Apa hebatnya Jokowi yang bisa mengguncangkan konstelasi politik nasional, yang membuat sejumlah figur nasional yang sudah terang-terangan mencalonkan diri jadi Presiden RI jadi kebat-kebit dan berharap Megawati bersungguh-sungguh tidak mencalonkannya untuk jadi RI-1 dari PDIP? Ini sebenarnya cuplikan dari diskusi saya dengan seorang rekan berkaitan dengan fenomena popularitas Jokowi di tengah sejumlah figur di negeri ini yang juga tak kalah prestasi dan ketokohannya. Katakanlah seperti Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng-Sulsel), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Jusuf Kalla (Mantan Wapres, Ketua PMI), Dahlan Iskan (Menteri BUMN), Rhoma Irama dan lain-lain. Rekan saya khawatir jangan-jangan pilihan rakyat terhadap Jokowi merupakan jebakan lain dari euforia terhadap figur dan bukannya memilih seseorang karena prestasi dan programnya. Memang, fenomena Jokowi menarik untuk dicermati dan dijadikan pembelajaran. Andaikata Jokowi hidup dan berkiprah di masa 20 tahun lalu saat infrastruktur informasi dan komunikasi belum sedahsyat saat ini, bisa dipastikan ceritanya akan lain. Ini juga berlaku untuk presiden AS, Barrack Obama yang memenangkan hati rakyat Amerika melalui kekuatan informasi dan jaringan sosial. Kebetulan, Jokowi selain berada pada era informasi, dia juga adalah kepala daerah yang berkiprah di ibukota yang merupakan etalasi republik ini, sehingga liputan media yang luar biasa berhasil mempopulerkan sosok Jokowi ke seluruh pelosok negeri bahkan internasional. Andaikata Jokowi sebatas walikota Solo sampai detik ini, maka saya yakin meskipun berhasil mengukir segudang prestasi seperti kepala daerah lainnya, belum tentu akan mengalahkan popularitas Prabowo, ARB, Dahlan Iskan, Rhoma Irama, dan tokoh-tokoh nasional lainnya yang belakangan digadang2 untuk jadi RI-1. Popularitas nasional Jokowi sebagaimana kita ketahui, bermula ketika PDIP dan Gerindra mementaskan pasangan Jokowi-Ahok di pentas pertarungan untuk DKI-1. Peristiwa tersebut diliput media berbulan-bulan, apalagi proses dua putaran membuatnya jadi fokus berita lebih lama. Proses itu telah mengharu biru, mengaduk-aduk emosi pemirsa TV di seluruh tanah air yang seakan menayangkan pertarungan kekuatan elit politik (diperankan oleh Foke-Nara) dengan kekuatan akar rumput (diperankan Jokowi-Ahok). Jokowi-Ahok akhirnya menang, lalu Jokowi-Ahok mulai membuat terobosan dengan cara "blusukan' sehingga tercitrakan dekat dengan rakyat. Saat yang sama Ahok memberikan dukungan melalui pembenahan birkorasi dan pelayanan Pemda DKI dari dalam. Pemda lain mungkin juga sibuk melakukan hal yang sama, tetapi pemberitaannya tidak seluas apa yang dilakukan Jokowi-Ahok yang kebetulan berada di ibukota negara. Program Jokowi-Ahok tentu saja tidak semulus yang dibayangkan. Program Keluarga Jakarta Sehat (KJS), Jakarta Pintar, normalisasi dan relokasi penduduk ke tempat yang lebih layak, pembenahan pasar dan lain-lain awalnya mendapat ganjalan dari sejumlah pihak termasuk beberapa fraksi di DPR Provinsi DKI. Justru ganjalan yang gagal mengemuka itu menjadi palu godam yang semakin memperkuat posisi berdiri Jokowi-Ahok dan mendapat limpahan simpati dari rakyat. Ini sudah hukum alam bahwa kalau anda memperjuangkan sesuatu yang terbukti bukan kepentingan pribadi atau golongan anda, maka ganjarannya adalah simpati yang mengalir deras. Apalagi terberitakan bahwa Jokowi tidak pernah mengambil gajinya baik sebagai Walikota Solo maupun Gubernur DKI, ini mencitrakan keikhlasan dalam pengabdian. Akumulasi semua itu menciptakan asset dukungan yang luas yang mempengaruhi keterpilihan (elektabilitas) seseorang. Karena yang memilih adalah rakyat, maka potensi Jokowi yang telah tercitrakan sedemikian rupa untuk menjadi RI-1, menjadi semakin besar. PDIP sebagai partai asal Jokowi tentu saja membaca fenomena ini dengan jelas sehingga menganggap tidak perlu terburu-buru memasukkan jagoannya ke dalam kancah pertarungan RI-1. Kalau anda pernah menyaksikan pertandingan tinju, maka biasanya siapa yang naik ring lebih dahulu adalah penantang, sementara pemegang sabuk (yang ditantang) masih bisa berada di kamar ganti. Semakin lama PDIP menyembunyikan jagoannya, semakin membuat penonton penasaran, terutama karena ada petarung dari kubu itu yang oleh rakyat dirindukan untuk diturunkan ke kancah pertarungan. Pendukung Jokowi yang gemes, akhirnya bermunculan, baik di media sosial maupun dalam gerakan-gerakan sosial di tengah masyarakat. Mereka meminta PDIP memberikan ketegasan, bahkan dengan sedikit ancaman tidak akan memilih alias golput kalau Jokowi tidak diturunkan ke gelanggang. Sangat naif kalau PDIP tidak melihat fenomena itu. Tetapi tampaknya penundaan pengumuman Jokowi sebagai Capres diperhitungkan oleh PDIP akan semakin membuat pendukung Jokowi lebih solid dan sejauh ini dampaknya terhadap pencitraan partai masih dipandang positif. Seakan PDIP mengirimkan sinyal bahwa kalau anda benar-benar ingin Jokowi jadi Capres, mari bantu kami memenuhi syarat electoral treshold dengan memenangkan suara di atas 20 %. Jadi kalau ditanyakan apa hebatnya Jokowi dalam situasi fenomena Jokowi-fefer belakangan ini, semuanya tidak lepas dari kepiawaian partai memilih figur seperti Jokowi sejak awal untuk menjadi Walikota Solo dan kemudian mementaskannya di pentas politik nasional, dimulai dari merebut posisi DKI-1. Sekarang jalan menuju RI-1 semakin terbuka. mudah-mudahan agenda politik PDIP tidak mencoba sebuah skenario yang anti-klimaks dengan membiarkan peluang Jokowi tertunda sampai 2019. Saya juga sempat berpikir berpikir bahwa memang sebaiknya Jokowi menyelesaikan 1 periode sebagai Gubernur DKI, tetapi atas dasar pertimbangan momentum, sebaiknya Jokowi diturunkan bertarung di Pilpres 2014. Kalaupun kalah, toh bisa lanjut sebagai Gubernur DKI sambil mempertunjukkan kinerja yang positif untuk menjaga momentum kedua tetap terbuka di tahun 2019. (Ben)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H