Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Pertemuan (Episode 4 Novel: Okid Princesa)

23 Februari 2014   10:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 4

-—------——Ringkasan Episode 3-2 Okid Princesa, Sang Anggrek Ratu (Bag#2) -------------

Pada Episode 3-2 dikisahkan bahwa pada akhirnya ibu Sugiharti meninggalkan desa tempat dia mengabdi sekitar enam bulan. Tentu saja Upik sangat sedih, tetapi ia juga sadar kalau ibu Ugi tidak mungkin tinggal di desa terpencil itu seperti dirinya. Namun sebelum Ugi pergi, ia menyempatkan menemui kakek Upik untuk berembuk mengusulkan nama buat Upik. Orchid Princesa, itu usulan nama untuk Upik. Orchid artinya anggrek, sementara Princesa berasal dari bahasa Spanyol yang artinya Princess dalam bahasa Inggris. Orchid dalam bahasa Indonesia biasa dibaca Okid, jadi ibu Sugiharti menyarankan Orchid Princesa dipanggil Okid. Baik kakek maupun Upik sangat senang mendengar usulan dan penjelasan nama dari ibu Sugiharti. Sejak hari itu Upik resmi berganti nama menjadi Okid.

———————————————————oOo——————————————————

Okid menarik napas berat, sambil menghapus air bening yang mengalir di pipinya yang kini semakin montok. Begitu cepatnya waktu berlalu. Tak terasa dua tahun sudah lewat ketika terakhir ia bersama kakeknya melepas ibu Ugi yang meninggalkan desa dengan sampan menuju desa Mian, di mana selanjutnya ia akan mencari tumpangan darat ke ibukota kecamatan. Mungkin ibu Ugi sudah melupakannya. Mungkin kini ia sudah punya anak dan tidak lagi sempat mengurus anggreknya. Ah, setiap orang punya kehidupan masing-masing, batin Okid.

Okid kembali menarik napas, kali ini bukan lagi karenaterharu mengenang masa lalunya, tapi untuk menghapus ingatan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Mentari yang kini sudah hampir tepat menyinari semua puncak-puncak pepohonan, membuat suasana hutan semakin ramai. Anak monyet kecil yang seperti mengintip Okid malu-malu dari balik ketiak ibunya, membuat Okid menyunggingkan senyum. Kesedihan segera berlalu dari wajah manis Okid, seperti kabut yang juga perlahan beranjak karena datangnya sang mentari.

Okid merasakan aliran sungai mulai agak deras, bukan karena hujan di hulu tapi karena sedotan dari arus sungai besar di depan, di mana sungai kecil ini segera akan menyatukan diri. Ini isyarat untuk segera balik haluan. Apalagi Okid sudah melihat tanda-tanda yang sangat pasti, pohon besar yang berdiri tegar seperti penjaga gerbang, menjadi tanda, setelahnya Okid harus memutar haluan sampannya untuk balik ke desanya.

Tapi kali ini Okid ada rencana lain, ia bermaksud merapat ke semak yang masih seperti pengawal setia mengawal pohon besar di belakangnya, tempat di mana Okid menemukan anggrek bidadari beberapa tahun lalu.Sebenarnya Okid sudah beberapa kali singgah ke tempat ini sebelumnya, terutama untuk beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makan siangnya. Makanya semak yang pernah sangat tidak bersahabat ketika pertama kali Okid mampir ke tempat ini. Kini sudah seperti sahabat lama bagi Okid. Ia merasa perlu sekali-sekali menyinggahinya sekedar saling menyapa.

Makanya Okid sudah tahu cara yang paling aman untuk sampai ke darat tanpa harus turun ke air. Sebelum sampai ke rimbunan semak itu, ada sebuah pohon api-api yang menjorok ke air, yang memaksa semak yang tumbuh di bawahnya mengalah untuk tidak tumbuh melebihi batangnya yang posisinya datar hampir sejajar permukaan air. Itulah pohon yang mirip leher jerapah yang ketika pertama kali melihatnya, Okid sempat tersenyum geli.

Okid mengikatkan tali sampannya ke batang pohon itu kemudian mengalungkan tali keranjang anggrek ke bahunya, di mana bekal makan siangnya juga ada di situ. Lalu dengan lompatan yang gesit mirip tupai, Okid sudah berada di atas batang pohon itu untuk kemudian meniti ke bawah seperti meniti jembatan bambu yang mengantarnya hingga ke darat.

Okid merapikan bajunya yang kusut sebelum melangkah dengan pasti mengikuti jejak yang sudah pernah dilaluinya menuju ke tempat yang sangat disukainya. Sebuah pohon besar lain yang seperti sengaja menyediakan akarnya yang muncul di atas tanah untuk menjadi bangku. Di situlah Okid biasanya makan siang sambil membuka-buka majalah bekas yang isinya sudah ia baca berulang kali.

---ooo---

Okid bersiap membuka bekalnya setelah selesai membaca majalahnya. Ia mengambil bekalnya dari keranjang lalu meletakkan di sampingnya. Instingnya memberi isyarat kalau ia harus menoleh ke belakang, dan ia melakukannya. Benar saja, di kejauhan ia melihat asap kecil seperti ada orang yang sengaja membakar sesuatu.

Ia lalu teringat bekas jejak kaki manusia yang biasa ia lihat di tepi sungai. ”Jangan-jangan orang yang biasa ke tepi sungai itu yang ada di sana,” batin Okid.

Ia tidak jadi membuka bekalnya. Ia memasukkannya kembali ke dalam keranjang lalu berdiri untuk segera mencari tahu siapa yang ada di sana. Kalaupun salah seorang penduduk desa di sekitar hutan ini, ia pasti mengenalnya.

Ketika tiba di tempat asap itu berasal, Okid melihat tak ada lagi asap. Sepertinya api itu sengaja dimatikan. Mungkin kehadiran Okid tidak diharapkan sehingga orang itu merasa perlu mematikan apinya.

”Jangan-jangan orang jahat,” batin Okid sambil meraba kapak kecil yang ada di pinggangnya. Nyalinya cukup besar. Ia hanya perlu sedikit waspada bila ada serangan dari belakang, jadi ia mencari pohon besar untuk merapatkan dirinya agar tubuhnya tidak mungkin mendapatkan serangan dari belakang.

Ia menunggu cukup lama dengan penuh kewaspadaan. Semua gerakan kecil yang ada di depannya terpantau dengan cermat. Sampai beberapa waktu, sepertinya tidak ada lagi gerakan yang patut diwaspadai.

”Mungkin wak Wacik yang tidak mau ketahuan mencari anggrek. Padahal aku tidak perlu ditakuti, kan setiap orang untuk mencari rejekinya?”

Sambil tetap bersandar ke pohon, Okid mengingat-ingat, apakah tadi malam ada yang melihat bintang jatuh ke hutan ini atau tidak. Sepertinya tidak ada karena biasanya kalau ada, anak-anak yang lugu segera bercerita.

Bintang jatuh oleh anak-anak dianggap sebagai pertanda datangnya bidadari membawa hadiah khusus, apalagi kalau bukan anggrek bidadari. Saat Okid menemukan anggrek bidadari beberapa tahun lalu, memang kebetulan malam sebelumnya ada bintang jatuh. Makanya penduduk desa hari itu sudah bersiap-siap menunggu ada anak pencari anggrek yang kejatuhan berkah, dan ternyata Okid.

”Kalaupun teman-temanku melihat bintang jatuh, tidak mungkin mereka mau ke tempat sejauh ini,” batin Okid lagi

Temannya memang tidak akan datang ke tempat ini karena mereka tidak membawa bekal karena memang harus kembali ke rumah saat makan siang. Mungkin karena teman-temannya masih punya orangtua yang lengkap sehingga makan siang bersama tentu merupakan kesempatan indah yang tidak boleh dilewatkan.

Ia sendiri, kalaupun pulang ke rumah untuk makan siang, paling cuma makan sendiri. Kakeknya makan siang di kebunnya, meski sebenarnya tak jauh dari rumahnya. Makan siang dengan kakek juga merupakan saat-saat indah bagi Okid, tapi tidak perlu setiap hari.

“Jadi kamu mau bertahan di situ sampai malam, buyung?” Sapa suara yang terdengar menggelegar dari balik pohon tepat di mana Okid bersandar. Semangat Okid seperti terbang entah kemana. Tangan kirinya mencengkeram kulit pohon di belakangnya sementara tangan kanannya mengangkat kapak kecilnya dalam posisi siaga tempur.

“Aku bukan buyung, namaku Okid!” Teriak Okid setelah berhasil menyatukan seluruh semangatnya dengan tubuh mungilnya yang tadi sempat agak goyah.

“Oho! Aku kira kamu anak laki. Upik rupanya!” Terdengar suara dibalik pohon itu melembut.

“Namaku Okid Princesa, penduduk kampung Dulang, kamu siapa dan dari desa mana?” Gertak Okid sambil berusaha mereka-reka siapa gerangan orang itu. Dari suara dan logatnya, sepertinya penduduk dari kampung sekitar hutan ini juga.

“Okid Princesa, nama yang cantik. Tapi sepertinya tidak seperti nama kebanyakan anak perempuan dari desa sekitar hutan ini.”

“Ya, memang. Itu nama pemberian guruku. Kamu siapa?” Tanya Okid tegas tapi masih belum bergerak dari posisinya.

“Saya hanya pertapa tua di hutan ini.” Ujar suara itu semakin pelan dan lembut.

Bersamaan dengan selesainya ucapan lelaki yang kedengarannya agak berat itu, Okid menoleh ke kiri karena melihat sekelebatan bayangan putih. Otak cerdas Okid secepat kilat mengingat cerita temannya yang mengaku pernah melihat kuda putih di sekitar tempat ini.

Tapi suara tadi adalah suara manusia, batin Okid. Siapa tahu lelaki yang mengaku sebagai pertapa tua itu punya kuda putih. Keyakinan Okid bahwa tidak mungkin ada kuda putih di sekitar hutan ini sedikit agak goyah.

“Ya, saya hanya pertapa di sini nak!” Okid kembali tersentak mendengar suara itu karena kini, dari sebelah kanannya yang sejak beberapa waktu, luput dari pengawasannya karena matanya sibuk mencari kelebatan putih di sebelah kirinya. Sosok berjubah putih itu kini sudah berdiri tegak di sebelah kanannya. Okid hampir berteriak andaikata tidak segera melihat wajah manusia dibalik jubah itu.

“Kamu juga mencari anggrek, nak?” Sapa pertapa yang di mata Okid belum cukup tua seperti kakeknya untuk disebut pertapa tua.

“Dari mana wak pertapa tahu kalau aku mencari anggrek?” Tanya Okid penasaran. Kali ini kapak kecilnya tidak lagi dalam posisi siaga. Ia menurunkan tangannya tapi belum mengurangi kewaspadaannya.

“Keranjangmu mengatakan itu, nak. Bapak beberapa kali bertemu anak seusiamu yang mencari anggrek, tapi saat bertemu denganku secara kebetulan, mereka langsung lari. Bahkan melihat wajahku pun mereka tidak berani.”

Okid tersenyum dalam hati. Kini ia paham. Mungkin teman-temannya pernah ada yang sekali waktu ke tempat ini, tapi melihat pertapa ini sekilas, merekalalu mengira melihat, peri berbaju putih, buaya putih, atau kuda putih, semata terdorong oleh rasa takut yang berlebihan.

”Tapi wak pertapa punya kuda putih, kan?” Tanya Okid masih penasaran dengan penglihatan di samping kanannya tadi.

”Tidak. Kuda coklatpun bapak tidak punya, kenapa?”

Okid merasa orang tua ini agak berbeda dengan kebanyakan orang tua di desanya yang sepertinya tidak biasa dipanggil wak. Sepertinya orang ini lama tinggal di kota karena selalu menyebut dirinya bapak. Okid akhirnya memutuskan memanggilnya bapak juga.

”Aku cuma penasaran bapak pertapa karena ketika bersandar di pohon tadi aku melihat sekelebatan bayangan putih.”

”Bukankah kamu melihat bapak tadi?”

”Memang bapak dari mana?” ”Bapak tadi dari arah lain karena setelah membakar ubi manis, bapak kira apinya sudah padam. Tapi bapak melihatnya masih berasap, jadi bapak balik lagi ke sini. Saat berjalan di samping pohon, bapak melihat ada orang berdiri, makanya bapak berlindung di balik pohon menunggu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya.”

”Oo, jadi bapak tadi yang berjalan dari arah samping kananku?”

”Iya, nak. Maaf kalau bapak menakutimu.”

”Lalu siapa yang memadamkan api itu?” Tanya Okid ingin memastikan kalau bapak pertapa itu tidak sengaja mematikan api karena mengetahui kehadirannya.

”Bapak malah berpikir kamu yang mematikan, nak.”

”Aku juga berpikir bapak pertapa yang sengaja mematikannya karena tidak mau ketahuan oleh aku.”

”Ya, sudahlah. Api itu berarti mati sendiri. Tadi memang sudah mati setelah bapak siram air, jadi mungkin hanya pembakaran serpihan kayu yang tersisa.”

Merasa bahaya sudah lewat, rasa lapar Okid tiba-tiba datang. Ia baru ingat kalau belum makan siang sama sekali.

“Boleh aku menumpang makan siang di sini bapak pertapa? Aku sudah lapar sejak tadi.” Sambil berkata begitu, Okid menyelipkan kapak kecil ke pinggangnya lalu menurunkan keranjangnya anggreknya ke samping dekat kakinya.

“Boleh, boleh. Ayo silahkan makan siang, bapak baru selesai, itu masih ada bekas kulit ubi bapak dekat kakimu. Tadi aku juga membakar ubi manis.”

Okid membuka bekalnya sambil mengamati lelaki berjubah putih itu. Okid belum pernah bertemu lelaki berparas bersih seperti itu di desanya. Apalagi dengan gigi yang putih berkilau, pasti lelaki ini tidak suka merokok dan makan sirih seperti kebanyakan lelaki di desanya.

“Lalu mengapa bapak pertapa memakai jubah putih seperti itu?” Tanya Okid tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Hanya hari-hari tertentu, nak. Biar terasa lebih bersih untuk menghadapkan wajahku kepada Tuhan. Kalau hari lain bapak berpakaian seperti penduduk yang kamu biasa lihat di desamu.”

“Lalu ilmu apa yang bapak cari dengan bertapa di hutan ini?”

“Pertanyaanmu sangat terpelajar, nak…”

“Okid!”

“Ya, nak Okid. Apakah kamu pernah sekolah di kota?”

“Tidak pernah. Hanya sebentar belajar di desa tapi guruku sudah pergi.”

“Tapi kamu pintar membaca?”

“Ya, tentu saja, ibu Ugi memberiku banyak bacaan.”

“Menulis?”

“Belum begitu baik, aku baru belajar sendiri. Bapak belum menjawab pertanyaanku, buat apa bapak bertapa di tempat ini?”

“Bapak sebenarnya tidak bermaksud bertapa, hanya mau menyendiri sambil belajar ilmu kearifan alam, nak Okid.”

“Kenapa tidak tinggal di desa saja sambil belajar?”

“Aku butuh suasana sepi, nak untuk menyendiri. Nanti kalau kita bisa bertemu lagi, bapak akan ceritakan semua yang kamu ingin ketahui.”

Okid terdiam. Otaknya yang encer mengingatkannya kalau orang ini tidak ingin ditanyai lebih jauh. Okid segera menghabiskan makanannya dan berkemas hendak meninggalkan tempat itu. Okid sudah berdiri, tetapi bapak pertapa itu masih duduk di tempatnya.

Sejenak suasana hening. Hanya terdengar suara deru angin yang memantul di antara pohon-pohon yang sudah berumur ratusan tahun yang tetap tegar menjaga hutan itu. Okid merasakan arah angin sudah berubah, ini pertanda baginya untuk segera pulang.

———— Bersambung ———–

Episode berikutnya: Menerima Amanah

Waktu terus berlalu, Okid sudah hampir melupakan pertemuannya dengan Sang Pertapa ketika suatu hari ia bertemua lagi saat sedang mencari anggrek. Okid berpikir untuk segera pergi karena merasa khawatir berlama-lama dengan orang asing yang baru sekali ditemuinya. Tetapi bujukan Sang Pertapa untuk menunjukkan sesuatu kepadanya membuatnya urung pergi. Sebelum pulang, Sang Kakek Pertapa memberikan amanah yang harus dilaksanakan oleh Okid. Amanah apakah gerangan?  tunggu episode berikutnya…  Stay tuned.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun