Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bertemu Wak Wacik (Episode 2 Novel: Okid Princesa)

20 Februari 2014   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EPISODE 2

----------------------------- Ringkasan Episode Di Tengah Lukisan Alam ---------------------------

Okid, si bocah perempuan pencari anggrek hutan akhirnya menemukan serumpun anggrek melekat di sebuah batang pohon setelah seharian menyusuri pinggiran hutan Borneo. Anggrek berwarna kuning keemasan. Semula Okid curiga, khawatir anggrek itu jenis yang beracun. Tapi pengalaman di hutan telah mengajarkan banyak padanya untuk membedakan sesuatu yang berbahaya atau tidak. Menemukan serumpun anggrek adalah harapan anak perempuan sebatang kara yang hanya tinggal bersama kakeknya di sebuah rumah kecil di pinggiran hutan. Menemukan anggrek baginya seperti pemancing yang berhasil mengail ikan besar, karena itu berarti uang, tentu saja setelah dijual ke pengumpul anggrek liar yang secara berkala datang ke kampungnya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Okid masih terus mengayuh sampannya perlahan sambil dengan mata yang waspada memperhatikan setiap bagian pohon besar yang dilewatinya. Matanya yang terlatih selalu bisa membedakan mana bagian dari pohon dan mana yang bukan. Bahkan ular daun berwarna hijau sebesar telunjukpun bisa ia bedakan dari warna ranting tempatnya melilit, meskipun dari jarak seratus meter.

Benda yang berada di sungaipun selalu bisa dibedakan Okid antara benda mati dan mahluk hidup. Karena biasanya batang kayu mati sepintas sering mirip buaya. Sementara buaya juga sering menyamar seperti kayu mati yang mengapung. Tapi Okid tidak pernah salah membedakan keduanya. Makanya kalau Okid tampak sesekali mengangkat dayungnya, itu berarti ia melihat ada buaya yang mengapung atau berjemur di tepi sungai.

Ia suka heran kalau orang sering menanyakan apakah ia tidak takut dimangsa buaya saat berada di sungai. Bagi Okid, semua hewan memiliki tata krama, termasuk buaya. Ia tak akan bereaksi kalau tidak terusik. Mereka seperti sudah punya memori, mana yang menjadi mangsanya dan mana yang bukan. Tapi teman-teman Okid yang lain tidak banyak yang mau beresiko mencari anggrek dengan menelusuri sungai. Mereka kebanyakan memilih pinggiran hutan yang paling aman. Kalaupun masuk sedikit ke dalam, biasanya memilih berombongan tiga atau empat orang.

Sampan kecil dengan seorang anak perempuan di atasnya memang seharusnya bukanlah mangsa, apalagi penumpangnya memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang perilaku habitat hutan yang memadai. Cerita penumpang sampan yang diserang buaya, boleh jadi bukan kesalahan sepenuhnya dari sang buaya. Mungkin karena orang itu panik melihat buaya, apalagi kepalanya dipenuhi cerita menyeramkan tentang keganasan buaya, membuatnya bereaksi berlebihan. Saat melihat gerakan yang tidak wajar, sang buaya mengartikan itu sebagai gerakan hewan panik atau mungkin ancaman.

Okid kembali ke dalam sampannya setelah memindahkan serumpun anggrek kalajengking ke dalam keranjangnya. Ia mengambilnya dari balik sebuah pohon yang tak jauh dari tepi sungai. Padahal tadi ia hanya melihat sedikit ujung juntaian bunga anggrek itu dari jauh, tapi instingnya mengatakan itu adalah anggrek kalajengking. Anggrek berdaun kecil yang sebenarnya sudah banyak dibudidayakan oleh penduduk desa.

Sampan Okid kembali melaju di atas sungai. Okid masih optimis menemukan anggrek lain yang lebih berharga karena posisinya masih jauh dari tempat dimana biasanya ia memutar haluan sampannya untuk kembali. Posisinya juga masih jauh dari tempat di mana ia pernah menemukan anggrek unik yang bunganya berwarna keemasan.

Mungkin karena anggrek lebih banyak ditemukan menempel di cabang dan ranting pohon, sampai-sampai teman-teman Okid percaya kalau anggrek adalah bunga yang dibawa oleh bidadari dari kayangan saat berjalan-jalan ke bumi. Konon anggrek yang dibawa setiap bidadari berbeda sesuai kedudukan sang bidadari di kayangan. Konon, itu sebagai identitas saat bertemu sesama bidadari lain di bumi. Barangkali karena wajah bidadari sama cantiknya, sehingga hanya bisa dibedakan identitasnya dari anggrek yang dibawanya. Menjelang pulang ke kayangan, anggrek itu tidak diperlukan lagi, karena identitas lain berupa kursi bidadari yang bertuliskan nama masing-masing. Makanya anggrek yang dibawa ke bumi itu kemudian hanya ditempelkan ke salah satu pohon dimana seorang bidadari terakhir berada sebelum kembali ke kayangan.

Okid tidak percaya mitos itu. Tapi saat seharian mencari anggrek dan tak satupun ditemukannya, kadang ia berharap ada anggrek yang tiba-tiba menempel di pohon yang sudah dilewatinya saat perjalanan kembali ke rumah.

“Okid! Apa kamu dapat anggrek bidadari lagi?” Teriak seorang lelaki tua dari sampannya saat berpapasan dengan Okid.

“Belum lagi, Wak!” Jawab Okid sopan kepada lelaki pendatang yang sebenarnya selalu dirindukan kedatangannya oleh anak-anak seusia Okid. Wacik adalah nama lelaki tua itu, tapi anak-anak memanggilnya wak Wacik, panggilan penghormatan kepada orang tua. Wak Wacik boleh dikata penduduk kota, tapi dua kali seminggu ia datang ke desa Okid membawa jualan kebutuhan sehari-hari, bukan saja makanan yang digemari anak-anak tapi termasuk pakaian, sendal, peralatan dapur, ember, baskom atau apa saja yang dipesan ibu-ibu di desa itu.

Selain menjual, wak Wacik juga membeli hasil bumi, kerajinan, telur dan apa saja yang mau dijual dan menurut pikiran dagang wak Wacik bisa ia jual kembali di kota, tentunya asal menguntungkan. Termasuk membeli anggrek. Wak Wacik pernah ke rumah Okid beberapa kali dalam sehari untuk membujuknya menjual anggrek bidadarinya. Tapi itu hanya dua hari, setelahnya ia seperti tidak lagi bernafsu membelinya. Makanya Okid bisa menyimpan anggrek itu sebelum kemudian ia berikan kepada seseorang yang sangat dihormatinya.

---ooo---

”Darimana ya wak Wacik pagi-pagi begini?” Okid tentu saja bertanya-tanya karena biasanya hanya bertemu wak Wacik di desa, itupun dengan sampan yang dipenuhi jualan. Tapi tadi sampan wak Wacik tampak tidak banyak muatannya.

”Mungkin dia mau mencari anggrek sendiri,” pikir Okid kemudian berusaha menghilangkan kecurigaannya kepada orang lain, apalagi orang tua yang baik seperti wak Wacik. Kakek Okid selalu mengingatkan sikap itu.

Penemuan anggrek yang unik biasanya memang cukup mempopulerkan penemunya, bukan hanya di desanya, tapi bahkan sampai ke desa tetangga. Selain karena harganya mahal, lagi-lagi banyak penduduk desa percaya kalau penemunya adalah orang pilihan. Konon bidadari sengaja menantikan orang yang dipilihnya akan lewat sebelum meletakkan anggrek kiriman khusus dari ratu bidadari itu. Makanya penduduk menyebut anggrek itu dengan nama anggrek ratu bidadari.

Okid suka menepis anggapan itu karena bagi Okid, menemukan anggrek tidak ada hubungannya dengan kemurahan hati bidadari. Kalau bidadari memang murah hati dan punya kemampuan menitipkan anggrek, mengapa tidak dititip saja di pohon belakang rumah kakek atau tetangga kakek yang hidupnya susah, begitu jalan pikiran anak-anak Okid.

Bagi Okid, menemukan anggrek, jenis apa saja adalah hasil dari kerja keras dan ketekunan. Makanya Okid memilih untuk lebih rajin menyusuri sungai setiap hari daripada hanya berharap kemurahan hati bidadari yang memang tidak diyakininya. Bila ada tempat persinggahan, meskipun sudah sering disinggahinya, Okid tetap menepikan sampannya untuk berjalan kaki mencari anggrek di bagian hutan yang lain.

Kerja keras Okid bukannya tanpa alasan. Okid mau mengumpulkan uang yang banyka buat sekolah, tapi dimana dan kapan, Okid tidak tahu. Ia hanya tahu kalau masa itu pasti akan datang, meski sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan ada sekolah dasar di desanya.

Bila ada anak-anak yang tiba-tiba tidak lagi bersamanya di desa karena disekolahkan orangtuanya, Okid biasanya sangat ingin menyampaikan itu kepada kakeknya. Ia ingin sekali bertanya apakah Okid juga punya keluarga di ibukota kecamatan atau di kota. Karena Okid sadar impiannya tidak mungkin terwujud seperti teman-temannya yang lain kalau ia tidak punya keluarga di luar desanya. Kecuali kalau suatu hari ada sekolah yang dibangun di desa Dulang. Okid sebenarnya hanya ingin pandai membaca sehingga kalau mendapatkan potongan koran pembungkus asam atau terasi saat berbelanja di sampan wak Wacik, ia bisa membacanya.

Meskipun kakeknya tidak pernah bercerita tentang ayahnya, tapi dari teman-teman sebayanya ia tahu kalau ayahnya masih hidup. Perihal ibu dan adiknya yang meninggal, Okid sudah tahu karena kakek sering membawanya berziarah ke pekuburan desa pada hari-hari tertentu. Awalnya Okid berpikir kalau Ayahnya juga sudah meninggal, tapi semakin besar, Okid tahu arti kuburan, ditambah lagi cerita teman-temannya bahwa Ayah Okid sebenarnya tinggal di kota.

Teman-teman seusia Okid sekarang mungkin pergi mencari anggrek hanya untuk menambah uang jajan. Jadi Okid juga maklum kalau mereka biasanya ke hutan setelah uang jajan mereka habis. Kalaupun ada yang rajin, paling dua kali seminggu ke sekitar pinggiran hutan, itupun hanya setengah hari karena tidak membawa bekal. Padahal diantara mereka tidak ada kegiatan lain selain bermain.

Tapi kini, Okid sebenarnya sudah berganti cita-cita. Bukan lagi sekedar ingin sekolah dan pandai membaca. Ia ingin jadi guru seperti ibu Sugiharti, sosok paling dekat yang pernah dikenalnya selain kakeknya. Ibu Sugihartilah yang pernah membuat Okid merasakan arti ”sekolah”, meski tidak punya kelas dan bangku seperti yang biasa diceritakan teman-temannya yang pulang ke desanya berlibur. Maklum, tempat yang dipakai ibu Sugiharti untuk mengajar Okid dan teman-temannya hanya bangunan darurat, konon dibangun seorang pengusaha yang dulu melakukan survei untuk membangun perkebunan sawit di desa Dulang. Mungkin karena perusahaannya bangkrut atau tidak mendapat ijin, usaha itu tidak lanjut.

Di situlah selama kurang lebih lima bulan anak-anak berkumpul beralaskan tikar daun pandan. Mereka masing-masing hanya punya satu buku tulis yang diberikan ibu Sugiharti setelah suatu hari wak Wacik membawakannya dari kota. Itulah arti ”sekolah” bagi Okid sejauh ini.

------------ Bersambung -----------

Episode berikut: Sang Putri Anggrek (Episode 3 Bagian 1)

Untuk sampai ke desa Dulang, dibutuhkan waktu sehari penuh dari Sanggalang, kota kecil yang terdekat dari desa itu. Kota Sanggalang dapat dicapai dari Pontiak, kota terbesar di Borneo Barat dengan kendaraan umum selama kurang lebih enam jam. Jangan dibayangkan jalanan yang mulus seperti di kota-kota besar, karena setengah dari perjalanan itu harus melewati jalan pengerasan ...... Stay tuned.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun