Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Putri Anggrek (Episode 3 Bagian 1 Novel: Okid Princesa)

21 Februari 2014   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 3-1

—————---———— Ringkasan Episode 2Bertemu Wak Wacik ——————---——-

Wak Wacik adalah sosok yang selalu dirindukan kedatangannya oleh anak-anak seusia Okid. Wacik adalah nama lelaki tua itu, anak-anak memanggilnya wak Wacik, panggilan penghormatan kepada orang tua. Wak Wacik boleh dikata penduduk kota, tapi dua kali seminggu ia datang ke desa Okid membawa jualan kebutuhan sehari-hari, bukan saja makanan yang digemari anak-anak tapi termasuk pakaian, sendal, peralatan dapur, ember, baskom atau apa saja yang dipesan ibu-ibu di desa itu.

————————————————————————————————————---------

Untuk sampai ke desa Dulang, dibutuhkan waktu sehari penuh dari Sanggalang, kota kecil yang terdekat dari desa itu. Kota Sanggalang dapat dicapai dari Pontiak, kota terbesar di Borneo Barat dengan kendaraan umum selama kurang lebih enam jam. Jangan dibayangkan jalanan yang mulus seperti di kota-kota besar, karena setengah dari perjalanan itu harus melewati jalan pengerasan yang sebenarnya hasil kerja keras puluhan tahun menimbun rawa gambut.

Kota Sanggalang adalah kota yang berbatasan dengan negara bagian Kuchai, Malinosia dan jangan tanyakan di mana desa Dulang kalau baru berada di Sanggalang, karena boleh jadi penduduk setempat pun tidak mengetahuinya. Dari Sanggalang masih harus naik kendaraan umum ke Kecamatan Biduk, salah satu kecamatan yang dilewati saat menuju ke Mekong, kecamatan yang berbatasan dengan kampung Ubaid yang sudah masuk ke wilayah Malinosia.

Dari Kecamatan Biduk perjalanan hanya bisa dilanjutkan ke desa Mian dengan kendaraan roda dua selama empat jam. Dari desa Mian tidak ada lagi kendaraan yang bisa mengantar ke desa Dulang kecuali ada sampan penduduk yang kebetulan mau ke desa itu karena suatu keperluan. Itupun tidak bisa dipastikankapan berangkatnya.

Kalau lagi beruntung, bisa menumpang sampan wak Wacik yang rutin ke desa Dulang. Maksudnya beruntung karena sampan wak Wacik meskipun ukurannya lumayan besar, tapi jualan wak Wacik memenuhi semua ruang di sampannya sampai-sampai ia sendiri sering hanya kelihatan tangannya untuk mendayung. Sampan harus menyusuri percabangan sungai Sekam selama setengah hari untuk sampai ke desa Dulang.

Penduduk desa Dulang sebenarnya adalah keturunan kesekian dari penduduk asli yang dulu konon hidup secara berpindah-pindah. Mungkin suatu hari ada beberapa keluarga besar yang sudah lelah bertualang, apalagi harus membawa semua ternaknya, termasuk ayam, itik, kambing dan sebagainya. Makanya desa itu sebenarnya terkurung di dalam hutan. Di sekitar desa itulah yang disebut pinggir hutan, tapi sebenarnya masih bagian dari tengah hutan.

Begitulah perjalanan yang harus ditempuh oleh Sugiharti, seorang mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di Pontiak yang melaksanakan tugas wajib dari sekolah tinggi tempatnya belajar, yakni pengabdian kepada masyarakat. Ia sebenarnya ditempatkan di Kecamatan Biduk. Tapi Sugiharti meminta kepada penanggungjawab kegiatan di kampunya agar dibolehkan mengabdi di desa Dulang. Maka atas seijin penanggung jawab kegiatan dari kampusnya, Sugiharti boleh ke desa Dulang atas upaya dan risiko sendiri.

Sebenarnyakeinginan Sugiharti ke desa Dulang lebih banyak didorong oleh cerita tentang keragaman anggrek hutan yang biasa ia jumpai dijual di pasar. Sebagai mahasiswa fakultas pertanian, apalagi ia mengambil jurusan hortikultura, membuat alasan Sugiharti semakin kuat. Itulah alasan mengapa Sugiharti mau menempuh perjalanan panjang ke desa Dulang yang ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.

Sebagai mahasiswi pertanian tingkat akhir, Sugiharti juga ingin sekaligus mencari kemungkinan mendapatkan obyek penelitian untuk tesisnya nanti.

Minggu pertama di desa itu dihabiskan Sugiharti bersama wak Wacik. Sugiharti senang bisa mencatat nama-nama anggrek yang diingat pernah dibeli pak Wacik dari penduduk desa. Wak Wacik bahkan bisa menjelaskan anggrek jenis mana yang sudah jarang bahkan tidak lagi pernah ditemukan oleh anak-anak atau pencari anggrek hutan lainnya. Makanya Sugiharti terinspirasi untuk meneliti kemungkinan kultur jaringan dalam mengembangbiakkan anggrek langka, seperti yang pernah disarankan oleh salah seorang dosennya ketika ia baru masuk ke jurusan hortikultura.

Sebenarnya minat Sugiharti untuk meneliti anggrek sudah sempat kendor. Itu karena ia tidak pernah bertemu lagi dengan dosen yang digelari oleh rekan-rekan kampusnya sebagai pak filsuf anggrek, dosen pertanian yang sering diledek rekan-rekannya sebagai dosen salah jurusan. Tapi Sugiharti bagaimanapun tetap mengenang dosen unik itu yang mengajarinya tentang makna pengabdian lebih dari sekedar tugas atau kewajiban. Terakhir kata rekan-rekannya, ia melanjutkan program doktor di salah satu Universitas di Eropa atas biaya sendiri. Dasar orang unik, hanya itu komentar rekan-rekannya yang masih setia menunggu beasiswa, meski hanya untuk mengambil program magister mereka di dalam negeri.

----ooo----

Kini Sugiharti sudah berada di desa yang sekali waktu pernah disebut oleh dosennya itu sebagai episentrum keanekaragaman anggrek dunia. Tapi ternyata yang ditemuinya hanya orang tua pengumpul anggrek dan anak-anak perempuan yang sebenarnya bukan bekerja mencari anggrek di hutan, tapi lebih sekedar bermain mengisi masa-masa keceriaan mereka yang kurang beruntung karena ketiadaan sekolah, tempat dimana biasanya anak-anak bisa bermain, belajar sambil bersosialisasi.

Upik, hanya salah satu dari sekian banyak bocah wanita yang dikenal Sugiharti dari pak Wacik. Tapi dari perkenalan dirinya sebagai mahasiswa dan Upik sebagai anak pencari anggrek hutan, tumbuh rasa saling mengagumi yang tidak akan ditemukannya di kampus. Diam-diam Sugiharti mengagumi Upik sebagai anak alam yang ajaib. Dialah yang pertama kali mendaulat dirinya di suatu hari Minggu untuk menjadi ”guru” bagi delapan belas orang anak seusianya di sebuah bangunan kosong.

Upik sendiri sejak mendaulat Sugiharti sebagai guru, menunjukkan komitmennya yang tinggi dengan lebih banyak menghabiskan waktu belajar daripada mencari anggrek di hutan. Tanpa diatur oleh Sugiharti, Upik seperti memposisikan diri sebagai asistennya. Upik sangat pandai memanfaatkan waktu kosong Sigiharti bila tidak sedang bersama pak Wacik atau melakukan tugas sosial lainnya.

Makanya Sugiharti yang sejak lama penasaran dengan nama Upik yang diketahuinya sebenarnya bukan nama, melainkan hanya panggilan untuk anak perempuan, sangat ingin tahu ada apa dengan anak yang berparas rupawan itu hingga di usianya yang menjelang sepuluh tahun, belum punya nama resmi.

----ooo----

Upik menemukan anggrek ratu bidadari seminggu sebelum masa pengabdian Sugiharti selesai. Kejadian itu semakin meyakinkan Sugiharti kalau anak tersebut memiliki keunikan dibanding anak-anak seusianya. Sugiharti juga melihat kedewasaan anak itu jauh di atas usianya. Ia selalu menjadi penengah bila ada temannya yang berselisih. Ia sendiri hampir-hampir tidak pernah menunjukkan kemarahan atau kejengkelan kepada temannya, meskipun ia juga sering menjadi sasaran ejekan sebagaimana lazimnya anak-anak, terutama dari dua orang anak, Sita dan Sani yang biasanya seperti kompak memprovokasi Upik untuk marah.

Sekitar lima bulan dari masa penugasannya yang enam bulan, Sugiharti bersama anak-anak itu. Ia melihat kalau bintang memiliki sinar sendiri, memang tidak bisa selamanya disembunyikan oleh awan. Kemajuan Upik dalam menyerap pelajaran membaca, berhitung, menulis dan tentu saja budi pekerti mengundang rasa segan teman-temannya. Bahkan Sugiharti sering merasa geli melihat anak seusia Upik bisa mengajar teman-temannya yang banyak diantaranya lebih tua dari usianya.

Bagian yang paling tidak bisa dilupakan Sugiharti adalah ketika melihat Upik mencubit ”muridnya”, tapi muridnya tidak menangis, malah tertawa kegelian sambil kembali berusaha membetulkan kesalahan yang membuatnya dicubit oleh ”ibu guru” Upik.

Upik sudah yatim dalam usia yang masih sangat muda. Mungkin karena usianya barus satu setengah tahun saat itu, Upik belum menyimpan memori yang cukup untuk mengenang sosok ibu kandungnya yang meninggal karena perdarahan dan infeksi yang dialaminya setelah melahirkan anak keduanya, adik Upik.

Rasta Prima, demikian nama adik Upik, seorang bayi laki-laki yang saat lahir, langsung diberi nama oleh ayahnya. Berbeda dengan Upik yang hingga ibunya meninggal masih dipanggil Upik. Tapi beruntung Rasta langsung diberi nama oleh ayahnya karena beberapa waktu setelah ibu Upik meninggal, Rasta menyusul.

Mungkin karena musibah yang beruntun itulah yang membuat Ayah Upik akhirnya pergi meninggalkan desa Dulang, termasuk meninggalkan Upik yang belum sempat diberinya nama resmi.

Ditinggalkan oleh istri yang sangat dicintai yang butuh perjuangan berat untuk mempersuntingnya, membuat ayah Upik dilanda kemurungan yang sepertinya tak ada yang bisa menghiburnya kecuali istrinya hidup kembali. Meskipun istrinya telah memberinya seorang putra yang sangat didambakannya sejak kehamilan yang pertama dan ternyata yang lahir adalah Upik, tapi kemurungan itu tak juga terobati.

Sampai sepuluh hari sejak kepergian istrinya, ayah Upik tidak pernah bisa diajak berbicara. Menyahutpun hampir tidak pernah kecuali bila yang menyapanya adalah mertuanya, Kakek Upik. Kondisi lingkungan yang murung, ditambah ketiadaan susu ibu, membuat adik Upik tak bernafsu meminum tajin yang dipaksakan masuk ke mulut mungilnya.

Tujuh belas hari setelah kepergian ibunya, adik Upik, Rasta Prima menyusul. Sang ayah baru tersadar atas ketidakpeduliannya setelah itu, tapi sudah terlambat. Kemurungan ditinggal istri yang dicintai, anak laki-laki yang didambakan, dan penyesalan atas ketidakpeduliannya, membuat ayah Upik seperti kehilangan arah hidup.

