OKID PRINCESA Episode 10 Bagian 1
——— Episode Sebelumnya: Meretas Jalan Menuju Impian (EPISODE 9) ———-
Okid sudah tumbuh menjadi gadis cerdas yang rupawan. Kini ia kuliah di jurusan Agronomi salah satu institut pertanian ternama di kota Bogor. Pilihan studinya di jurusan Agronomi sangat menunjang kegemarannya pada pengembangan tanaman anggrek. Ia sangat menikmati masa remaja dan hari-harinya yang dipenuhi aktivitas positif. Apalagi mak Ijah, bekas penjual berperahu yang menggantikan wak Wacik kini ikut bersamanya. Kalau ada hal yang harus ia sesali saat ini, tak lain kelalaiannya menanyakan nama dari sang kakek pertapa, sosok yang banyak berjasa dalam hidupnya. Mungkinkah Okid bisa bertemu kembali dengan sang kakek pertapa di suatu tempat? Bagaimana pula khabar khabar kakek Okid di kampung halaman? Ikuti terus cerita dari Novel OKID PRINCESA di Episode ke-10 Bagian 1 berikut ini.
--------————– oOo ————–--------
Beberapa pegawai berseragam warna coklat khaki, tampak berbaur di antara pengunjung pameran. Sebuah pameran nasional yang rutin dilselenggarakan pemerintah setiap tahun untuk memberikan kesempatan seluruh pelaku produksi pertanian dan kerajinan saling mengukur kemajuan, saling berbagi informasi dan tentu saja saling bertukar pengetahuan.
“Ini anggrek impian, Bu! Aku tidak bermaksud mengatakan kalau anggrek ini bertuah sehingga bisa mewujudkan impian pemiliknya.”
“Tapi mengapa dianjurkan menggantungkan impian di batang anggrek itu, neng?”
Gadis rupawan penjaga stand pameran yang dipanggil neng oleh seorang ibu berseragam coklat itu tersenyum manis penuh pengertian.
“Supaya bisa melihatnya setiap hari, bu. Bukankah kalau kita sering melihatnya kita akan diingatkan untuk berbuat selangkah demi selangkah untuk mewujudkannya?”
Ibu itu mengangguk paham dan tanpa banyak bertanya lagi, ia merogoh beberapa lembar uang berwarna biru dari dompetnya. Ia sudah tidak bisa membendung godaan warna bunga anggrek itu yang dinilainya jauh lebih berharga dibanding beberapa lembar uang yang warnanya mirip dengan warna anggrek itu.
“Ibu tidak butuh bukunya, neng. Ibu hanya mau anggreknya.”
“Ini bonusnya, bu. Isinya selain ada petunjuk cara memelihara anggrek yang baik yang aku tulis sendiri berdasarkan pengalaman, juga ada mutiara hikmah yang ditulis oleh guru saya.”
“Wah ini luar biasa. Okid Princesa. Ini nama neng, ya?”
“Iya, bu. Maaf kedengarannya seperti nama asing, tapi saya Indonesia asli, bu, dari pelosok desa di Borneo.”
“Nama ini indah sekali, seindah wajah pemiliknya. Ibu tahu kok artinya. Okid, anggrek. Princesa, putri. Putri Anggrek. Iya kan?”
“Terimakasih, bu.” Balas Okid sambil membungkuk penuh santun. Ia membantu si ibu yang mau membuka plastik pembungkus buku bonusnya.
“Tolong sedikit tanda tangannya ya, neng Okid. Panggilannya Okid kan?”
“Iya, bu. Terimakasih.” Sambil dengan lincah Okid menuliskan sedikit kata-kata mutiara di halaman dalam buku itu lalu menandatanganinya.
Okid Princesa, gadis desa yang pernah tinggal sekitar enam tahun di rumah ibu Sugiharti di Pontiak untuk menyelesaikan tiga tahun sekolah menengah pertama dan tiga tahun di lanjutan atas, kini sudah memasuki tahun terakhir di sebuah sekolah tinggi pertanian di kota hujan, Bogor.
Kini di usianya yang baru saja memasuki duapuluh lima tahun, ia tampak semakin cantik dan matang. Ketertarikannya di bidang pertanian dan prestasinya selama di sekolah lanjutan atas, mengantarnya masuk ke jurusan agronomi tanpa melalui jalur tes umum, tapi melalui Jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).
Tapi impiannya menjadi pengajar tak pernah pupus dari hatinya. Makanya selain kuliah dan membina banyak petani anggrek bersama beberapa teman semasa kecilnya yang kini banyak mengikuti jejaknya sekolah di pulau Jawa, ia juga aktif mengunjungi sekolah-sokolah dan lembaga sosial untuk menyebarkan motivasi hidup sebagaimana yang dipelajarinya dari buku catatan yang diamanahkan kakek pertapa.
Kakeknya yang memilih tetap di desa, kini semakin tua, tapi semangat hidupnya tak berkurang sedikitpun, bahkan cenderung makin bergairah. Pasalnya, ia setiap hari penuh kesibukan. Selain mengembangbiakkan anggrek yang ditinggalkan Okid, ditambah kiriman dari seseorang yang katanya teman Okid dari desa tetangga. Ia juga banyak mengajar anak-anak seusia Okid cara membudidayakan anggrek sepulang sekolah.
Sampai saat ini, kakek Okid tidak pernah tahu siapa teman Okid yang telah mengiriminya begitu banyak anggrek. Ia hanya tahu dari cerita Sonri, lelaki pekerja keras yang kini menjadi tangan kanannya, bahwa suatu hari ada yang menyewa sampannya untuk mengangkut ratusan pohon anggrek dari ujung sungai yang bermuara di Kapuas ke desa Dulang.
Setelah selesai mengangkut semua anggrek itu, Sonri mendapatkan bayaran sesuai kesepakatan, termasuk uang sewa untuk mengantar orang itu ke desa Mian. Sonri sempat bertanya untuk apa anggrek yang umumnya anggrek unik yang harganya sangat mahal ditumpuk di tepi sungai di desa Dulang. Untung tepian itu agak terlindung sehingga kalaupun anggrek itu dibiarkan seminggu di situ, tak ada yang menemukannya.
Orang itu tidak menjawab, ia hanya minta segera diantar ke desa Mian sebelum fajar menyingsing karena ada suatu keperluan penting. Sesampai di desa Mian barulah Sonri tersadar kalau ia baru saja membawa seseorang yang seharusnya ia cecar dengan berbagai pertanyaan. Itulah yang disesali kakek Okid ketika menanyakan identitas pembawa anggrek itu kepada Sonri.
”Ia cuma bilang agar anggrek itu diantar kepada Uwak, katanya dari teman nak Okid. Sekalian ia menitip salam. Itu disampaikannya ketika turun dari sampan saya di desa Mian.”
”Saya tahu, kemungkinan itu adalah kakek guru Okid, tapi apakah kamu tidak menanyakan namanya atau mengenali wajahnya?”
”Ia tidak banyak bicara, wak. Tapi dari penampilannya, sepertinya penduduk kota yang kaya. Saya bisa mengenali dari jaketnya yang pakai tudung kepala, itu jaket impor yang hanya dipakai oleh direktur perkebunan di Malinosia.”
”Ah sudahlah, lupakan saja Son. Pasti dia orang baik-baik dan murah hati. Cucuku pasti tahu dengan orang macam apa ia seharusnya berteman dekat. Saya hanya penasaran karena aku sudah lama tahu kalau dia tinggal di desa seberang sungai dan banyak berjasa mendidik cucuku. Saya hanya ingin berterimakasih, itu saja Son.”
”Iya, wak. Saya yakin ia orang kaya yang baik. Sampanku saja ia tidak tawar sewanya, padahal kalaupun ia tawar setengahnya, saya masih mau. Eh, malah bayaran sewanya dilebihkan. Saya sepertinya pernah mengingat raut wajah seperti itu, tapi entah dimana. Saya lupa wak. Mungkin salah seorang direktur perkebunan di Malinosia, tapi apa hubungannya ya Wak?”
”Lupakan saja Ron, mari kita kerja lagi menyiapkan anggrek yang kamu mau bawa besok ke kota.”
Okid tersenyum kecil mengingat surat kakeknya yang dituliskan oleh Sonri. Ia sempat membaca kembali surat itu tadi pagi yang tiba-tiba ingin dibacanya saat membuka kotak perhiasannya. Ia memang selalu memperlakukan apa saja dari orang-orang yang dicintainya sama berharganya dengan perhiasan yang dibeli dari tabungannya.
Okid menyeruput jus jambu kesukaannya sambil melihat pengunjung pameran dari restoran yang terdapat di lantai dua, sisi sebelah kiri hall pameran yang sangat luas itu. Dari tempat ini, Okid bisa mengamati pengunjung yang berseliweran di lantai satu tempat pameran berlangsung. Ia segera berdiri karena mengingat Sita dan Sani, dua rekannya yang harus segera ia gantikan menjaga stand pameran agar bisa makan siang.
Sambil berjalan menuruni tangga, terlintas ingatan Okid kepada kakek gurunya. ”Mungkin sekarang kakek guru sudah sibuk dengan kehidupan di kotanya, tapi di kota mana ya? Apakah mungkin di Jakarta ini?”.
Di surat pertama yang diterima Okid dari kakek guru setelah ia pindah sekolah ke kota Pontiak, mengabarkan kalau kakek guru sudah menyerahkan semua anggreknya kepada Sonri, sebelum kembali ke rumahnya di kota. Katanya ia akan menyelesaikan pekerjaannya di kota saja karena semenjak kepergian Okid sekolah di kota Sanggalang, ia sering merasa kesepiaan karena tidak ada lagi ”murid” cerdas yang bisa ia temani berbagi pengetahuan dan pengalaman.
”Kalau kakek guru tinggal di kota ini, mudah-mudahan Tuhan berkenan mempertemukan aku dengan kakek guru di tempat ini?” batin Okid berharap keajaiban. ”Tapi dari surat kakek guru yang mengatakan suatu hari akan mengunjungi aku di Bogor atau di Jakarta, mengisyaratkan kalau dia tidak tinggal di kota ini.” Okid terus membatin.
Sampai detik ini ia tidak tahu bagaimana menghubungi kakek gurunya bila ia rindu, tapi kakek guru bisa mengiriminya surat dimanapun Okid berada. Kalau ada hal yang harus disesali dari perjalanan hidup Okid, mungkin karena ia tidak pernah bersungguh-sungguh mencari tahu siapa nama kakek pertapa yang telah menjadi guru yang banyak berjasa bagi kehidupannya itu. Selain tidak mengetahui namanya, kakek pertapa tidak pernah memberikan alamat, meskipun sekedar pada amplop suratnya. Ia hanya meyakinkan Okid kalau sekali waktu akan mengunjunginya bila kebetulan berada di Bogor atau Jakarta.
”Mungkinkah ia akan datang ke tempat pameran ini? Bukankah kakek guru juga penggemar anggrek yang fanatik?” Okid mengibaskan kepalanya seakan berusaha menghapus harapan yang muluk-muluk itu. Ia harus fokus ke pameran ini untuk memberikan yang terbaik kepada para pencinta anggrek yang mengunjungi stand-nya.
———— Bersambung ———–
——— Episode berikutnya: Di Sebuah Ajang Pameran (EPISODE 10 Bagian 2) ———-
Okid masih sibuk di tempat pameran pertanian yang konon terbesar di negeri ini. Rupanya pengunjung pameran saling memberi tahu mengenai stand pameran anggrek yang menurut mereka tidak seperti stand pameran biasanya. Pengalaman apa saja yang ditemukan Okid dalam pameran itu? Apakah benar sang kakek pertapa atau yang kini lebih sering disebut Okid sebagai kakek guru benar-benar datang ke pameran itu? Penasaran? Ikuti terus kelanjutan cerita Okid Princesa pada Episode ke-10 Bagian ke-2. Jangan sampai ketinggalan… stay tuned.
————– oOo ————–
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H