Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Benarkah Jokowi - Ahok Masih Kompak?

11 Mei 2014   10:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 3339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13997530821047840204

[caption id="attachment_323308" align="aligncenter" width="638" caption="Jokowi - Ahok di seberang meja Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa Sabtu malam (10/05) bertajuk "][/caption]

Mendudukkan dua orang petinggi Jakarta dalam suatu wawancara yang pertanyaannya sulit diprediksi, berpotensi memperlihatkan atau paling tidak mengkonfirmasi kebenaran atau ketidakbenaran rumor di sekitar keretakan hubungan keduanya sebagai imbas tahun politik yang panasnya terus mengalami eskalasi.

Dialah Joko Widodo sang Gubernur dengan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dua sosok yang sejak awal dikenal memiliki gaya kepemimpinan dan tempramen yang berbeda. Jokowi mewakili sosok pemimpin yang dinilai mewakili kultur orang Solo yang lembut dan Ahok merpresentasikan sosok pemimpin dari Sumatera yang meledak-ledak dan blak-blakan.

Perbedaan itu meskipun awalnya dikhawatirkan akan berbenturan, tetapi perjalanan bersama selama satu setengah tahun menakhodai Jakarta yang dinamikanya sangat tinggi, ternyata mereka akur-akur saja dan bahkan saling melengkapi. Jokowi yang suka blusukan dilengkapi oleh kemampuan manajerial Ahok yang lebih suka berada di kantor membenahi birokrasi dan administrasi pemerintahan DKI Jakarta.

Potensi keretakan yang dikhawatirkan akan datang dari hubungan kerja internal ternyata tidak terbukti, namun sanggupkah mereka menepis kemungkinan keretakan akibat faktor eksternal?

Potensi konflik mereka ada di depan mata. Jokowi yang resmi dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) harus tetap berjalan harmonis dengan wakilnya yang berasal dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), partai yang mengusung Prabowo Subianto, rival terdekat kalau tidak bisa disebut terberat Jokowi.

Apalagi sebelumnya, hubungan Gerindra dan PDI-P sempat memanas menyusul klaim Gerindra atas perjanjian batu tulis yang menurut Gerindra adalah komitmen PDI-P untuk membalas dukungan terhadap Prabowo setelah pada putaran Pilpres 2009 lalu, Megawati mendapat dukungan penuh dari Prabowo bersama seluruh komponen partainya. Perjanjian itu dipandang oleh PDI-P sebagai kesepakatan yang sudah kadaluarsa yang membuat berang pihak Gerindra yang kemudian menuduh PDI-P sebagai ingkar janji.

Pertaruhan dan Pertautan

Malam ini (10/05), Jokowi-Ahok didudukkan di kursi ‘panas” acara yang berating tinggi stasiun Metro TV, Mata Najwa. Di hadapan Najwa Shihab sang host yang acaranya kondang di mata pengamat acara reality show Asia ini beberapa kali sejumlah tamu kelihatan gelagapan menjawab pertanyaan Najwa yang tidak terduga dan seakan mengejar setiap jawaban yang mengundang tanya. Tak urung, Farhat Abbas, sang pengacara yang dikenal kontroversial, yang pernah tampil di acara ini beberapa waktu lalu, merasa di “bully” oleh mata Najwa yang mencecarnya dengan pertanyaan yang tidak diharapkannya untuk ditanyakan.

Berhasil tampil di acara Mata Najwa dengan baik, apalagi dapat merespon pertanyaan dengan lugas dan jujur adalah sebuah prestise tersendiri. Tak heran bila banyak tokoh yang suka menyebut acara Mata Najwa sebagai acara “fit and proper test” versi televisi.

Malam ini, dalam tayangan tunda yang disiarkan Metro TV pada pukul 09:00, di seberang meja Najwa duduk dua pria yang dikenal luas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Jokowi dan Ahok.

Pertanyaan pertama sekedar basa-basi tentang hubungan keduanya yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya, ya baik-baik saja. Ahok terkesan lebih santai dan banyak bercanda, sementara Jokowi terkesan sedikit serius hampir bisa disebut tegang.

Suasana mencair ketika Najwa mengajak keduanya membicarakan implikasi gaya kepemimpinan keduanya yang sudah diketahui publik. Ahok yang gaya bahasanya sering dianggap arogan, belagu dan tak jarang membentak-bentak dan Jokowi yang terkesan lebih tenang.

Keduanya mengakui bahwa itu bukan hal yang terpisah. Ketika sesuatu memerlukan sikap yang agak keras, Ahok yang menangani sebelum kemudian diserahkan kepada Jokowi untuk mengambil keputusan. Intinya, keduanya mengaku tidak pernah berbenturan karena saling tahu bahwa semuanya itu demi amanah yang mereka pikul untuk memajukan Jakarta menjadi lebih baik.

“tapi bagaimana dengan soal proyek Jakarta Monorail dimana terkesan anda berdua tidak kompak? Pak Ahok meminta proyek itu dihentikan sementara pak Jokowi sepertinya ingin proyek itu tetap jalan,” tanya Najwa untuk keduanya.

“Tidak seperti itu ceritanya,“ jelas Jokowi. “Saya itu sangat berkeinginan proyek ini jalan dan pak Ahok memberikan masukan kalau proyek ini ditahan dulu untuk sementara mengingat sejumlah permasalahan internal perusahaan yang mereka harus selesaikan sendiri. Proyek ini kan pernah mangkrak, jadi tentu ada permasalahan,” jelas Jokowi.

“Kepentingan kita, monorail ini harus jalan karena bagian dari moda transportasi terintegrasi yang sedang kita bangun. Kalau pelaksananya tidak sanggup, kita tender ulang lagi kalau perlu, kita sama-sama ingin masalah ini cepat selesai, dan saya dengan pak Jokowi sepakat begitu,” jelas Ahok.

Jelas terasa nuansa bahwa diantara keduanya memang sedang bertaruh. Namun juga terasa dari jawaban yang mereka berikan, mereka tetap ditautkan oleh tujuan bersama yang tidak terkontaminasi kepentingan masing-masing dari mereka. Tidak ada kesan mereka saling menyalahkan atau salah satu pihak lebih berjasa dari yang lainnya. Pemahaman Ahok yang sangat baik terhadap posisinya sebagai wakil, memberikan keyakinan kepada Jokowi untuk juga memberikan kebebasan kepada Ahok untuk memilih gaya kepemimpiannya karena yakin semua itu dilandasi niat yang baik.

Bukan Pengingkaran

Selanjutnya Najwa menanyakan soal janji Jokowi yang pada saat dilantik pernah berjanji untuk menuntaskan tugasnya di Jakarta satu periode, sesuatu yang juga banyak dituntut oleh warga Jakarta.

Jokowi menepis anggapan bahwa dia tidak menepati janji. Ia percaya bahwa sebahagian besar warga Jakarta sebenarnya secara tidak langsung memberikan restu kepadanya untuk maju menjadi Calon Presiden. Mungkin juga mereka melihat bahwa sebahagian permasalahan Jakarta harus ditangani dengan level kekuasaan yang lebih tinggi.

“Tidak mungkin suara PDI-P di DKI-Jakarta naik sampai 300 persen kalau mereka tidak setuju saya maju menjadi calon Presiden,” tegas Jokowi. “Bahwa saya berjanji untuk mengatasi persoalan Jakarta selama satu periode ini, itu betul. Bahkan pilihan maju menjadi calon Presiden masih rangkaian dari janji itu,” tambah Jokowi yang tampaknya diiyakan dengan anggukan oleh Ahok yang duduk di sebelah kirinya.

“Apakah anda tidak merasa dikhianati oleh Jokowi yang harus meninggalkan anda di tengah jalan?” tanya Najwa kepada Ahok. Ditanya demikian Ahok mengaku sama sekali tidak keberatan dan juga bisa melihat keputusan Jokowi akan baik bagi penyelesaian permasalahan di Jakarta ke depannya.

“Saya tahu pak Jokowi tidak pernah berpikir meninggalkan saya di tengah Jalan ketika kami dipasangkan maju untuk pencalonan di DKI Jakarta satu setengah tahun lalu,” aku Ahok. Bahkan menurut Ahok, Ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa suatu hari Jokowi akan dipilih oleh PDI-P untuk maju jadi Capres.

