Masa berganti. Ketika kekuatan kapital diambil alih oleh teknologi digital, kini saatnya sejumlah peritel besar yang meringis. Beberapa hari lalu peritel sandang terbesar asal Inggris, Debenhams menutup outlet atau tempat jualannya di berbagai negara termasuk di New York dan Indonesia. Peritel yang mempekerjakan puluhan ribu bahkan ratusan ribu karyawan ini beralasan pembeli sudah sangat sepi.
Matahari dan Ramayana, dua peritel domestik yang pernah berjaya juga mengeluhkan hal yang sama beberapa waktu lalu sebelum resmi menutup beberapa outlet-nya yang sudah sepi pengunjung. Asumsi penyebabnya hampir sama, mereka tidak mampu membendung kekuatan pola berbelanja baru masyarakat melalui sistem aplikasi digital yang sekarang kita kenal dengan istilah belanja online.
Hadirnya pasar-pasar dan tempat transaksi online seperti Tokopedia, Lazada, Blibli, berniaga,com, Bhinneka.com, Amazon.com, alibaba.com dan sebagainya memang sangat menjamur dengan berbagai tawaran kemudahan yang bisa diterima logika, antara lain tak perlu bermacet-macet dan membuang waktu untuk membeli kebutuhan tertentu. Tidak semua juga bisa dibeli online, tetapi setidaknya menggerogoti potongan kue besar yang selama ini dinikmati keuntungannya oleh peritel offline.
Banyak perdebatan di media massa cetak, elektronik dan media sosial seputar ancaman bisnis online ini. Saya jadi teringat bagaimana warung-warung kecil yang dulunya menangis, kini dialami kartel bisnis ritel offline. Kebanyakan suara pengamat bernada pesimis dan khawatir. Belum tentu juga pemilik kartel bisnis yang berguguran tersebut benar-benar menangis, mungkin mereka hanya meringis.
Saya tertarik membaca dari komunitas pakar penganut aluran Blue Ocean Strategy. Sebuah aliran pemikiran yang sejak awal mengusung pemikiran anti mainstream persaingan seperti yang selama ini berlangsung yang disebutnya Red Ocean. Persaingan yang berdarah-darah dan saling mematikan. Mereka percaya akan selalu ada jalan di mana persaingan bisa dihindari secara frontal dengan inovasi menemukan pasar-pasar baru yang lebih unik dan longgar.
Jadi saya percaya kalau Nokia, Fuji, Matahari, Ramayana, Lotus, MAP, Debenham dan sebagainya, sosok yang pernah disebut raksasa di jalurnya masing-masing masih akan tetap hidup.
Nokia misalnya, meski tak lagi hadir di pasar telepon genggam, kini Nokia diam-diam hidup dan bertumpuh pesat sebagai penyedia teknologi jaringan dengan merangkul Motorolla, Alcatel dan Siemens. Laut merah tempat mereka berdarah-darah mulai ditinggalkan menuju pasar laut biru yang masih terbuka luas.
Fuji melanjutkan inovasi pengawetan photo yang pernah populer untuk memenuhi kebutuhan dokumentasi gambar jangka panjang, kini menggunakan teknologi itu untuk pengawet kulit yang kini banyak dibutuhkan dalam industri perwatan tubuh dan kecantikan.
Demikian pula dengan Matahari, kini bisa menarik nafas lega setelah berhasil membawa pelanggannya ke jagad online dengan membuka outlet Matahari Mall, sebuah aplikasi dimana semua jualan dari Matahari dari para pemasoknya masih bisa dibeli dan diantarkan langsung ke rumah.
Ramayana juga sedang mempersiapkan kerjasama dengan Tokopedia.com untuk memberikan ruang bagi semua pemasoknya tetap bisa berjualan, meski barang tak lagi harus dipajang langsung secara fisik. Ini hanya persoalan perubahan sistem pembayaran dan gaya berbelanja saja.