Dua puluh satu hari setelah kepergian ibu Upik, sang ayah menghilang tanpa jejak. Semua penduduk lelaki di desa Dulang sudah dikerahkan untuk mencarinya, hingga kemudian semua orang menyerah dan pasrah. Upik tidak banyak tahu tragedi yang menimpa keluarganya pada usia satu setengah tahun itu. Bahkan sampai saat ini karena kakeknya sepertinya memilih tidak menceritakannya.

Upik sendiri tidak banyak bertanya, bahkan tidak merasakan sesuatu yang kurang meski teman-temannya kebanyakan punya orangtua yang lengkap. Bagi Upik, selama masih ada kakek yang suka mengusap-usap punggungnya sebelum tidur dan membangunkannya saat ayam berkokok, hidupnya sudah dipenuhi dengan kebahagiaan. Apalagi lima bulan terakhir ini ada ibu Sugiharti yang telah dengan tekun mengajarinya membaca, menulis, berhitung dan terutama budi pekerti.

---ooo---

Tapi kabar rencana kepergian ibu Ugi -- demikian Upik menyebut nama Sugiharti -- dirasakan Upik sebagai sebuah peristiwa besar. Mungkin karena usianya yang memang memungkinkan semua indra perasa pada dirinya mulai berfungsi sempurna, Upik merasakan peristiwa ini sebagai hal yang besar dalam hidupnya. Makanya selain tetap berdoa agar ibu Ugi membatalkan rencana kepergiannya, sisi lain hati Upik juga ingin memberikan sesuatu yang berharga untuk dikenang bila ibu Ugi sudah jauh. Dua perasaan yang berusaha saling mendominasi di dalam satu hati seorang bocah perempuan.

Anggrek ratu bidadari yang menggemparkan orang-orang di desanya, tidak bisa lagi menghibur hati Upik. Untuk mengusir perasaannya yang tidak menentu. Bahkan pak Wacik yang datang untuk membeli anggreknya dengan harga yang cukup menggiurkan, juga tidak memancing seleranya. Upik banyak menenggelamkan diri pada bacaan majalah anak-anak bekas yang banyak diberikan ibu Ugi. Sebenarnya ada juga majalah remaja, tapi ibu Ugi sengaja membungkus dan mengikatnya karena katanya belum boleh dibaca anak seusia Upik, dan Upik menaati larangan itu.

Majalah bekas itu adalah satu dunia lain bagi Upik, dimana ia bisa membaca berbagai cerita dongeng sambil mengembangkan imajinasinya sesukanya, termasuk bermimpi bertemu Nirmala, Bona sang gajah kecil berbelalai panjang dan lain-lain. Bahkan ia berimajinasi bisa ikut ibu Ugi ke kota lalu bersekolah dan saat menjelang malam ia sudah tiba di desanya kembali menemani kakeknya.

Kini ia mulai bisa memahami mengapa imajinasi tentang bidadari, peri dan semacamnya sangat dipercaya oleh teman-temannya. Mungkin mereka mendengar cerita itu dari orangtua mereka yang menceritakannya sebagai dongeng pengantar tidur. Sementara Upik sendiri tidak pernah mendengar cerita seperti itu dikisahkan oleh kakeknya. Dongeng pengantar tidur Upik adalah usapan kasih sayang kakek di punggungnya sambil ia sendiri berdoa mudah-mudahan besok bisa menemukan anggrek hutan lebih banyak.

———— Bersambung ———–

Episode berikutnya: Sang Putri Anggrek (Episode 3 Bagian 2)

Akhirnya hari itu tiba juga. Ibu Sugiharti harus meninggalkan desa Dulang. Alasan kesedihan Upik akhirnya menjadi kenyataan. Namun satu hal yang dilakukan ibu Sugiharti sebelum meninggalkan Upik dan kakeknya, adalah sesuatu yang tidak pernah terbayangkan, meskipun oleh kakek Okid sendiri. Apakah yang dilakukan ibu Ugi gerangan? Ikuti terus ceritanya.… Stay tuned.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun