Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Putri Anggrek (Episode 3 Bagian 2 Novel: Okid Princesa)

22 Februari 2014   03:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 3-2

-———Ringkasan Episode 3-1  Okid Princesa, Sang Anggrek Ratu (Bag#1) ———-

Pada Episode 3-1 lalu dikisahkan latar belakang mengapa sampai sekarang anak perempuan itu masih dipanggil Upik. Sebenarnya itu bukan nama melainkan hanya panggilan untuk anak perempuan yang belum diberikan nama resmi oleh orangtuanya atau keluarga yang merawatnya. Kehadiran seorang mahasiswa yang melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat bernama Sugiharti, membuat kehidupan keseharian Upik semakin berarti. Hampir lima bulan ibu Sugiharti yang akrab dipanggil ibu Ugi telah membekali Upik beserta teman-temannya kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Namun belakangan ini Upik seperti dirundung sedih. Betapa tidak, Upik yang selama ini hanya hidup dengan kakeknya sebentar lagi akan kehilangan sosok ibu Ugi yang diam-diam sangat dikaguminya. Ibu Ugi sebentar lagi harus kembali ke kampusnya berhubung penugasannya yang enam bulan tersisa kurang dari sebulan. Apa yang akan terjadi selanjutnya terhadap Upik, silahkan mengikuti kelanjutan ceritanya berikut ini.

———————————————————————————————————------------———-

Tibalah hari bersejarah itu, hari di mana ibu Sugiharti akan meninggalkan desa Upik. Sebelum berangkat, Sugiharti merasa perlu untuk bertemu lagi dengan kakek Upik, sekalian untuk pamitan. Tapi kedatangan ibu Ugi kali ini, yang mungkin kunjungan terakhirnya, sekaligus untuk suatu maksud yang semalam sudah dipikirkan masak-masak oleh mahasiswi pertanian ini.

Makanya, ketika pagi itu Sugiharti sudah berada di rumah kakek Upik, dan pembicaraan sampai kepada satu hal penting yang sudah direncanakan Sugiharti untuk ia tanyakan kepada kakek Upik, orangtua itu tampak agak gelagapan. Sepertinya kakek Upik agak keberatan membahasnya. Apalagi saat itu, Upik sedang duduk di sampingnya. Sugiharti sepertinya memahami hal itu, dan tentu tidak berharap kakek Upik memberikan jawaban menyangkut hal yang kemungkinan belum bisa dipahami secara utuh oleh anak seusia Upik.

Kakek Upik akhirnya meminta cucunya ke kebun belakang untuk menyiram tanaman anggreknya. Barulah setelah Upik pergi, sang kakek menceritakan sedetil mungkin mengapa sampai saat ini Upik belum punya nama lengkap sebagai anak perempuan.

”Jadi begitulah ceritanya nak Ugi. Kakek kira impian untuk punya anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan adalah hal yang wajar. Tapi kakek tidak menyangka kalau keadaan ini sampai berlarut-larut sehingga sepertinya tidak pernah terpikirkan untuk memberikan nama resmi kepada cucuku itu.”

Ibu Sugiharti mengangguk untuk meyakinkan kakek Upik bahwa ia sangat memahami mengapa Upik masih tetap Upik hingga saat ini.

”Tapi kakek yakin suatu hari nanti ayah Okid akan datang untuk memberikan nama kepada anak perempuannya. Mudah-mudahan tidak terlambat nak Ugi.”

—ooo—

Sikap bertahan kakek Upik sebenarnya juga dapat dipahami Sugiharti, tapi ia tidak menyerah untuk tetap berusaha memberikan penjelasan yang bisa diterima kakek Upik mengenai pentingnya nama bagi seorang anak. Sugiharti menyinggung pentingnya nama resmi untuk seorang anak yang mungkin suatu hari akan bersekolah. Tapi kakek Upik tidak bergeming. Begitu juga ketika diberi alasan lain kalau kemungkinan ke depan Upik akan berumah tangga, tapi juga tak menggoyahkan hati kakek Upik.

Padahal sejak kemarin Sugiharti sudah memikirkan sangat jauh hingga sampai kepada kemungkinan membuat akte kelahiran buat Upik. Bahkan seandainya memungkinkan di urus di desa ini, sebaiknya ada keterangan kelahiran untuk Upik, dan itu berarti harus diputuskan siapa nama resmi yang terbaik untuk Upik yang akan ditulis di akte kelahirannya.