“Makanya kalau dia bilang tidak pernah mikir, itu benar, bukan untuk pencitraan.” Jelas Ahok.“Ia memang tidak pernah mikir. Saya pun awalnya tidak sampai berpikir ibu Mega mau memilih dia untuk capres dari PDI-P,” saksi Ahok tentang Jokowi. Makanya ketika ada orang yang mengatakan bahwa Jokowi justru yang berambisi jadi presiden, kata Ahok,Ia berani membela bahwa itu tidak benar.

“Bahkan ada yang mengatakan kalau Jokowi tidak dicalonkan oleh PDI-P dia akan mencari partai lain yang mau mendukungnya. Saya istilah kasarnya, ini tidak boleh ditiru, saya berani bertaruh bahwa Jokowi tidak akan maju tanpa restu partainya,” ungkap Ahok menceritakan polemik seputar Jokowi yang di awal sebahagian pihak menyebutnya sebagai sosok yang berambisi.

“Saya sangat ingat ketika dulu ketua partai saya mempertemukan saya dengan Jokowi untuk diusung maju bersama, dia menolak,” kata Ahok sambil menunjuk Jokowidi samping kanannya yang menyimak sambil tersenyum.

“Dia tidak mau kalau itu bukan perintah partainya. Wah orang ini sangat setia sama partainya,” kata Ahok sambil tertawa. Atas dasar pengalaman itulah Ahok sangat yakin kalau Jokowi sebenarnya tidak berambisi jadi Presiden. Tapi karena perkembangan terakhir PDI-P memerintahkannya untuk menjadi Capres, maka Jokowi harus taat pada keputusan partainya.

“Makanya saya merasa tidak dikhianati karena saya tahu itu bukan kemauannya tetapi perintah partainya.” Jelas Ahok bersungguh-sungguh memaklumi posisi mitranya.

“Jadi berarti anda siap untuk menjadi pelaksana tugas Gubernur sepeninggal beliau cuti kampanye nanti?” Tanya Najwa.

“Jangankan jadi sekedar pelaksana tugas Gubernur, saya kan sudah sering bilang, jadi presiden pun kalau saatnya tiba saya siap,” jawab Ahok tegas tanpa kehilangan kesan humornya.

Ahok mengaku tidak khawatir karena bagaimanapun Jokowi hanya cuti dan baginya tidak sulit untuk menghubungi Jokowi bila sewaktu-waktu perlu berkonsultasi, meskipun Ia tahu bahwa Ia memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri yang dijamin Undang-Undang tanpa harus berkonsultasi kepada Gubernur.

Pilihan Rasional

Ditanya oleh Najwa mengenai pilihan Jokowi untuk cuti daripada mengundurkan diri seperti ketika Ahok dulunya mundur dari jabatan Bupati Belitung Timur sebelum maju untuk bersaing memperebutukan kursi Gubernur Belitung, Jokowi manjawab bahwa itu hanya pilihan dari dua alternatif. Bila harus mengundurkan diri, prosesnya selain akan panjang, ia juga tidak yakin apakah DPR Provinsi DKI akan meloloskan permintaannya. Sementara ada jalan lain yang juga sah dijamin Undang-Undang yakni meminta cuti ke Presiden melalui Mendagri, dimana cuti merupakan hak pejabat negara untuk tujuan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Bagi Ahok, ia melihat soal cuti itu sebagai keuntungan baginya, karena bila Jokowi gagal menjadi Presiden, ia bisa kembali memimpin Jakarta bersamanya untuk menyelesaikan periodenya. Ia memastikan tidak ada sama sekali niatan baginya untuk mengambil keuntungan dari keadaan ini.

Pada sisi lain, Ahok berharap Jokowi bisa terpilih karena sangat yakin banyak hal yang diperlukannya dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan berbagai agenda permasalahan yang dihadapi DKI jakarta, dan untungnya Jokowi sudah tahu juga permasalahan itu.

Ahok kemudian menambahkan bahwa harapan untuk mempercepat proses penataan Jakarta menjadi kota dunia yang modern memang sudah menjadi keharusan. Berbagai permasalahan manajemen dan pembenahan infrastruktur mendesak dibenahi terutama yang melibatkan kepentingan lebih dari satu daerah atau wilayah.

“Kita sebentar lagi sudah harus menghadapi pasar bebas Asean atau AFTA. Belum lagi bonus demografi yang merupakan peluang Indonesia mendapatkan angkatan kerja produktif yang tertinggi sepanjang kita merdeka, itu semua harus diantisipasi dengan pertama-tama membenahi Jakarta sebagai contoh perkotaan modern yang maju di Indonesia,” Jelas Ahok yang mengaku sangat tidak keberatan dengan pencalonan Jokowi, meski dengan itu dia harus kehilangan partner kerja yang dinilainya cocok dalam bekerjasama.

“Tapi kalau dia jadi Presiden, gak masalah, kantornya juga berdekatan dan pasti saya akan lebih diuntungkan karena mendapatkan backup dari seorang Presiden yang sudah saya kenal,” ujar Ahok berseloroh.

“Koq, sepertinya anda sangat yakin kalau Jokowi yang bakal jadi presiden? Bagaimana dengan bos Partai anda yang juga mencalonkan diri jadi Presiden, anda dukung yang mana?” sergap Najwa yang membuat Ahok sedikit gelagapan.

“Bagi saya siapa saja. Bahkan saya beruntung karena siapapun yang jadi presiden keduanya adalah orang yang sudah saya kenal dekat,” kilah Ahok.

“Lalu ketika anda berdoa di rumah, siapa diantara keduanya yang anda doakan untuk menang?” Kejar Najwa.

Ditanya begitu, ahok menawab taktis: “Kalau ditanya soal itu, saya ingat kata guru Agama Islam saya di sekolah dulu, jawabannya Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang tahu.”

Calon Wakil Untuk Jokowi

Menanyakan soal calon wakil untuk Jokowi, Najwa sempat bertanya sambil bercanda apakah Jokowi mengharapkan mendapatkan calon wakil yang seperti Ahok atau apakah Ahok pernah ditawari atau Jokowi membicarakannya dengan Ahok.

Ahok menggeleng. Ia mengaku Jokowi tidak pernah membicarakan itu dan ia tidak pernah ditawari, jelasnya disertai tawa berderai. Jokowi tampak sangat berhati-hati menjawab pertanyaan yang tampaknya agak sensitif itu. “Teka-tekinya akan terjawab kira-kira seminggu ke depan,” jawab Jokowi diplomatis.

Pertanyaan tersisa di benak saya usai menonton tayangan yang luar biasa itu adalah, bagaimana seorang Ahok mempertanggungjawabkan sikap, perkataan dan bahasa tubuhnya kepada partainya yang mungkin saja berharap Ahok memberikan testimoni yang melemahkan Jokowi yang menjadi rival Calon Presiden dari pimpinan partainya, Prabowo Subianto.

Kalau memang Jokowi memiliki sejumlah cacat laten berkaitan dengan kiprahnya bersama wakilnya menakhodai DKI Jakarta, mungkinkah Ahok yang dikenal ceplas-ceplos, lurus laksana mistar dan tidak berkompromi terhadap perilaku menyimpang di dalam birokrasi mau memberikan testimoni positif kalau tidak bisa disebut dukungan terhadap Jokowi untuk maju menjadi calon Presiden?

Yang pasti Ahok adalah bagian dari Gerindra, dan pasti intensitas komunikasinya dengan pimpinan partainya, Prabowo Subianto, tak bisa disebut sedikit. Perilaku politik Ahok pasti sedikit banyaknya dipengaruhi oleh garis kebijakan partainya, dan Ahok kelihatan masih merasa nyaman bersama Gerindra.

Bila demikian, saya mencoba berasumsi bahwa Ahok telah melihat dua putra Indonesia yang baik dari jarak yang lebih dekat dibanding kebanyakan dari kita, Prabowo Subianto dan Joko Widodo sebagai sosok yang memang layak maju menjadi calon Presiden RI.

Tinggal kita menunggu dan melihat bagaimana mereka melakoni pertarungannya ke depan. Siapa diantara mereka yang lebih jantan, lebih elegan dan lebih fair bermain di atas pentas. Andaikata saya pun ditanya siapa diantara mereka yang akan saya doakan dan akan saya pilih namanya di dalam bilik pemilihan, saya juga akan berkata sama dengan Ahok... Wallahu a’lam bissawab. Biarlah menjadi rahasia saya dengan Tuhan saya. | @ben_s369

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun