRe akan menjadi satu program yang akan sukses mengendalikan pertumbuhan penduduk sehingga bonus demografi tidak cepat berakhir.

Mengantisipasi Bonus Demografi

Meskipun bonus kependudukan ini menjanjikan harapan, namun menurut banyak kalangan bisa berubah menjadi bencana manakala negara gagal memberikan ruang berkiprah bagi mereka yang disebut usia produktif ini. Makanya saya sebenarnya tidak suka menyebutnya bonus tetapi lebih sebagai peluang. Kalau peluang pertambahan penduduk usia produktif itu bisa diantisipasi dengan baik dan memberikan dampak positif bagi perekonomian bangsa, barulah bisa disebut bonus.

Sejatinya, yang kita sebut bonus kependudukan atau demographic bonus itu adalah fenomena kependudukan biasa yang disebut demographic dividend, sebuah istilah yang akrab bagi para pemilik saham yang biasa memperoleh pembagian keuntungan pada waktu-waktu tertentu atau biasa disebut deviden. Demographic devidend atau demographic bonus ini menurut wikipedia biasanya terjadi dalam rentang 20 hingga 30 tahun. Artinya bahwa komposisi kependudukan kita akan didominasi usia produktif pada rentang waktu tertentu, katakanlah kemungkinan mulai 2020 nanti hingga 2040. Sebuah peluang yang jarang datang sehingga harus benar-benar bisa dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia.

[caption id="attachment_347086" align="aligncenter" width="685" caption="Gambaran Bonus Demografi dan Jendela Kesempatan sebagaimana dipaparkan Kepala BKKBN Prof. dr. Fasli Djalal, PhD, SpKG pada kuliah umumnya di depan civitas akademika Universitas Udayana, Bali bulan Mei 2014 lalu | Sumber: BKKBN"]

14129724381194726272
14129724381194726272
[/caption]

Sebenarnya Indonesia sudah mendapatkan bonus kependudukan ini sejak tahun 2010 lalu sebagaimana diungkapkan Prof. dr. Fasli Djalal, PhD, SpKG, Kepala BKKBN dalam kuliah umumnya di Universitas Udayana, Bali, bulan Mei lalu. Artinya perubahan struktur penduduk dimana usia produktifyang meningkat sudah terjadi dan akan terus bergerak menuju komposisi yang optimal kira-kira pada tahun antara 2028 hingga 2031. Pada saat itu struktur penduduk kemungkinan akan menjadi 56 orang usia produktif dalam setiap 100 penduduk.

Menurut Fasli, rentang waktu itulah yang biasa disebut jendela kesempatan (Window of Opportunity)di dalam bonus demografi. “Waktunya relatif singkat, makanya harus benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin,” jelas Fasli dalam kesempatan wawancara bertajuk bonus demografi di stasitiun tivi berita MetroTV. Artinya rasio usia produktif pada rentang waktu itu benar-benar berada di atas usia non produktif, suatu kesempatan yang langka terjadi, makanya disebut jendela kesempatan.

Sekarang ini tahun 2014 yang berarti 14 tahun lagi komposisi kependudukan yang bisa disebut kesempatatan emas akan terjadi.Pemerintah di bawah kepemimpinanpresiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla harus dapat memberikan perhatian khusus terhadap datangnya jendela kesempatan itu, meskipun masa baktinya hanya lima tahun. Siapa tahu indikasi keberhasilannya dapat dilihat pada periode pertama sehingga rakyat berkenan memberikan mereka berdua tiket untuk jabatan periode kedua, itu kalau Pemilihan Presiden tetap bisa dipertahankan dengan mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.

Mereka harus bisa mengeluarkan berbagai kebijakan dan insentif kepada swasta agar gairah investasi meningkat dan lapangan kerja terbuka. Semua pihak harus disadarkan bahwa gejolak politik sebaiknya diredam agar sentimen pasar tidak negatif yang akan menyulitkan perekonomian Indonesia ke depan yang bisa membuatnya gagal memanfaatkan peluang emas dari bonus demokrasi itu.

Pasar dalam negeri adalah andalan utama kita untuk memasarkan barang dan jasa yang kita hasilkan sendiri. Dengan penduduk sekitar 238 juta, Indonesia adalah pasar raksasa yang banyak diincar oleh negara-negara industri. Relevansi semboyan bahwa “berbelanja produk bangsa sendiri berarti ikut membangun perekonomian bangsa” perlu dikampanyekan terus agar produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh industri dalam negeri bisa dihargai dan dibela oleh bangsanya sendiri. Upaya ini juga sekaligus mendorong terbukanya lapangan kerja yang sangat diperlukan di saat datangnya bonus demografi tersebut tadi.

Fasli Djalal kepada reporter Metro TV yang mewawancarainya pekan lalu mengaku telah menyiapkan langkah-langkah dan program-program strategis untuk menyambut datangnya bonus demografi tersebut. “Kami tentu saja sebatas memberikan data, informasi dan sosialisasi mengenai kondisi kependudukan kita,” ujar Fasli Djalal. Tentang siapa dan bagaimana memanfaatkan potensi kependudukan seperti bonus demografi yang akan datang menurut Fasli, terpulang bagaimana para pihak dari komponen bangsa ini melihat dan mengaktualisasikan peranannya di dalam memanfaatkan potensi kependudukan tersebut untuk kemajuan bangsa.

Mengelola kependudukan ke depan seharusnya tidak dipandang sekedar hubungannya dengan pengendalian pertumbuhan seperti di masa lalu. Pengelolaan Kependudukan seharusnya dilihat sebagai tangungjawab pengelolaan asset bangsa yang luar biasa. Dengan demikian tentu tidak cukup hanya ditangani satu badan seperti sekarang ini. Pengelolaan kependudukan seyogyanya dikembangkan menjadi satu kementerian sehingga seluruh aspek yang berhubungan dengan kependudukan dapat ditangani oleh sejumlah Direktorat Jenderal (Dirjen) di dalamnya.

Masih dalam kaitan menyambut bonus demografi dan implikasi setelahnya, kementerian yang saya pikir elok diberi nama Kementerian Kependudukan, Ketenagakerjaan dan dan Transmigrasi (Kementerian K2T) ini seyogyanya ada di dalam kabinet Jokowi-JK. Mari kita tunggu dan lihat apakah isu kependudukan ini akan membuat BKKBN mendapatkan bonus lebih dahulu berupa satu kementerian sebelum bonus yang lain yakni Jendela Kesempatan  di dalam bonus demografi datang beberapa tahun mendatang.(follow me at: @ben_369).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun