Selamat Pagi Pak Presiden Jokowi, selamat memasuki istana. Hari ini 20 Oktober 2014 Presiden RI ke-7 dilantik dan memasuki istana. Sebuah buku yang patut mengisi rak bukunya di istana adalah telaah kritis presiden dengan pasangannya, Jusuf Kalla. Buku ini adalah besutan 21 warga Kompasiana yang terangkum ke dalam 24 tulisan, diterbitkan oleh Elex Media Komputindo setebal 238 halaman. Inilah yang menulis di dalam buku ini: (Baris I) dari kiri Pepih Nugraha (Manajer Kompasiana), Nurulloh/ Farah Rizki (Editor), Amalia E. Maulana, PhD, Fredy Wansyah, Amirsyah, Bona Ventura, Sutarno, Zulfikar Akbar - (Baris II) Sholahuddin MZ, Harja Saputra, Ben Baharuddin Nur, Ribut Lupiyanto - (Baris III) Shendy Adam, Ikrom Zain, Teguh Paulus Kurniawan, Saikhunal Azhar - (Baris IV) Anita Godjali, Herry B. Sancoko, Adian Saputra, Majawati Oen, Miraj Dodi Kurniawan, Eko Setiawan, Niken Satyawati | Ilustrasi: Ben B. Nur
Selamat Pagi Pak Presiden,
Selamat pagi pak Presiden, selamat datang ke istana dan tentu saja selamat menjalankan tugas. Saya tidak peduli apakah anda membaca tulisan saya ini atau tidak, dan saya lebih yakin anda tak akan sempat membacanya, berarti tidak akan membalas salam saya karena kesibukan, apalagi sebentar lagi anda akan melihat setumpuk file pekerjaan seorang Presiden yang harus anda kerjakan segera.
Tapi please, sempatkanlah membaca buku ini di sela-sela kesibukan anda. Judulnya memang tidak menarik, presiden jokowi. Warna sampul sengaja dibuat tidak ceria malah terkesan sakral dengan dominasi warna hitam dan abu-abu. Tapi fokuslah pada gambar wajah anak-anak yang mengelilingimu dengan jari teracung “metal” dan “salam tiga jari”. Mereka ceria menyambutmu. Mereka penuh harap – bukan New Hope seperti yang ditulis oleh majalah Times yang memuat gambarmu satu wajah penuh – tetapi engkaulah harapan generasi muda bukan dengan New Hope tetapi sekedar Old Hope – harapan lama yang tak terbahasakan karena mungkin selama ini mereka merasa terlalu berjarak dengan presidennya.
Bacalah Buku Ini
Mengapa saya menganjurkan presiden dan anda sekalian membaca buku ini? Tak lain karena buku ini ditulis lebih blak-blakan, lebih berani dan lebih lugas dibanding buku manapun yang mungkin pernah anda baca tentang Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ada 21 warga blog komunitas Kompasiana dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial bahkan aliran politik menuliskan pemikiran, uneg-uneg, harapan, ramalan, saran bahkan kritik mereka untuk Jokowi dan JK, bukan kepada pribadi mereka tetapi sebagai PRESIDEN dan WAKIL PRESIDEN dari sebuah negara bernama INDONESIA setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Diawali dengan sebuah tulisan Amalia E. Maulana, PhD, warga Kompasiana pendiri dan Managing Director dari perusahaan konsultan ETNOMARK, Amalia memaparkan analisis komprehensif kekuatan branding dari Jokowi, sebuah sisi yang tidak bisa dikesampingkan oleh siapapun yang berkarir di ranah publik dan politik untuk menopang pergerakan karir.
Amalia dengan elegan menggambarkan bagaimana brand yang kuat seharusnya ditopang oleh hal-hal yang otentik, sesederhana apapun itu yang jelas bukan polesan alias sekedar pencitraan. Ia melihat Jokowi tidak lebih baik dari Prabowo. Bahkan dalam tabel yang perbandingan yang dipaparkan terlihat jelas kalau Prabowo lebih menonjol dalam sejumlah hal. Sebutlah kemampaun berbahasa asing, pengalaman skala internasional, kemampuan orasi bahkan tongkrongan, jujur harus diakui Prabowo berada di atas angin.
Kesederhanaan dan kerendahan hati Jokowi, termasuk dalam bertutur dan bertindak adalah keseharian Jokowi. Ia sudah begitu sejak memimpin Solo hingga menjadi Gubernur DKI, dan rupanya orisinalitas itu yang banyak memikat hati rakyat. Jadi, jelas Amalia, kita harus belajar untuk menerima kekurangan dan kelebihan orang yang kita kagumi. Tidak sempurna tidak berarti bahwa tidak cemerlang. “Brand yang kuat tidak harus sesuatu yang sempurna,” tegas Amalia. Jokowi adalah contoh hidup betapa karakter yang kuat dan konsisten seperti jujur, rendah hati, sederhana dan sabar bisa menjadi brand yang kuat yang akan mengatasi ketidaksempurnaan seseorang.
Tunjukkan Religiusitas
Tulisan berikutnya yang tak kalah menariknya adalah dari Fredy Wansyah, warga Kompasiana yang mengaku sebagai pekerja media massa, peminat budaya massa, dan peminat sastra. Fredy mengingatkan pasangan Jokowi-JK untuk ke depan lebih menunjukkan religiusitasnya lahir dan batin.
Fredy menganggap penting mengingatkan itu semata karena melihat realitas betapa Joko Widodo yang disorot religiusitasnya sejak mencalonkan diri jadi Gubernur hingga pada pencalonannya sebagai Presiden RI. Ingat bagaimana sampai seorang H. Rhoma Irama harus terjerumus mempercayai berita hoax yang berseliweran di dunia maya tentang agama orangtua Jokowi. Menjelang pencalonannya sebagai Presiden, masyarakat terutama di pulau Jawa dihebohkan dengan gencarnya pemberitaan tabloid gelap “obor” yang melakukan kampanye hitam mengenai Jokowi juga dari sisi religiusitas.
Pemilihan JK sebagai pendamping adalah suatu langkah yang dipandang cukup strategis menutup celah kekurangan Jokowi di mata masyarakat Indonesia yang masih sangat kental preferensi religiusitasnya. Setidaknya JK adalah tokoh Islam yang dikenal sangat religius dari garis organisasi kaum Nahdiyin moderat.
Pemihakan partai politik terhadap Jokowi-JK cukup mengesankan lemahnya nuansa religiusitas pasangan ini. Fredy menunjukkan fakta bahwa ada empat partai politik berbasis massa Islam yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara di kubu pendukung Jokowi-JK hanya ada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Perkembangan terakhir, tentunya setelah buku ini terbit, kemungkinan PPP untuk menyeberang ke kubu Jokowi-JK semakin menguat pasca pergulatan fraksi-fraksi di DPR dan MPR dimana PPP yang merasa ditinggalkan oleh rekan-rekan sekoalisinya sepertinya akan memilih bergabung ke kubu pendukung Jokowi-JK.
Keberhasilan kepemimpinan Jokowi-JK ke depan yang secara konstitusi telah terpilih menakhodai negeri ini tentu saja tidak tergantung sepenuhnya kepada seberapa besar dukungan partai politik. Tapi, tulis Fredy, bagaimana pun pemimpin adalah manifestasi kebiasaan (habitual) rakyatnya. Dengan demikian, agar menjadi pemimpin yang berterima rakyat Indonesia pemimpin harus menunjukkan religiusitas tersebut.
Menjawab Keraguan
Saya sendiri menyorot pasangan Jokowi-JK di dalam buku ini berangkat dari kekhawatiran banyaknya kesamaan antara Jokowi dan JK di dalam gaya kepemimpinan. Keduanya suka turun ke bawah, terbuka, suka serba cepat, tidak birokratis, blak-blakan, sama-sama tidak menyukai formalitas berlebihan dan keduanya berlatar belakang pengusaha.
Sepintas menarik melihat banyaknya persamaan itu. Bahkan tak sedikit yang beranggapan kalau itu bisa menjadi keuntungan tersendiri. Tapi melihat rekam jejak Jokowi dengan pasangannya, baik sebagai Walikota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta, harus diakui kalau keberuntungan Jokowi karena didampingi oleh wakil yang birokratis dan administratif.
Kalau melihat gaya kepemimpinan Wakil Jokowi di Solo, FX Hadi Rudyatmo, tipikalnya sangat administratif dan birokratis. Ia sangat sempurna memainkan peran sebagai penjaga gawang saat Jokowi lebih banyak berada di garis depan melakukan blusukan bertemu rakyat Solo kapanpun Ia mau.
Di Jakarta, Jokowi lagi-lagi mendapat kemewahan melakukan blusukan sementara wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama memainkan peran dengan cantik sebagai birokrat menata administrasi dan irama kerja aparat dalam lingkup kewenangannya. Pasangan yang sangat komplementer, benar-benar berbeda tetapi terbukti saling melengkapi.
Telaah kritis ini berangkat dari pemahaman tentang tipikal kepemimpinan Jokowi dan JK dimana menurut Kate Ludeman dan Eddie Erlandson dalam buku Alpha Male Syndrome, keduanya masuk dalam katagori Visionary-Executors. Lelaki pada kelompok ini selain memiliki visi yang kuat tentang sesuatu yang akan dicapainya ke depan, juga mampu bertindak secara cepat melaksanakan apa yang dinilainya benar tanpa mau dihalangi terlalu lama oleh masalah adminstrasi dan birokrasi yang menurutnya bisa diurus belakangan.
Repotnya lagi, tipe Alpa Male Visionary Executors ini juga kinestetis, sulit percaya orang lain sebelum melihat dan menyentuh sendiri obyek yang disampaikan. Mereka tidak akan pernah mengakui sesuatu sulit atau mudah sebelum mereka sendiri touch the ground. Makanya wartawan sudah sangat akrab dengan pernyataan keduanya kalau ditanyai pendapat tentang suatu hal lebih sering mengatakan: “Saya belum tahu, saya belum ke sana, saya belum melihatnya sendiri seperti apa masalahnya.”
Jadi bayangkanlah Presiden dan Wakil Presiden akan berlomba ke lapangan untuk melihat sendiri suatu masalah yang menjadi isu nasional. Kalau tidak ada koordinasi dan komunikasi yang kuat diantara tim Presiden dan Wapres, bisa jadi sekali waktu mereka bertemu di lapangan dan saling kaget: “Eehh.. Bapak koq di sini juga? Kapan tibanya pak?” Dan itu pasti akan menjadi obyek berita yang memalukan.
Blusukan memang mekanisme pengawasan dan pengendalian yang baik, tetapi tentu sangat naif bila berharap itu dilakukan oleh satu atau dua orang pada skala nasional. Olehnya di dalam tulisan saya ini saya menyarankan agar blusukan dijadikan suatu sistem yang jangkauannya lebih luas tanpa menghilangkan unsur humanisme dari blusukan itu sendiri.
Belakangan, sepertinya setelah buku ini terbit, muncul wacana e-blusukan atau blusukan berbasis internet sebagaimana yang sering disampaikan Jokowi di berbagai kesempatan dan media. Sebuah wacana yang baik, mungkin Jokowi sudah membaca tulisan saya di buku ini sehingga muncul pernyataan itu (maaf, dilarang protes ke-ge-eran sesama Kompasianer).
Setelah menelaah kesamaan keduanya, sebagai penulis saya perlu melaksanakan tanggungjawab saya menyampaikan solusi karena bukan kali pertama saya melihat suatu pasangan kerja di dalam pemerintahan dan organisasi bisnis yang memiliki kesamaan bisa saling mendukung dan juga tak sedikit yang saling meniadakan. Karena percayalah, bila ada dua orang yang lebih banyak kesamaannya diharapkan mengerjakan hal yang sama pada waktu dan tempat yang sama, maka salah satunya bisa tidak berguna alias idle. Solusi yang saya tawarkan dapat dibaca selengkapnya di dalam buku yang saya yakin akan segera anda beli di toko buku terdekat di kota anda.
Lihat dan telaah sendiri bagaimana Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan JK berhasil menjadi duet maut pada periode pertama yang melejitkan SBY meraih 62 % suara rakyat di Periode pencalonan keduanya berpasangan dengan Budiono. Namun karena SBY dan Budiono cenderung memiliki kesamaan dimana SBY yang Alpha Visionary- Commander dan Budiono yang Visionary-Strategic maka yang kita lihat adalah Wapres cenderung menjadi idle. lahirnya sejumlah konsep pembangunan yang dahsyat, sebutlah salah satunya Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan strategi membagi wilayah pembangunan di Indonesia berdasarkan sejumlah koridor, tapi tak terdengar gaungnya dalam implementasi.
Mengapa MP3EI ini tidak berjalan optimal sehingga seharusnya mampu mengatrol nama SBY-Budiono? Tiada lain karena lemahnya eksekusi atau pelaksanaan. Kalau ada yang berargumentasi bahwa mereka terpasung oleh kasus Bank Century, seharusnya ini dilihat tak lebih sebagai manuver politik yang tidak seharusnya menghalangi langkah keduanya melaksanakan konsep-konsep besar pembangunan Indonesia. Patut dicatat keduanya berpendidikan doktoral yang mengindikasikan kepiawaian dalam memahami dan membangun teori-teori tetapi sayang itu tidak menjamin dalam hal implementasi.
Ada kesalahpahaman selama ini bahwa mencari lelaki Alpha Visionary-Executors lebih mudah daripada mencari yang berkharisma dan kuat di dalam mengarahkan (Visionary Commanders). Faktanya salah. Mencari pemimpin pekerja jauh lebih sulit daripada pemimpin-pemikir. Ini juga yang membuat Jusuf Kalla di usianya yang sudah relatif sepuh masih dipandang bernilai untuk dipinang menjadi Wapres. Kejenuhan rakyat terhadap pemimpin yang hanya bisa berwacana dan beretorika dan lemah dalam eksekusi membuat keduanya mendapat kepercayaan rakyat lebih dari dukungan real dari partai-partai pengusungnya.
Dari Nobody Menjadi Somebody
Mengantar tulisan-tulisan bernas di dalam buku setebal 238 halaman ini, Pepih Nugraha, Redaktur Pelaksana kompas.com yang tentu saja adalah salah seorang warga Kompasiana yang dipercaya menjadi Manajer, lebih memilih melihat fenomena terpilihnya Jokowi-JK dari sisi spiritual. Ia menulis:
“Tak seorang pun mampu membendung kehendak dan kuasa Tuhan terhadap Presiden ke-7 republik ini. Kali ini takdir jatuh ke tangan Joko Widodo. Kepada si “Kerempeng” itulah negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini dititipkan dan roda pemerintahan dijalankan sesuai jalurnya.”
Pepih mengawali tulisannya dengan menceritakan bagaimana sosok Jokowi awalnya di under estimate bahkan diolok-olok oleh publik, khususnya oleh pesaingnya, tidak saja ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta dan dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P) sebagai kandidat Presiden Indonesia, bahkan saat ingin menjadi Walikota di kampungnya, Surakarta, sepuluh tahun lalu.
Publik sempat skeptis mengetahui kalau salah satu kandidat Walikota Surakarta atau yang lebih dikenal sebagai kota Solo itu hanyalah seorang pedagang mebel. Sanggupkah dia bersaing dengan politisi dan birokrat yang sudah malang melintang di lingkungan politik dan pemerintahan di Solo?
Periode pertama hasilnya sangat mencerminkan keraguan itu. Tetapi setelah diberikan kesempatan berbuat selama lima tahun, tumbuh keyakinan rakyat yang kemudian memberinya 92 % suara tanpa ada money politic, intrik, paksaan dan sejenisnya.
Mencermati perjalanan karir yang fantastis dari sosok Jokowi dan darimana dia berasal, pantas bila Pepih menyebut kehadiran Joko Widodo dalam blantika politik Indonesia sebagai fenomena “from nobody to somebody”, dari bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang diperhitungkan hingga berhasil meraih kedudukan tertinggi yang diimpikan oleh politisi dan birokrat, menjadi Presiden Republik Indonesia.
Nurulloh, Lead Editor dari buku presiden jokowi ini secara khusus menggambarkan bagaimana perubahan isu dan pembicaraan seputar Joko Widodo berubah dengan sangat cepat. Ibarat kata belum kering tinta menuliskan cerita bagaimana kiprah Jokowi sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Nurulloh tiba-tiba harus memelototi 24 tulisan yang harus naik cetak dari 21 Kompasianer.
Beda tulisan di dalam buku ini dibanding buku tentang Jokowi sebelumnya, selain content-nya juga karena semua tulisan ini belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Itulah mengapa buku ini selain wajib dimiliki oleh para Kompasianer dan pembaca pada umumnya karena belum terpublikasi termasuk di Kompasiana, juga karena buku ini menawarkan sudut pandang yang sangat berwarna tentang Jokowi dan JK dibanding buku sejenis yang pernah diterbitkan sebelumnya. (@bens_369).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H