Ahok dan Hariri, dua sosok ini sebenarnya berbeda profesi, satunya seorang Wakil Gubernur dan yang satunya lagi orang memanggilnya Ustadz. Meski berbeda tetapi ada persamaan diantara keduanya, sama-sama figur yang mudah tertangkap kamera ketika mereka “khilaf”, atau sengaja khilaf, dan menjadi perbincangan di media saat melakukan tindakan yang oleh masyarakat dianggap tidak pantas.
Saya tidak dalam posisi sebagai penilai mana yang salah dan mana yang benar dari sego hukum, saya hanya terpanggil untuk mengulas dari perspektif ilmu motivasi yang mudah-mudahan bisa menjadi pembelajaran, terutama bagi diri saya sendiri.
Tata Nilai Masyarakat
Ada suatu tata nilai yang tumbuh di dalam masyarakat, disadari atau tidak bahwa kalau seseorang yang memiliki posisi lebih tinggi, baik secara struktur formal maupun informal, dianggap biasa kalau marah atau bertindak kasar kepada orang lain yang secara hirarki posisinya lebih rendah. Katakanlah seorang nyonya besar kepada pembantunya atau seorang majikan kepada sopirnya.
Dan dianggap luar biasa kalau ada pembantu rumah tangga yang berani berdebat tentang sesuatu kepada nyonya rumah atau sopir yang berani meminta bosnya ikut ke tempat parkir untuk mengambil mobil karena pertimbangan efisiensi. Dan lebih luar biasa lagi ketika sang nyonya bisa menerima perilaku pembantunya atau sang bos terhadap sopirnya.
Jadi setidaknya begitulah mungkin anggapan Ahok, yang bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama, ketika lima orang guru honorer datang ke kantornya pada hari Kamis (13/2) untuk mengadukan nasib mereka yang merasa di dzolimi oleh sistem rekrutmen karena sudah 10 tahun menjadi honorer tetapi tak kunjung terangkat sebagai guru resmi, meski telah mengikuti seleksi CPNS pada September 2003 lalu.
Mendatangi kantor seorang pejabat tinggi nomor dua di Propinsi DKI Jakarta bagi seorang honorer boleh jadi oleh sebahagian orang dipandang sebagai suatu hal yang luar biasa. Apalagi sempat adu argumentasi dengan seorang pejabat tinggi yang ada di kantor itu. Itu bisa dipandang hebat mengacu pada tata nilai yang ada di tengah masyarakat Indonesia, meski di luar negeri itu hal yang biasa dan wajar-wajar saja.
Banggakah Ahok melihat orang-orang kecil yang berani memperjuangkan haknya meski dengan cara yang sedikit tidak biasa alias ngotot? Sama ketika dia dulu di Belitung Timur saat berada pada posisi sebagai rakyat biasa berjuang menghadapi arogansi birokrasi pemerintah Kabupaten yang kemudian berhasil ia rebut kketika kemudian rakyat memilihnya sebagai Bupati?
Berikut petikan ucapan Ahok yang saya petik dari situs berita online Detiknews.com. "Karena anda honorer pun anda masuk jadi pegawai, tes atau tidak? Enggak. Sebagian tuh dicomot, om tante, ipar. Honorer loh. Okelah kita terima anda sudah pernah melakukan kesalahan supaya adil anda yang tercecer terzolimi kita terima. Dia nggak mau terima masih ngotot. Ya udah gua semprot aja udah," pungkasnya.
Begitulah Ahok menjelaskan kepada media pada Jum’at pagi (14/2) mengenai kehebohan yang terjadi sehari sebelumnya (13/2) di kantornya. Menjadi heboh karena konon semprotan itu sempat membuat salah seorang dari honorer tersebut pingsan, mungkin dikarenakan kaget mendapatkan perlakuan yang tidak sebagaimana yang ia bayangkan ketika sedang mengumpulkan kekuatannya datang ke Balai Kota. Dari alasan yang dikemukakan Ahok sebelum sampai kepada adegan menyemprot honorer itu, terkesan semprotan itu adalah hal yang wajar. Ahok menilai sikap honorer kecil yang ngoto pantas disemprot, sementara sang honorer yang merasa sudah 10 tahun dicuekin juga merasa pantas untuk ngotot apalagi di era Jakarta Baru yang konon serba terbuka.
