[caption id="attachment_347899" align="aligncenter" width="620" caption="Keempat figur inilah yang anda akan temui di sebuah Warung Masakan Padang "][/caption]
Sejatinya saya gak terlalu paham arti kata tabula rasa meski sekali dua pernah membaca atau mendengarnya. Tergoda dengan judulnya sepulang dari luar kota, ada niat menontonnya, tak saya nyana ada tawaran nonton bareng Kompasiana di Studio XXI Pondok Indah Mal I. Jadilah acara nonton kali ini makin seru. Untuk yang belum nonton, mungkin catatan yang terselip dibalik jaket saya tentang film ini ada gunanya untuk dibaca.
Film dibuka dengan latar alam Papua yang terbingkai indah bak lukisan. Gunung yang hijau dan perairan yang jernih laksana cermin yang memantulkan gambar alam dengan sempurna. Kesan Papua sebagai lingkungan dan hunian yang asri laksana pulau-pulau impian di samudra Pasifik sepertinya ingin dtonjolkan oleh penggarap film ini.
Di salah satu kabupaten di Papua, tepatnya Serui itulah seorang remaja bernama Hans (Jimmy Kobogau) lahir dan melewati masa kanak-kanaknya hingga remaja. Belakangan setelah film berjalan lebih dari setengah baru terkuak kalau Hans ternyata hidup di sebuah panti asuhan.
Kehidupan Hans sebagai anak panti kurang kuat dikesankan di awal. Mungkin sutradara sibuk mengarahkan cerita untuk memberikan kesan kuat bahwa Hans adalah remaja Papua yan mahir bermain bola dan bisa disebut sebagai bintang lapangan di daerahnya. Pelibatan 2000 figuran di bumi mutiara hitam Nusantara itu tentu saja bukan pekerjaan mudah, dan pelibatan figuran ini patut diacungi jempol.
Karena kecemerlangan bakatnya di lapangan hijau itulah Hans dilirik seorang pemilik klub yang mengajaknya ke Jakarta. Dan seperti biasa, bisa ditebak, adegan perpisahan Hans dengan ibu asuh dan adik-adik se-pantinya dihiasi dengan wejangan dan kata-kata saling menyemangati dan mengingatkan satu sama lain. Adegan perpisahan ini menutup scene kisah Hans di Papua.
Ketika scene kehidupan Hans yang, tentu saja, sudah di sebuah kota metropolitan di pulau Jawa terpapar di layar, Hans sudah tampak berjalan tertatih-tatih sambil menyeret kakinya di sepanjang rel kereta api. Tentu saja sebagai pentonton penyuka bola, berharap melihat Hans kembali merumput dengan menyabet segudang prestasi di tempat tujuannya. Sang sutradara, Adriyanto Dewo, mungkin tidak mau terjebak membawa film ini menjadi film motivasi perantauan untuk anak daerah.
Tapi rasanya terlalu cepat pergantian suasanya dari Hans yang cemerlang dan memiliki kehidupan yang harmonis di desanya tiba-tiba menjadi gelandangan. Di Jakarta kah? Atau dimana? Tidak ada landmark yang bisa mewakili setting tempatnya. Penonton dibiarkan menduga-duga dan menarik kesimpulan sendiri setelah melihat nomor polisi kendaraan yang berseliweran sepanjang tayangan film. Di Bogor rupanya.
Kembali ke soal Hans. “Apakah dia dirampok? Dianiaya? Kena tipu? Atau apa?” begitu gumam saya penasaran. Saya dan mungkin sebahagian besar penonton sempat dirundung tanya di tengah tayangan sosok Hans yang mengenaskan itu. Terkesan sutradara tidak sabaran mengalihkan penggalan cerita dengan sedikit lebih dramatis.
Katakanlah ada adegan di sebuah lapangan sepakbola dimana terlihat lapangan yang wah mengisyaratkan karir sepakbola Hans yang mulai cemerlang. Ini penting untuk tidak menakut-nakuti generasi muda Papua mengadu nasib ke kota-kota besar di Indonesia demi karir.
Adegan di dalam pertandingan itu seharusnya menggambarkan Hans kena tackle keras yang menyebabkan kakinya patah dan raungan sirene ambulans bisa menjadi pemberi isyarat kepada penonton kalau masalah Hans serius. Lalu harusnya tergambar sedikit setelahnya si pemilik klub mengusir Hans yang masih memakai tongkat penyanggah dan akhirnya tanpa tongkat tertatih-tatih di sepanjang rel kereta api.
Bila bagian itu sempat disisipkan, saya yakin kesan keruntuhan karir sepak bola Hans akan dikesankan lebih kuat sehingga saat Hans berusaha bunuh diri dengan melompat dari jembatan penyeberangan ke atas kereta api yang sedang melintas di bawahnya bisa diterima logika penonton.
Mengapa itu perlu? Karena kebanyakan kita memiliki pengetahuan dan kesan kuat bahwa anak-anak Papua sangat spartan menhadapi kerasnya hidup, tapi koq anak Papua yang satu ini cemen banget sih? mau bunuh diri segala.
Meski kemudian bunuh dirinya gagal, entah karena kelelahan, Hans kemudian ditemukan oleh Mak, pemilik dan pengelola warung padang Takana Juo, tergeletak di atas jembatan penyeberangan dipagi harinya. Mak yang diperankan oleh Dewi Irawan, entah mengapa tergerak menolong Hans dan mengjakanya ikut pulang ke rumahnya. Ada detil kecil yang cukup mengganggu pada adegan ini. Mak yang sebelumnya datang dan pulang dengan Natsir (Ozzol Ramadhan) dengan belanjaan di tangan, terlihat berjalan menyusuri jalan menuju warung dengan tangan kosong mengiringi Hans. Kemana keranjang itu dibuang? Coba perhatikan baik-baik adegan itu kalau sempat menonton.
Cerita kemudian beralih sepenuhnya ke Rumah Mak yang sekaligus warung Masakan Padang yang telah cukup apik dikesankan sebagai warung sederhana oleh penata setting. Di situ pula Natsir dan Parmanto (Yayu A.W. Unru) tinggal, masing-masing menempati kamar sempit di bagian belakang badan rumah berhimpit dengan dapur dan sepetak ruang terbuka untuk Hans ketika Mak memaksagelandangan itu tinggal di rumah itu.
Kondisi warung yang pengunjungnya lagi sepi ditambah kehadiran Hans di rumah sempat itu membuat Parmanto gerah, dan sasaran kegerahan Parmanto bukan hanya Hans tapi malah mengarah ke Mak yang dinilainya tidak sensitif soal bisnis. Apalagi di seberang warung Takana Juo sedang ada yang membangun rumah makan padang yang lebih besar dan tampak modern. Ancaman serius bagi eksistensi warung makan Mak tentu saja.
Dan entah bagaimana pula Mak sepertinya “membela” Hans, setidaknya dimata penonton dan tentu saja di mata Parmanto. Ada hubungan apa gerangan antara Mak dan Hans? Di hari pertama kedatangan Hans ke rumah itu saja, Mak sampai menyempatkan diri memasak gulai kepala ikan untuk Hans.Masakan yang tidak dijual di warung itu dan bahkan Mak tak pernah mengajarkan bagaimana memasak gulai kepala ikan itu kepada Parmanto, juru masak warungnya yang sudah bersamanya mengarungi bisnis bersamanya.
Meski ada sosok Natsir yang berusaha menjadi penengah dan meredam kegeraman Parmanto kepada Hans, tapi tak menyurutkan ketegangan yang terlanjur terjadi. Konflik ini meski sederhana tapi cukup menggugah penonton untuk larut di dalamnya, suatu jenis konflik yang rasanya sering hadir di sekitar kita dan mayoritas kita pernah mengalaminya. Setelah mengalami eskalasi yang cepat kemarahan Parmanto mencapai puncak dan memilih minggat.
Warung masakan Padang Takana Juo kehilangan juru masaknya. Hanya mungkin digantingan oleh Mak. Bagaimana dengan Natsir? Ia hanya Tukang Sanduak, alias pintar menyendok dan menyajikan masakan yang sudah tersaji di dalam lemari kaca. Tak disangka, atau banyak yang sudah menyangka ya, kalau tiba-tiba Hans tampil sebagai pemain pengganti. Rupanya ia cukup berbakat dan terpenting ada ketertarikan ke soal kuliner.
Tentu saja ia harus belajar ngulek rempah dan memahami teknik memasak sejumlah masakan khas Padang. Hans juga membantu Mak ke pasar menggantikan tugas Natsir selama ini. Ia pula yang menemani Mak di dapur bersimbah keringat mengolah bumbu dan memasak. Kemana Parmanto?
Mak yang penasaran dengan Restoran Masakan Padang yang baru buka di seberang jalan suatu hari ingin mencicipi makanan dari pesaingnya itu. Mak mengajak Natsir dan Hans. Melihat kemewahan resto itu, keder juga Mak, Natsir dan Hans.
Saat Mak mulai mencicipi masakan yang terhidang di depannya, ia langsung tahu siapa yang memasaknya. Mak bergegas ke dapur, dan dugaannya benar. Di dapur yang terlihat bersih dan mewah untuk ukuran rumah makan itu, ada Parmanto. Pertengkaran mulut sempat terjadi diantara Parmanto dan Mak soal hak Natsir “menjual” keahliannya kepada pesaing warung Takana Juo. Menurut Mak itu tidak etis, menurut Parmanto itu karena Mak tidak bisa menghargai loyalitasnya. Tak kurang Natsir dan Parmanto yang selama di Takana Juo sangat akrab, saling menggertak.
Setelah kejadian itu, Mak benar-benar sadar kalau dia harus mengambil pertaruhan apapun untuk menyelamatkan warungnya yang sedang diujung tanduk. Hans yang berulang-ulang mengingatkan Mak agar warung Takana Juo menjual gulai kepala ikan sebagai unggulan mulai berkelebat di kepala Mak.
Mak berusaha menyelesaikan pertarungan batin dengan masa lalunya demi menyelamatkan masa depan usaha warungnya. Hans mencoba berdamai dengan impiannya di masa lalu yang tercampakkan sebagai pemain bola dan menyadari kalau ternyata ia memiliki asa dan rasa di bidang kuliner. Bagaimana dengan Parmanto dan hubungannya dengan Mak, Natsir dan Hans?
Berhasilkah Mak memenangkan pertarungan itu? Akankah Hans benar-benar hijrah dari impiannya menjadi bintang lapangan dan membulatkan asa menjadi juru masak warung masakan Padang?Sebaiknya tonton deh filmnya kalau sempat dan bila masih tayang di bioskop di kota anda. Meski diperuntukkan buat remaja tetapi melahat isi dan alur ceritanya, tak salah juga kalau mau membawa anak atau ponakan anda menikmati tontonan yang cukup menawarkan candaan segar.
Kekuatan akting Dewi (Mak), Yaya (Parmanto), Ozzol (Natsir) dan Jimmy (Hans) tak perlu diragukan. Anda jangan mencari siapa tokoh utamanya karena anda akan terkesan dengan akting keempatnya yang sangat kuat dan saling menopang. (@bens_369
[caption id="attachment_347904" align="aligncenter" width="620" caption="Hans (Jimmy Kobogau) bersama sutradara Adriyanto Dewo menyapa penonton usai penayangan Tabula Rasa di Studio XXI Mal Pondok Indah 1 beberapa waktu lalu | foto: ben"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H