[caption id="attachment_345719" align="aligncenter" width="618" caption="Si Bolang Bocah Petualang - Seharusnya bisa menjadi medium edukasi mengajarkan generasi muda bersikap santun dan bijak terhadap lingkungan hidup | Sumber: Klinik Fotografi Kompas: www.kft.kompas.com"][/caption]
Makan siang di sebuah rumah makan kecil sambil menghadap sebuah TV Plasma entah 25 atau 30 inci (inch) membuatkau agak relaks melupakan sejenak pekerjaan kantor. Namun tayangan TV pada Kamis siang di awal pekan bulan Oktober itu membuatku agak terganggu
Trans TV menayangkan Petualangan Si Bolang. Sekumpulan anak seusia Sekolah Dasar atau mungkin sudah menginjak Sekolah Menengah Pertama dipimpin seorang bocah bernama Bolang ceritanya berupaya memperkenalkan alam pedesaan dengan segala keunikan dan keasriannya.
Entah sudah lama atau baru tayang, yang jelas saya melihat Bolang dan kawan-kawannya disaksikan anak desa berburu tokek. Setelah ceritanya ke sana kemari mencari tokek yang rada susah karena siang hari, bertemulah mereka dengan seekor tokek berwarna abu-abu berbintik oranye di sebuah pohon.
Dengan umpan menyerupai serangga tertangkaplah si tokek yang lalu dimasukkan ke dalam wadah bambu. Dengan enteng tanpa perasaan mereka memasukkan dan mengeluarkan tokek ke dari bambu yang diberi ventilasi, sangkar yang rupanya sudah dipersiapkan.
Apa alasan mereka menangkap dan “memenjarakan” mahluk liar pemakan serangga itu? Katanya untuk mengusir tikus yang banyak di dapur mereka. Konon suara tokek ampuh mengusir tikus. Gila! Apa tokek bisa bersuara sepanjang malam seperti pita rekaman untuk memastikan tikus tidak nyelonong?
Memasung hewan liar seperti tokek di negeri ini sering dipandang sebagai hal yang lumrah, toh hanya hewan liar. Tapi tidak bagi anak-anak di negara maju seperti Eropa, Australia, Amerika dan lain-lain. Mereka sejak sangat dini diajarkan untuk tidak mengambil kebebasan mahluk lain, meskipun itu hewan liar. Karena meskipun hewan liar, tidak serta merta memberikan hak kepada manusia untuk memasungnya bagi kepentingan sendiri apalagi menjadikannya sekedar mainan.
Sebuah tontonan yang kurang mendidik sebenarnya dari segi moral kehidupan dan pelestarian ekosistem. Berapa ratus ribu anak di desa yang menonton tayang itu dan setelahnya terinspirasi menangkap tokek untuk sekedar mengusir tikus.
Seharusnya tayangan untuk peruntukan semua usia itu justru meluruskan bahwa meskipun suara tokek bisa menakut-nakuti tikus tetapi sebaiknya jangan menangkap tokek untuk mengusir tikus. Tokek pasti memiliki fungsi penting dalam rantaiu ekosistem di alam sehingga bila populasi atau jumlah tokek berkurang pasti akan menimbulkan ketidak-seimbangan ekosistem yang boleh jadi dalam jangka panjang berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia itu sendiri.
Belum habis kekesalan saya dengan “penangkapan” si tokek, tayangan berlanjut dengan penangkapan kepiting air tawar untuk diumpankan kepada itik peliharaan. Bahkan diawali dengan pernyataan yang menyesatkan bahwa kalaupun kepiting air tawar itu habis karena ditangkap, tidak apa-apa karena kepiting itu dianggap hama oleh petani. What?
Begitu mudahnya mendakwa suatu mahluk hidup sebagai hama tanpa dilatari kajian ilmiah. Kalaupun memang hama, tidak seyogyanya ditayangkan sejumlah anak menangkapi kepiting di sungai karena semata tuduhan kalau kepiting itu adalah hama.
Pertunjukan cara penyelesaian masalah seperti itu bisa mendidik anak-anak menjadi tak welas asih terhadap mahluk lainnya. Bahwa nyawa mahluk lain bisa dihilangkan tanpa perlu merasa bersalah semata karena tidak suka atau tuduhan yang tak berdasar. Jangan-jangan kebiasaan menganiaya nenek atau kakek tua di kampung-kampung atas tuduhan dukun santet berangkat dari kebiasaan mengenyahkan mahluk lain yang tidak disukai.
Kembali lagi, meskipun suatu hewan atau tumbuhan tidak bermanfaat bagi manusia secara langsung menurut pengamatan kasat mata, jangan biasakan anak-anak kita membunuhnya atau mengenyahkannya karena boleh jadi keberadaan dari hewan atau tumbuhan itu adalah bagian penting dari rantai ekosistem yang belum kita ketahui.Kesadaran ini harus dibangun sejak dini dan terus menerus, bukannya justru sebaliknya.
Meski terkesan “brutal” tayangan itu belum seberapa dibanding tayangan terakhirnya. Ditayangkan serombongan anak-anak dengan ceria mengobok-obok sungai yang dangkal sambil mengucek-ucek daun dadap. Sejurus kemudian anak-anak itu sambil tertawa riang menangkapi ikan-ikan kecil yang teler.
Terkesan dari tayangannya bahwa itu perbuatan baik padahal secara moral sangat tidak mendidik. Pembaca narasi yang kedengarannya berusaha bersuara anak-anak agar terkesan bahwa itu tayangan pendidikan anak mengatakan itu cara menangkap ikan yang baik karena selain mudah, juga tidak perlu mengeluarkan tenaga yang banyak. “Oh my God...”
Itu jelas-jelas perbuatan salah. Mengintroduksi racun ke dalam perairan, apapun bentuk dan motivasinya adalah perbuatan merusak lingkungan. Sadarkah si pembuat program tayangan itu berapa banyak ikan dan organisme kecil lainnya ikut mati karena racun daun dadap itu? Bukankah perbuatan mencari keuntungan sendiri dengan mudah meskipun merusakan sistem di sekitarnya adalah perbuatan korup?
Kalau kecil-kecil saja anak kita diajarkan mendapatkan sesuatu dengan cara mudah meskipun pada hakekatnya merusak, tidakkah berarti dengan sengaja kita menanamkan bibit mindset egois sejak dini kepada anak-anak? Kelihatan sepele tetapi kalau model tayangan seperti itu berulang, pada akhirnya akan terterima sebagai hal yang wajar hingga mereka dewasa dan tak mempertanyakannya lagi.
Lihatlah di sekitar kita betapa burung gereja sekalipun tak lagi berani hinggap berlama-lama dipohon karena takut diketapel atau mungkin jadi sasaran peluru timah senapan burung. Untuk apa burung kecil itu dianiaya? Untuk kepuasan yang tak jelas ujung pangkalnya. Dan itu terterima sebagai hal yang wajar. Maka jangan kaget bila lampu jalan, taman dan fasilitas publik lainnya bisa dirusak massa yang berdemo. Bukan apa-apa, sekedar pemuas kemarahan yang tak jelas ujung pangkalnya.
TV seharusnya adalah media edutainment dimana unsur pendidikan (education) harus selalu bisa dipadu-padankan dengan kepentingan hiburan (entertainment). Menjadi penduduk planet bumi yang lebih bertanggungjawab termasuk di dalamnya bijak terhadap lingkungan hidup sekitar dan mengajarkannya dengan contoh kepada generasi muda bangsa ini sejak usia dini. Namaste - [follow me at: @ben_369]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H