Ustadz Hariri
Lain Ahok lain Hariri. Kalau kemarahan Ahok sebatas mulut, Hariri yang bernama lengkap Muhammad Hariri Abdul Azis menyalurkan marahnya hingga ke kaki. Adalah Entis Sutisna, pria kelahiran Bandung Selatan yang tampil di acara Hitam Putih Trans7 menceritakan alasan mengapa lutut ustadz yang berambut panjang lurus dan memakai sorban putih ala Pangeran Diponegoro itu sampai mampir ke lehernya alias diinjak.
Hariri melalui pembelaannya yang diunggah di Youtube mengaku kesal karena saat sedang ceramah di desa Ngagrek, Bandung 19 Januari lalu, ia merasakan suara speakernya kecil. Ia lalu memanggil operator sound system yang belakangan namanya diketahui bernama Entis Sutisna, tetapi alih-alih bertindak kata Hariri, si operator malah balik berteriak.
Entis yang dikonfirmasi oleh Deddy Corbuzier, host acara Hitam Putih itu mengaku tidak meneriaki ustadz Hariri. Ia hanya menimpali perintah Hariri untuk mengangkat sound system dengan perkataan: Siap !! timpalan yang biasa dilakukannya ketika ia mendapatkan perintah dari seseorang yang dipandangnya lebih tinggi posisinya.
Hariri melihat sikap Entis yang berteriak kepadanya, apapun maksud teriakannya, sebagai sesuatu yang tidak pantas. Sadar Hariri tersinggung, Entis menyatakan permohonan maaf berkali-kali, namun menurut Entis, Hariri sepertinya belum puas dengan permintaan maafnya. Hariri bahkan memanggil Entis ke depan panggung setinggi setengah meter tempat ia duduk berceramah. Saat Entis datang sembari menunduk, sebagaimana lazimnya orang kecil menghadap seseorang yang dipandangnya lebih tinggi, Entis menjulurkan tangan meminta maaf lagi.
Hariri yang posisinya di atas panggung menyambut tangan Entis yang memilih berada di bawah. Mereka tampak berbicara sejenak, lalu dengan sekali pelintiran yang tidak disangka-sangka oleh Entis, lutut gempal Hariri sudah parkir di atas lehernya yang kecil dan kurus itu. Hariri yang hari itu memakai jubah terusan putih tiba-tiba menekankan leher entis yang tertadah di atas panggung. Tubuh Entis yang tetap pada posisi duduk di depan panggung kontan tidak berkutik.
Kejadian itu disayangkan oleh banyak pihak, selain karena posisi Hariri sebagai ustadz yang seharusnya menjadi panutan dalam bertutur dan bertindak, adegan kekerasan itu juga dotonton oleh anak-anak dan jamaah pengajian di tempat kejadian. Beberapa jemaah yang mungkin khawatir Hariri bertindak lebih jauh bergegas berdiri untuk melerai.
Menyesalkah Hariri atas adegan yang mengundang perhatian publik dan videonya beredar luas di Youtube? Entah bercanda atau ingin sekaligus mengumumkan bahwa publik berpihak kepadanya, Hariri yang ditemui oleh wartawan Kompas.com di sekitar Pancoran dengan enteng mengatakan: “"Sejak berita ini naik di Facebook atau di media sosial lain, malah ramai (undangan ceramah). Aneh kan, malahan."
Pembelajarannya
Begitulah dua kejadian yang melibatkan dua tokoh yang berbeda, di waktu yang berbeda, yang mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Satu hal yang sama diantara kedua kejadian itu adalah sama-sama disaksikan oleh orang lain. Kejadian Ahok menyemprot honorer guru disaksikan oleh sejumlah awak media salah satunya wartawan detik.com yang kemudian menjadikannya bahan berita. Sementara adegan Hariri menekan leher Entis Sutisna dengan lutut diunggah oleh seseorang ke Youtube yang kemudian dikutip dan menjadi berita di sejumlah stasiun televisi.
Seperti yang saya tegaskan di awal tulisan saya ini bahwa saya tidak dalam posisi untuk menilai apalagi mengadili kedua tokoh yang saya tuliskan di sini. Saya hanya ingin mengutip kata-kata bijak seorang pakar kepemimpinan dan manajemen, Stephen R. Covey seperti berikut ini:
“Perkataan dan Perilaku seorang pemimpin akan ditiru oleh orang-orang yang melihatnya atau berinteraksi dengannya dan diterima sebagai perilaku yang wajar, dimana pada akhirnya akan mengkristal menjadi budaya.” (Stephen R. Covey).
Maka berhati-hatilah di dalam berkata dan bertindak ketika anda dalam posisi sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin formal seperti Ahok maupun pemimpin informal seperti Hariri karena semua tindak-tanduk anda akan menjadi pusat perhatian dan ditiru oleh orang-orang di sekitar anda, terlepas apakah itu tindakan yang baik atau tindakan yang buruk. Ketika mayoritas orang mengikuti perilaku anda itu, maka itulah saatnya anda telah membentuk suatu budaya baru untuk perilaku tertentu, sadar atau tidak sadar.
Kutipan kedua yang juga penting diingat adalah kata-kata bijak yang pernah ditemukan di dalam buku Will and Doom, ditulis oleh Gersham Bulkeley pada tahun 1692 yakni: “Actions speak louder than words”. Bahwa tindakan berbicara jauh lebih lantang dibanding kata-kata.
Artinya bahwa meskipun ada niat baik dalam diri kita untuk memberikan penyadaran, nasehat atau pendidikan kepada seseorang, tetapi kita lakukan dengan cara yang kasar apalagi disertai amarah, maka yang berpotensi untuk diingat bukan penyadaran, nasehat atau pendidikan yang kita sampaikan dengan kata-kata melainkan tindakan kasar dan amarah yang kita ekspresikan.
Bagi Ahok dan Hariri mungkin mengekspresikan amarah kepada orang-orang yang posisi dan hirarkinya berada di bawah mereka, atau mereka yang tindakannya dia pandang pantas untuk dimarahi seperti orang-orang di lingkungan pemerintah DKI yang kinerjanya kurang baik, atau operator sound system bagi Hariri, adalah hal yang biasa. Tetapi sebenarnya keduanya berpotensi menjadi orang yang luar biasa bilamana sanggup memilih untuk tetap bersikap santun dan baik saat menghadapi orang yang menurut ukuran umum memang pantas dimarahi atau dikasari. Andaikata Ahok tetap memilih tersenyum saat melihat honorer itu ngotot, sambil mengingat masa-masa sulit yang dialaminya ketika masih menjadi pengusaha berhadapan dengan birokrasi di Belitung Timur, saya yakin Ahok tak perlu mengumbar amarah.
Andaikata ustadz Hariri mengingat bagaimana teladan sikap santun Nabi Muhammad SAW saat harus menerima perlakuan kasar penduduk Mekkah, termasuk yang meludahinya di jalan dan membuang (maaf) tinja di halaman rumahnya, saya kira teriakan “Siap !!” seorang Entis Sutisna tak harus membuat Hariri mendemonstrasikan jurus pasukan Densus 88 yang mengunci gerakan seorang teroris yang berusaha melakukan perlawanan.
Mulutmu adalah harimaumu...
Dan tindakan-tindakanmu adalah cerminan harga dirimu...
---- Ben369 ----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H