Tapi menghadapi sikap kakek Upik yang sepertinya sulit diyakinkan, apalagi sudah mempertimbangkan adat istiadat setempat, dimana yang seharusnya memberi nama adalah ayah kandung seorang anak, semua rencana Sugiharti seperti buyar. Sebenarnya, sikap bertahan kakek Upik yang tidak diketahui oleh Upik, karena di benak kakek Upik sebenarnya belum pernah ada terlintas satu nama perempuan yang memungkinkan untuk cucunya.

Terakhir Sugiharti di ujung kegigihannya, menyinggung salah satu kewajiban orangtua atau yang bertindak sebagai pengganti orangtua seorang anak, menurut ajaran agama yang dianut Sugiharti. Perintah agama mengingatkan bahwa ada tiga tugas orangtua kepada anaknya, satu diantaranya adalah memberikan nama yang baik. Mendengar uraian Sugiharti, sang kakek tampak menggeser posisi duduknya mengisyaratkan pertahanannya sedikit melonggar.

Sang kakek kemudian mendekatkan posisi duduknya ke Sugiharti dan bertanya seandainya Upik akan diberikan nama, apakah Sugiharti punya usulan. Sugiharti lalu mengajukan beberapa alternatif, tapi masih kurang memenuhi pemaknaan yang diharapkan kakek itu untuk cucunya. Karena bagaimanapun menurut keyakinan sang kakek, nama adalah ibarat sebuah monumen bersejarah.

Setelah melalui proses pertimbangan yang cukup panjang, mereka akhirnya sepakat. Kakek Upik menyandarkan badannya ke belakang, membuat kursi bambu yang didudukinya mengeluarkan suara berderak. Tapi wajah kakek tampak benar-benar bahagia. Sugihartipun tersenyum bahagia.

Suasana inilah yang sebenarnya diimpikan Sugiharti sejak awal ia membuka pembahasan soal nama dengan kakek Upik. Semenjak semalam ia susah tidur karena terus memikirkan Upik dan kemungkinan masa depannya, Sugiharti sebenarnya sudah mengimpikan satu nama untuk Upik, dan ternyata nama itulah yang dipilih kakek Upik dari berbagai alternatif yang mereka diskusikan tadi.

Tiba-tiba Upik muncul lagi sambil membawa bungkusan yang sepertinya sengaja disimpan di balik dinding kayu yang membatasi ruang tamu dengan tempat tidurnya. Upik hanya melempar senyum ke ibu Sugiharti dan bergegas untuk ke halaman belakang lagi. Tapi ia menghentikan langkahnya sejenak karena melihat isyarat tangan kakek yang seperti memintanya mendekat.

”Ada apa, kek? Ops! Maaf kek aku lupa membuatkan minum untuk ibu.”

”Terimakasih, Pik. Ibu tidak haus, nanti saja sayang ya,” balas Sugiharti sambil mengusap punggung Upik.

”Kakek sudah setuju untuk memberikan nama buat kamu, cu’, dan itu adalah usulan ibu Ugi. Kamu senang kalau punya nama baru, kan?”

Sugiharti terkejut sendiri merasakan telapak tangannya yang masih menempel di punggung Upik seakan bergetar dirambati energi yang ia sendiri baru pertama kali itu merasakannya. Tapi getaran itu tidak tampak di wajah Upik. Ia hanya membuka mulutnya pertanda kegembiraan yang tak bisa terwakili kata-kata. Demikian pula binar-binar indah di matanya yang besar sepertinya mewakili jawaban kata-kata persetujuan yang ditunggu sang kakek, dan tentu saja Sugiharti.

“Nirmala saja bu,” ucap Upik setelah bisa mengeluarkan kata-kata dari bibirnya yang mungil.

“Kamu lebih cantik dari Nirmala, pik. Kamu berhak mendapatkan nama yang terbaik” Kata Ibu Ugi.

“Terserah ibu dan kakek saja. Aku minta ijin ke kebun belakang, lagi ya bu, kek.” Lalu tanpa menunggu jawaban, Upik segera berjalan seperti seorang penari ballet. Gerakan tubuhnya tidak bisa menyembunyikan kata hatinya. Upik menghilang di balik pintu menuju halaman belakang.

“Kedengarannya sangat bagus, tapi terus terang, kakek tidak tahu arti nama itu, nak?” Tanya kakek tampak terharu sekaligus senang mengetahaui cucu kesayangannya kini punya nama resmi.

“Okid, artinya anggrek, Kek. Dari bahasa Inggris Orchid. Kalau Princesa artinya putri mahkota, juga dari bahasa Inggris, Princess. Kata ini juga sebenarnya dari bahasa Spanyol yang artinya sama, kek.”

“Wahh! Nama yang indah dan penuh makna, Terima kasih, nak.” Jawab sang kakek langsung setuju, tetapi sebentar kemudian ia menerawang dengan mata berkaca-kaca. Mungkin teringat anak kandungnya yang meninggal sebelum sempat mengetahui nama anaknya. Padahal anak ini mewarisi seluruh kecantikan alami ibunya sebagai kembang desa, bahkan lebih dari itu.

“Bagaimana, kek. Tidak keberatan , kan?” Tanya ibu Ugi, khawatir kakek Okid ada pertimbangan lain.

“Sama sekali tidak, nak. Memang dia seperti putri mahkota bagi kakek. Ia juga sangat mencintai anggrek, melebihi anak perempuan manapun yang pernah kakek lihat sampai seumur kakek sekarang. Meskipun ibunya juga sangat suka memelihara anggrek, tapi tidak seperti dia. Sampai-sampai kakek harus sering mengawasinya agar tidak terlalu jauh ke tengah hutan mencari anggrek. Terima kasih sekali lagi, nak”

—ooo—

Ibu Ugi lalu mengambil kertas dan menuliskan nama itu ditambah keterangan tanggal, bulan dan tahun kelahiran Okid. Ibu Ugi juga tak lupa menuliskan nama lengkap ibu dan ayah Okid. Ia menulis hal yang sama di kertas lain lalu memasukkan ke dompetnya. Ia menuliskan tambahan informasi di kertas yang satu. Rupanya alamat rumahnya di Pontiak.

“Ini, kek, tolong simpan di tempat yang baik.” Ujar ibu Ugi sambil memberikan lembar kertas yang terakhir di tulisnya. Sang kakek menerima kertas itu dengan tangan agak gemetar dan wajah dipenuhi keraguan.

“Tapi kakek tidak bisa membaca, nak. Untuk apa kakek simpan?”

“Tapi cucu kakek kan sudah bisa membaca.. Coba saja nanti suruh dia membacanya.” Sambil berkata begitu, Ibu Ugi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan rumah tua itu mencari Okid.

“Upik!! Eh… Okid!! Ibu guru mencari kamu!” Teriak kakek yang masih tampak kikuk menyebut nama baru cucunya.“Iya, kek.” Terdengar jawaban Upik jauh di belakang, tapi sesaat kemudian Upik sudah muncul seperti baru mencuci tangan.

”Kamu mau tahu nama lengkap kamu sekarang, cu’?”

”Mau, kek.” Jawab Upik pendek tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. Ia mendekapkan kedua tangannya di depan bibirnya sambil tumitnya naik turun tak bisa lagi diajak diam.

”Okid Princesa. Artinya kata ibu Ugi, Putri Anggrek.”

”Okid Princesa. Wow! Upik suka sekali, kek, bu! Terimakasih, kek. Terimakasih, bu.” Okid lalu berjingkat penuh keriangan ke belakang dinding seperti ingin mengambil sesuatu yang tadi disimpannya di sana.

Ibu Ugi mengangguk bangga sekaligus terharu melihat betapa cepatnya anak-anak menerima pengajaran budi pekerti. Pepatah yang mengatakan bahwa anak seperti kertas putih yang kosong, memang sangat benar. Mengucapkan terimakasih, minta maaf, minta tolong, tidak memaki adalah sebahagian kecil pelajaran budi pekerti yang telah diajarkan Sugiharti kepada anak-anak di desa ini, selain tentunya pelajaran membaca, menulis dan berhitung.

”Ibu Ugi, tolong diterima ya, bu. Hanya ini yang bisa Upik, eh Okid berikan sebagai ucapan terima kasih atas segala kebaikan ibu.”

“Wow!! Okid!!. Ini kan anggrek ratu bidadari yang menggemparkan itu. Simpanlah, Kid. Anggrek ini sangat langka. Pasti harganya sangat mahal kalau nanti kamu jual ke Pak Wacik. Lagipula Ibu sudah memesan beberapa pohon anggrek dari pak Wacik.”

Okid tertunduk sedih. Ia merasakan penolakan, meski bukan karena alasan pemberiaannya tidak disukai atau kurang berharga. Tak terbendung, butiran bening jatuh dari sudut matanya yang berbulu lentik dan indah. Keranjang rajutan kulit bambu yang ada di tangannya hampir terlepas.

Melihat keguncangan di wajah ”murid” kesayangannya itu, ibu Ugi tak bisa menahan haru. Ditangkapnya anggrek bidadari itu sebelum terlepas dari tangan Okid. Bersamaan ia merengkuh Okid, perempuan kecil yang telah menemaninya mengisi hari-hari yang indah di desa terpencil ini.

Air mata kasih sayang lalu tak terbendung dari mata ibu Ugi yang kemudian tumpah membasahi rambut Okid. Demikian pula perempuan kecil ini yang sebenarnya sangat jarang menangis, tapi melihat gurunya menangis, iapun ikut sesenggukan.

Sang kakek yang sudah lama tidak melihat perempuan dewasa menangis sepeninggal ibu Okid, juga tak bisa membendung perasaan haru yang melanda hatinya. Mata tuanya tampak berkaca-kaca.

“Okid, ibu terima anggrek ini, tapi ibu cuma mau memeliharanya buat Okid di kota. Biar ibu selalu ingat Okid kalau menyiram anggrek ini, ya?” Okid mengangguk disertai senyum penuh kebahagiaan.

“Tapi, ibu minta satu hadiah lagi. Ini hadiah buat ibu dan kakek.” Sambil berkata begitu, ibu Ugi meminta lipatan kertas di genggaman kakek Okid.

“Tolong dibaca keras-keras ya, biar kakek bisa dengar.” Pinta ibu Ugi.

Okid lalu membuka lipatan kertas itu. Dengan mulut kecil dan suaranya yang sebening embun pagi, ia menyebut nama lengkapnya, nama orangtuanya dan alamat ibu Ugi. Kakek Okid memandang cucunya dengan mata tidak berkedip. Ia tidak percaya kalau cucunya benar-benar sudah bisa membaca. Selama ini kalau ia melihat Okid membuka-buka majalah, ia menyangka Okid hanya melihat-lihat gambarnya. Tapi kini, di depan matanya, ia melihat mutiara hatinya membaca dengan sangat lancar.

Ibu Okid bertepuk tangan memuji kehebatan Okid membaca, tapi sebenarnya jauh di lubuk hatinya tersembunyi perasaan galau. Ia sulit membayangkan bagaimana masa depan anak secerdas ini bila dengan belajar enam bulan saja, ia menyerap hampir semua hal yang diajarkan padanya.

“Nah, yang terakhir itu adalah alamat rumah ibu di Pontiak. Kalau nanti kamu atau kakek ke Pontiak, pintu rumah ibu selalu terbuka untuk kalian, juga terbuka untuk teman-temanmu yang lain dari desa ini. Tunjukkan alamat ini kepada orang-orang di kota, pasti mereka akan membantumu menemukan alamat ibu. Simpan ini baik-baik. Kalau memungkinkan, ibu akan mengusahakan mengurus akte kelahiranmu di kota, siapa tahu suatu hari nanti kamu butuh, ya sayang.”

Ibu Okid tadi sebenarnya sangat ingin meminta Okid ikut bersamanya ke kota untuk ia sekolahkan, tetapi melihat keadaan kakeknya dan mendengar cerita masa lalu Okid, ibu Ugi menarik kesimpulan sendiri kalau kakeknya tidak akan mungkin mengabulkan permintaannya, meskipun ia tahu itu untuk tujuan baik dan demi masa depan cucunya. Setidaknya untuk saat ini, mudah-mudahan suatu hari nanti pikirannya akan berubah.

———— Bersambung ———–

Episode berikutnya: Sebuah Pertemuan

Kurang lebih dua tahun sejak terakhir kali ibu Ugi meninggalkan desa Dulang, Upik yang telah mendapatkan nama baru dari ibu Ugi, yakni Okid Princesa, tidak bisa melupakan sosok guru pertama dalam hidupnya itu. Saat rindu itu datang menyerang, Okid hanya bisa buru-buru menggoyangkan kepalanya untuk menjauhkan wajah ibu Ugi. Okid berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak ada gunanya mengingat ibu Ugi, karena mungkin ibu Ugi sudah tidak mengingatnya lagi. Dan suatu hari, seperti biasa, Okid yang sejak pagi berangkat ke hutan untuk mencari anggrek liar, tidak menyangka kalau hari itu akan mengalami perisitiwa yang luar biasa. Peristiwa apakah gerangan? tunggu episode OKID PRINCESA berikutnya...  Stay tuned.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun