Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Uang dan Biaya Politik. Apa Bedanya, Sih?

4 Februari 2014   01:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Duel Kandidat”, tayangan TV One  yang disiarkan Senin 03/02 malam, menghadirkan lima calon anggota DPR Pusat yakni Andi Rachmat (PKS), Djamal Azis (Hanura), B.M. Wibowo (PBB), Marwan Jafar (PKB) dan Totok Daryanto (PAN) berlangsung cukup seru. Semua calon berusaha menggunakan forum ini untuk mempromosikan kebersihan diri masing-masing dengan berbagai argumentasi, maklum topiknya tentang “Caleg Adu Aksi Bicara Korupsi

Diantara sekian pertanyaan yang diajukan oleh penyanggah yang terdiri atas Zainal Arifin Mokhtar (Pukat UGM) dan pengamat politik Yuniarto Wijaya, ada satu pertanyaan sederhana namun sangat taktis yang diajukan oleh Zainal Arifin Mokhtar kepada kelima calon anggota dewan tersebut. Pertanyaannya mengenai bagaimana setiap calon anggota DPR ini membuat garis demarkasi yang jelas antara politik uang (money politic) yang terlarang dengan biaya politik (cost of politic)?

Terus terang, tanggapan kelima calon anggota DPR yang cenderung berdiplomasi dalam memberikan jawaban, membuat saya ragu. Kalau batas diantara keduanya saja sulit mereka definisikan, bagaimana dengan prakteknya. Mungkin saya yang kurang paham definisi politik uang dan biaya politik dari perspektif politik. Yang saya pahami adalah bahwa wilayah politik adalah soal perebutan pengaruh. Dan dalam upaya merebut pengaruh inilah segala kemungkinan untuk memenangkan pengaruh bisa saja dilakukan, maka praktek politik uang dan biaya politik bisa saja dilanggar, apalagi kalau wasitnya juga tidak paham garis demarkasi itu.

Keyakinan idealis saya adalah bahwa dalam rangka mendapatkan pengaruh, seorang calon seharusnya mampu menawarkan dirinya kepada rakyat secara elegan, jujur dan berintegrasi agar rakyat dapat memberikan kepercayaan kepada mereka dengan sukarela tanpa melibatkan janji-janji bohong apalagi materi atau uang yang mengesankan bahwa kepercayaan rakyat bisa dibeli putus oleh oknum calon anggota DPR, dan pemenangnya tentu saja siapa yang mampu membayar lebih besar.

Olehnya, setiap calon harus dapat membangun pengaruh, berbagi pemikiran kreatif dan solutif, menawarkan program dan yang terpenting menjaminkan kredibilitas dan integritasnya kepada masyarakat agar dapat diberikan kepercayaan. Artinya yang diperlukan adalah investasi waktu dari sang calon untuk mengunjungi dan bertemu langsung dengan pihak yang dimintai kepercayaannya (rakyat). Mungkin sang calon anggota dewan harus mengeluarkan biaya transportasi, membuat kartu nama barang cetakan untuk menjelaskan ide dan programnya. Yang pasti semua pengeluaran itu untuk keperluan sang calon itu sendiri, pada batas kewajaran yang seharusnya bisa dibiayai oleh calon mana saja dengan standar kehidupan rata-rata. Ini yang saya pahami sebagai biaya politik (cost of politic)

Yang saya yakini sebagai politik uang (money politic) adalah ketika sang calon mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan keperluan berkomunikasi dengan masyarakat, misalnya membuat suatu “umpan” agar masyarakat datang berkumpul, misalnya biaya pertunjukan, biaya untuk mendatangkan artis, iming-iming sembako, biaya transportasi bagi setiap yang datang dan sejenisnya. Lalu setelah rakyat berkumpul, sang calon kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk memperkenalkan dirinya. Persepsi saya adalah bahwa cara ini sudah merupakan bentuk lain dari pembelian suara.

Implikasi jangka panjang dari pola mencari pengaruh seperti yang saya uraikan di atas adalah bahwa bagi yang tidak berhasil mendapatkan pengaruh, terlalu banyak biaya yang dipertaruhkan. Sementara bagi yang menang akan berusaha melanggengkan hubungan dengan konstituennya melalui ikatan transaksional, dan mereka berpotensi menggunakan posisinya untuk mempertahankan hubungan itu. Terbukti beberapa waktu lalu mereka yang sudah duduk di kursi dewan berusaha memperjuangkan uang representasi yang diambil dari APBN yang jumlahnya tidak sedikit. Sebenarnya bahasa lain dari uang representasi adalah biaya pemeliharaan hubungan bukan atas dasar prestasi menjalankan amanah melainkan kalkulasi transaksional dengan basis pendukungnya.

Implikasi lebih lanjut adalah bahwa tidak sedikit anggota dewan yang terpilih berulang-ulang di daerah pemilihan yang sama meski prestasinya menjalankan amanah rakyat tidak bagus-bagus amat kalau tidak bisa dikatakan mengecewakan. Keterpilihannya lebih dikarenakan kemampuan mereka menjaga hubungan transaksional berbasis materi dengan konstituennya. Ini juga bentuk lain dari money politik melalui pembelian suara dengan cara ijon alias dibayar di depan selama periodenya menjadi anggota dewan.

Tak heran bila kita melihat banyak kelucuan dimana anggota dewan Provinsi sepanjang keberadaannya di dewan hanya sibuk berpikir proyek apa yang bisa ditenteng ke daerah pemilihannya yang mungkin hanya meliputi satu atau dua kabupaten, daripada memikirkan kepentingan provinsi secara keseluruhan.

Begitu pula kelakuan sejumlah anggota DPR Pusat, boro-boro memikirkan kepentingan Indonesia, yang dilakukan hanya mencari proyek untuk diarahkan ke daerah pemilihannya agar hubungan transaksional jangka panjang dengan konstituennya terjaga. Bisa dipastikan bila ada calon baru, meski jauh lebih baik kompetensi dan karakternya, akan dengan mudah disingkirkan oleh anggota dewan yang lebih dahulu membuat ikatan transaksional di tempat itu.

Salah satu cara untuk menghindari terjadinya ikatan transaksional jangka panjang antara anggota dewan dengan konstituen di daerah pemilihannya adalah dengan membuat peraturan bahwa tiap anggota legislatif hanya boleh berada di daerah pemilihan yang sama satu periode. Bila ingin maju lagi maka harus pindah ke daerah pemilihan lain. Dengan cara ini persaingan menjadi lebih adil.

Selain itu, penegasan mengenai batas garis demarkasi yang jelas antara politik uang dengan biaya politik harus menjadi bagian dari aturan yang harus ditegakkan dan pelanggarnya diberikan sanksi yang keras. Kalau pemerintah tega memberlakukan sanksi denda satu juta rupiah bagi penjual dan pembeli kaki lima di Bandung atau pelanggar jalur busway di Jakarta, mengapa tidak berani menerapkan sanksi seberat-beratnya bagi calon anggota DPR yang terbukti membeli atau mengijon suara rakyat? -- Ben --

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun