Saya punya tetangga pemilik toko kelontong kecil bernama Angko. Saya tidak tahu persis namanya, tapi begitulah orang-orang memanggilnya. Sebenarnya bukan hanya Angko, beberapa tetangga saya juga membuka usaha yang sama. Ada di samping rumah saya, di depan dan ada yang agak jauh ke belakang.
Toko Angko hanya berjarak beberapa rumah dari rumah saya. Ini cerita tahun 90-an saat belum ada toko ritel kebutuhan sehari-hari di dekat rumah saya seperti Alfamart, Indomaret dan sebagainya. Mal juga rasanya belum ada. Seingat saya hanya ada satu tempat belanja yang agak besar yang berada agak jauh dari rumah saya, namanya Super Market Gelael.
Saya berangkat sekolah ke Inggris tahun 1994. Saat itu di negeri terbesar di Eropa ini juga masih ramai diperdebatkan soal munculnya ritel-ritel besar seperti Carrefour, Tesco dan lain-lain yang dianggap mematikan usaha kecil. Sempat terjadi beberapa kali demo penolakan. Saat balik ke Indonesia saya lihat fenomena yang sama juga sudah terjadi dan diperdebatkan. Tapi seperti di Eropa, semuanya kemudian berlalu dan kemajuan ekonomi khususnya bisnis ritel semakin melaju tak terbendung.
Singkat cerita, menjelang tahun 2000-an, sejumlah ritel besar mulai bermunculan. Ada Hero, Super Market Hari-Hari, ritel busana Ramayana, Matahari dan Gelael juga tetap beroperasi. Sebagai sesuatu yang baru, tentu saja saya dan mungkin tetangga saya lebih suka berbelanja ke supermarket untuk kebutuhan bulanan. Sistem penjualan dimana pembeli memilih sendiri barang yang akan dibeli, rasanya juga seperti hal baru. Swalayan sebutannya.
Toko atau lebih tepat saya sebut warung kelontong dekat rumah saya mulai mengeluhkan sepinya pembeli. Hanya anak-anak yang membawa receh untuk permen yang masih rajin mampir. Juga para perokok masih suka berbelanja di warung. Berselang beberapa tahun, warung-warung itu mulai berguguran. Apalagi setelah toko waralaba (franchise) Alfamart dan Indomaret sudah masuk ke polosok kampung.
Mengeluh atau Berinovasi?
Pemilik warung yang tutup memang mengeluh, tetapi anak-anak mereka menjadi pekerja di berbagai swalayan. Memang pertumbuhan ekonomi di satu sisi menutup peluang bagi yang lain tapi pada sisi lain membuka peluang bagi yang lainnya, antara lain penciptaan lapangan kerja baru. Proses seperti ini terus berlangsung. Proses penciptaan menuju keseimbangan atau ekuilibrium.
Tetapi tetangga saya, Angko, seperti tak pernah mengeluh. Toko kelontongnya juga masih buka. Dia bahkan buka lebih pagi dan tutup lebih larut. Dan yang lebih mencengangkan lagi, sampai hari ini, saat dua toko waralaba jor-joran promo di seberang jalan, Alfamart dan Indomaret, Angko masih bertahan. Bagaimana mungkin masih ada yang mau singgah?
Harga rokok di tempat Angko memang lebih murah, meski hanya beberapa ratus perak, Â dibanding harga Alfmart dan Indomaret. Angko mengambil barang dari distributor sama dengan Alfamart dan Indomaret. Bedanya, Angko mengambil untung lebih kecil dari kedua peritel tersebut karena tidak harus menggaji karyawan yang banyak. Bahkan, sepanjang yang saya amati, saat kebetulan lagi nongkrong di penjual bubur depan tokonya, lebih banyak tetangga kompleks saya yang mampir ke toko Angko daripada ke Alfamart atau Indomaret di seberang jalan.
Belum lagi anak buah Angko yang seperti tak pernah berhenti mondarmandir membawa beras, botol galon dan gas ke berbagai penjuru kompleks. Ini inovasi kecil yang membawa perbedaan besar. Berbelanja bisa via telepon dan SMS. Pemesanan dapat dilakukan berapapun nilainya, meski hanya sebungkus rokok pasti diantar ke rumah pemesan. Itulah pembelajaran yang selalu saya ingat. Untuk bisa tetap eksis, jawabannya adalah inovasi tiada henti, sekecil apapun atau sesederhana apapun inovasi itu.
Raksasa Itu Masih Hidup